Hujan Jatuh di Matamu

Hujan jatuh. Rindu mengepung. Tak pernah benar-benar terbendung. 

* * *

Cerita ini adalah cerita dari mantan pacarku, Risma. Ia baru saja selesai bertutur beberapa jenak lalu ketika hujan luntur. Tentang dirinya. Tentang kekasihnya. Bibir dan matanya mengadu. Hatinya mengaduh. Setiap yang menyaksikan cara bertutur tentang lelaki pujaannya akan mengerti betapa cinta tidak pernah diam-diam hinggap di mana saja, di dada siapa saja.

. Cerita ini adalah cerita dari mantan pacarku, Risma. Harap maklum jika aku tak begitu lihai menyadurnya ke dalam tulisan ini. Aku akan bercerita dengan sudut pandang orang pertama dengan maksud mewakili eksistensi mantan pacarku sebagai yang ditokohkan. Sebenarnya aku butuh kau mengetahui cerita langsung darinya sehingga kau bisa menceritakan bagaimana cara ia bercerita padaku, benar-benar aku ingin tahu.

* * *

Syahdan, di sebuah desa yang batas-batas lokasinya ditandai oleh lolongan anjing dari setiap penjuru mata angin, hidup seorang ibu dengan anaknya yang patuh. Si anak sekalipun tidak pernah berkata ‘ah’ atas setiap perkataan ibunya. Setiap apa yang keluar dari bibir ibunya adalah petuah, adalah pesan yang akan ia laksanakan tanpa syarat yang berasas kecuali atau kalau. Ia lelaki yang akan dengan senang hati mendengar perkataan-perkataan ibunya tentang mimpi, tentang hari depan, tentang kesusahan-kesusahan, juga tentang Dia yang Maha Segala. Betapapun, si anak lelaki tak akan sampai hati mengecewakan hati perempuan yang ia hormati. Ia akan senantiasa berhati-hati dalam setiap tindak-tanduknya agar tak menyinggung perasaan perempuan yang pernah ia tumpangi rahimnya sembilan bulan tepat sepuluh hari. Ibu yang disayangi. Ibu yang dikasihi.

Demikian pula sang ibu. Tidak perlu dijabarkan kasih sayang paling purba seorang ibu kepada anaknya. Kalau beribarat, kasihnya akan lebih panjang dari usia dunia. Ialah ibu. Perempuan pencari kayu bakar untuk siapa saja yang  memerlukan, bahkan terkadang masih mengumpulkan ranting demi ranting walau setiap dapur di sekitar rumahnya telah disesaki tumpukan kayu bakar. Saban hari ia memasuki jantung hutan-hutan yang jauh di belakang rumah. Untuk itu ia harus meninggalkan anaknya, anak yang disayangi, dikasihi, sejak pagi hingga petang. Kalau sakit pinggang tidak terlalu mendera, ia bisa sampai tiga empat kali bolak-balik mengangkut kayu bakar seukuran berat pundaknya. Namun, ketika sakit di pinggangnya menghantam hampir seluruh bagian tubuh ia memilih untuk sekali saja masuk hutan atau tidak sama sekali. Pada masa rehat itu, anak laki-lakinya akan dengan senang hati memijat tangan, kaki, atau punggung ibunya sambil berdoa semoga sang ibu lekas sembuh. Sementara ibunya berdoa agar kaleng beras masih terisi setidaknya untuk makan malam. Bukankah Tuhan tidak pernah luput menerima jumlah doa yang tak terhingga dari makhluknya? Hal yang kedua anak beranak itu yakini.

Sang ibu, ia tidak pernah mematok harga atas jerih tenaganya. Ayah dan ibunya pernah berkata, berbuat baiklah kepada siapa pun tanpa terkecuali, niscaya pertolongan akan selalu dilimpahkan kepadamu. Tuhan tidak pernah pura-pura tuli atau buta. Ibu dari anak lelaki itu hanya menunggu apa pun yang akan diberikan tetangganya. Ya, menukar segala kepayahan terkadang dengan beberapa liter beras, beberapa tongkol jagung, beberapa butir telur ayam, seikat bayam, kangkung, sawi, satu dua potong ikan kering. Tidak pernah meminta, cukup menunggu. Jika tidak diberi, mungkin lain kali. Ia akan meletakkan kayu bakar di bawah kolong dapur tetangganya. Pulang. Membawa satu dua potongan kayu dan bambu untuk anak laki-lakinya.

* * *

Program kuliah kerja praktik melemparku jauh ke desa ini. Tujuh puluh kilo meter ke arah matahari terbenam. Pihak universitas cukup bijak menempatkan mahasiswanya dengan tidak memberi lokasi yang mengharuskan mereka menyeberangi lautan. Meski begitu, beberapa calon tenaga pengajar harus menempuh perjalanan darat yang cukup melelahkan, menguras tenaga dan emosi, hingga ke pelosok. Satu dari beberapa mahasiswa itu aku.

Aku dan beberapa teman sepakat menyewa satu rumah kontrakan sampai enam bulan ke depan. Untuk alasan keamanan, kami memilih tidak tinggal bersama dengan teman-teman lelaki meski pada kesepakatan awal rumah dengan empat kamar tidur itu dibagi menjadi dua bilik besar.

Demi menyelami denyut kehidupan aku kerap mengunjungi beberapa tempat sekitar. Pasar yang hanya buka seminggu tiga kali, koperasi unit desa, balai desa, puskesmas, lapangan luas kaki bukit yang acap digunakan sebagai tempat upacara tujuh belas dan pertandingan bola sepak, serta beberapa fasilitas umum lainnya. Dalam setiap kunjungan, seakan ada geletar dengan skala richter yang damai merembes ke pelosok dada, mempermainkan ruhani kala mencium wangi padang berwarna jagung. Kabut yang menghala matahari, desau angin padang, suara angsa, lenguh kerbau, gelagat sapi pembajak, tepian pematang yang disuburi rumput dan gemercik air. Syahdu aroma alam. 

Pada kenyataannya, tidak butuh waktu lama untuk beradaptasi dengan penduduk desa yang anak-anaknya menjadi murid di sekolah yang aku kunjungi. Pak Samad, penjual aneka kerajinan tangan, pernah mengajakku ke rumahnya agar membujuk anak laki-lakinya kembali ke sekolah. Istrinya terkejut menerima tamu mahasiswa yang sekaligus guru anaknya. Bila mengingat itu, aku akan tersenyum seraya membayangkan seorang anak es-em-pe malu masuk sekolah hanya karena cintanya ditolak wanita pujaan. Aku tak akan pernah lupa bahwa ketika sedang bercerita banyak dengan Bu Samad, mataku tertumbuk pada beberapa kerajinan dari kayu dan bambu yang belum sempat dipasarkan. Di meja itu, tergeletak beberapa hasil karya dalam bentuk tatakan gelas, panci, keranjang, hingga tudung saji. Ialah sosok replika burung elang yang paling menarik perhatian. Ukirannya begitu cermat. Dari tampilannya, siapa pun tak akan menyangka kalau unggas imitasi itu dipahat dengan alat seadanya. Apalagi kayunya dari jenis kualitas rendahan. Komposisi warnanya pun agak membingungkan. Cenderung abstrak, tetapi justru begitu eksotik. Kecuali pembuatnya mungkin, orang lain yang miskin pengetahuan seni sepertiku tak cakap menafsir makna kombinasi warna-warna surealis itu. Sambil berkelakar, aku bertanya siapa pembuatnya. Bu Samad dengan ekspresi datar menimpali, seseorang yang tinggal di kampung seberang. Seorang lelaki buta!

Jangankan kau, aku pun tak percaya.

Hari minggu. Pak Samad mengantarku ke pondok pembuat burung elang tiruan yang aku temukan di rumahnya tempo hari. Katanya, sekalian mengambil satu dua pesanan kepada si empunya barang. Kami berjalan kaki sekitar dua kilo meter ke utara, jauh membelakangi titik pusat tata surya. Di sana semua rumah terbuat dari bahan dan bentuk nyaris sama. Sayang, tidak ada seorang pun peduli betapa tata letak juga perlu perhitungan matang. Hasilnya tampak amburadul memang. Sebuah rumah, bukan panggung, atapnya rumbia, dindingnya jelaja. Dari jalan setapak ini samar-samar kau akan melihat jelaga di sepanjang dinding dapurnya. Tepat di antara kepungan akasia, bambu, dan cemara. Rumah yang kami tuju. Rumah Mak Maronah dan anaknya Harudin. Ya, dia, lelaki itu.

Harudin yang pengrajin.

Harudin yang berbakti kepada satu-satunya orang tuanya.

Harudin yang sangat disayangi ibunya.

Harudin korban tabrak lari yang oleh karenanya invalid hampir sepuluh tahun lampau ketika hendak mengambil hadiah sebagai lulusan terbaik di es-em-pe tempatku mengajar. Kepalanya mengalami benturan hebat di bahu jalan, sebongkah batu mencederai kedua bola matanya.

Harudin yang menyebut nama Tuhan dan ibunya dengan suara yang jauh. Jauh mencapai batas keikhlasan seorang manusia ketika matanya banjir darah.

Harudin yang diperolok anak-anak tetangga sebagai si buta.

Harudin yang kerap dicemooh para tetangga sebagai lelaki imbisil.

Harudin yang dijauhi, diasingkan, disingkirkan.

Harudin yang tangannya tebal penuh luka-luka bekas pahatan.

Harudin yang tampan, sangat tampan, namanya bertalu-talu di setiap degup jantungku.

Harudin….

Harudin….

Harudin…!

* * *

Aku kembali ke desa itu. Desa yang batas-batas lokasinya ditandai oleh lolongan anjing dari setiap penjuru mata angin. Lima tahun setelah perkenalan pertamaku. Harudin belum menikah. Tidak, tidak. Kami tidak pernah menyatakan rasa suka atau saling tertarik. Aku tak tahu bagaimana Harudin, yang pasti aku meyakini sepenuhnya telah memendam perasaan dalam-dalam sejak perkenalan pertama kami di rumahnya. Dari nada geletar suaranya, aku menduga ia juga merasakan hal yang sama. Meski tak pernah melihat, mungkin ia melukis sendiri sosok perempuan bersuara sendu di kedalaman rongga dadanya.

Tidak perlu aku jabarkan kisah kasih selama empat bulan setelah lima tahun kami tak berjumpa. Aku dengar dari Pak Samad, Mak Maronah terperangah mendengar keinginanku agar Haridun mengimamiku dalam biduk rumah tangga. Ia memang sekali waktu pernah mendengar anaknya memujiku, tapi hanya sekali. Meski sangat senang dengan kunjungan singkatku, ia tidak menyangka anaknya yang buta dan dianggap tak dapat melakukan sesuatu lebih jauh daripada sekadar membuat kerajinan tangan, telah mengekang hati seorang perempuan berpendidikan tinggi di rumahnya. Rumah berdinding jelaja, beratap rumbia, berlantai tanah, dari jauh pun siapa dapat melihat jelaga merenggut warna cokelat anyaman bambu dinding dapurnya. Mempersilakan orang luar menduga dan menaksir kemiskinan yang mengendap di dalamnya.

“Apa Nak Risma benar-benar menyayangi anak Mak, Harudin?”

Aku menjawabnya dengan air mata yang panjang.

* * *

Ini adalah cerita dari mantan pacarku, Risma. Aku membantunya menulis dalam badai emosi yang hebat. Mentranskripsi cerita yang ia tuturkan jadi sebentuk kisah sederhana. Aku mesti berjuang lebih berat, sebab selain bertarung dengan rasa haru yang membuncah, ini kali pertama aku mencoba mengetik dari seperangkat komputer khusus penyandang tuna netra. Baru pagi tadi aku menerimanya, dikirim kawanku dari ibu kota sebagai ungkapan terimakasih telah turut meramaikan pameran seninya dengan hasil pahatanku. Hadiah yang cukup monumental, sebab mewakili tiga momentum sekaligus: pertama kali mengetik dengan komputer khusus, hadiah yang kudapat dari jeri payahku, dan sebagai hadiah ulang tahun pernikahan kesepuluh dengan mantan pacarku.

Mantan pacarku menyandarkan kepalanya di dadaku.

“Bagaimana endingnya, Sayang?”

Ia menggeleng. Menutup akhir cerita begitu saja. Ah, mantan pacarku, cuaca melompat ke dalam matanya, meniupkan haru kenangan masa lalu. Kurasa dadaku basah oleh air mata. Aku membungkuk mencium rambutnya yang basah, juga oleh air mataku. Tak perlu kubuktikan ia sedang menangis atau tidak. Sebab aku tak akan dapat melihatnya, kecuali merasakan hatiku yang tengah menggigil.

Hujan jatuh di luar, juga di matamu, Ma. Rindu masa lalu mengepung. Tak akan pernah benar-benar terbendung oleh siapa pun, oleh apa pun.

 

Kendari, Januari 2012

editor: Herisma Yanti

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

2 komentar

    1. kalo penulisnya buka email yang dipakai untuk register di Kartunet, ada kemungkinan dia baca ini teh. Bisa dikontak juga kan via imbox yang ada di dashboard Kartunet 🙂

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *