INGATAN TENTANGMU JALAN PULANG YANG KUKENALI

INGATAN TENTANGMU JALAN PULANG YANG KUKENALI

Udara siang hari tak benar-benar menyegarkan. Angin bercampur debu dari proyek pembangunan menempel kulit yang bercucuran keringat. Kadang kala ingatan tentang rumah, meja makan serta tawa makin lama semakin mulai pudar. Beginilah nasib malangku dimulai, aku diseret ke tempat yang tak jelas seperti ini, seakan-akan aku seperti kentang yang tak pernah kutau akan dibawah kemana dan digunakan untuk apa.

Ditumbuk dan diinjak-injak adalah pemandangan setiap hari di tempat ini. Untungnya diriku tidak sendiri, banyak orang diculik dari keluarga mereka, dikumpulkan dan dipaksa bekerja keras seperti budak bahkan lebih parah di sini. Aku harus tidak peduli tentang itu. Jika aku membantu salah seorang pekerja yang disiksa atau sekarat, nasibku akan tak jauh beda dengan mereka.

Setiap harinya, kami bekerja seperti budak bahkan lebih persis mayat hidup, tanpa bicara, tanpa bertanya, dan tiada berpikir seperti manusia semestinya. Dimana hanya ada satu kereta penjemput dari upaya kabur yakni kematian. Kami disini hidup hanya dengan dua pilihan: bekerja atau disiksa.

Derita jikalau dilukiskan. Tak jarang pula, kami sakit lalu sekarat karena cambuk para Saudara Tua. Jikalau kami sudah tak bernafas lagi maka galian kubur selalu terbuka, tak kenal penuh atau sesak. Kadang pula, jika sepersekian detik aku tidak menghindar, batu-batu besar hasil ledakan proyek pembangunan rel kereta Saudara Tua akan menguburku bersama kenanganku.

Beruntung hingga sampai saat ini aku masih bisa bertahan. Bukan semata-mata karena kerasnya kulitku atau kuatnya ototku, melainkan karena janji yang harus aku tepati untuknya. Pantang mati sebelum ajal – pantang laki-laki langgar janji pada kekasih.

Kami berpisah semenjak hari itu. Hari di mana, semula aku berpikir semuanya akan baik-baik saja:

“Kau tahu Mirna, sebentar lagi Belanda akan diusir dari Negeri ini.”

“Apakah benar Mas Sapto Sepertinya itu tidak mungkin kan Kompeni sangat kuat.” Jawab Mirna menatapku lekat. Matanya melihatku penasaran. Mungkin Mirna tak pernah tahu yang dibicarakan orang-orang di kampung tentang Jerman yang telah Menguasai Belanda dan Saudara Tua yang merangsek masuk dari utara Nusantara.

“Tidak Mirna, aku mendengar kabar dari radio, Kompani sudah kuwalahan dan tinggal menunggu waktu Saudara Tua akan membereskannya”

Aku sangat menyesal mengatakan itu. Andai lidah dapat kupotong waktu itu. Sayangnya hal itu sudah terlambat. Apa dikira, semuanya ternyata sama saja. Delapan Maret 1942, bukanlah hari kemenangan. Hari itu hanya pertanda jika penjajahan berpindah tangan. Harusnya aku bisa berpikir lebih cepat. Siapaun yang menang tetap saja kami yang kalah. Tapi janji-janji mereka begitu manis juga menyilaukan bagi bangsa yang telah diperkosa sekian lama. Begitu pula perkataan mereka bagai penyelamat dikala jaman kegelapan.

Siapa yang tak gembira mendengar mereka berkata : Saudara Tua Adalah Pelindung, Saudara Tua Adalah Pemimpin, Saudara Tua adalah Cahaya Asia Raya

Tapi maaf saja jika bagiku cahaya adalah perempuan itu. Meskipun ia tergiur juga untuk ikut bersama Saudara Tua menempuh pendidikan di seberang lautan.

“Mas Sapto, aku akan ikut sekolah itu”. Kali ini, Ia tak melihatku dengan penasaran. Matanya mengisyaratkan kesungguhan. Menuntut ilmu adalah kebutuhan bagi jaman sekarang, meski Ia harus pergi meninggalkan tanah kakek buyutnya.

“Apa kau yakin Mirna?”

“Iya Mas. Aku sangat yakin”. Mendengar itu aku hanya bisa mengangguk sambil tak menatapnya, sebab akhirnya pasti aku akan menangis juga.

Dinginya subuh kala itu tak pernah menghentikanku untuk menatapnya pergi bersama truck yang membawanya. Entah, akan ke mana kendaraan itu mengirim Mirna dan perempuan seumurannya dari desa ini. Aku hanya bisa berharap, semoga keadaannya tidak lebih buruk sepertiku.

Buruk adalah kata yang cocok untuk menggambarkan tempat ini. Setiap hari, setidaknya ada satu orang yang tumbang, kemudian seorang akan membawa gerobak dan mengangkutnya. Konon, jika tidak dihanyutkan, tentu saja dikubur. Kabarnya lain menyebutkan bahwa beberapa pekerja diberikan tugas membuat suatu lubang besar di dalam hutan yang mirip seperti kubangan. Dan kami hanya dipandang cacing-cacing di tanah leluhur kami sendiri

Beberapa saat aku terdengar seseorang berkata lirih:
“Air, tolong seseorang ambilkan aku air…”

Mungkin berjarak hanya tiga meter dariku. Seorang kakek tergeletak dan mengerang kesakitan. Seketika aku berdiri dan berlari mendekatinya.
“Tahan mbah…Sabar mbah akan ku ambilkan minum”

Belum sempat kaki bergerak, nafasku terhenti sejenak menahan sakit di punggungku. Seorang Saudara Saudara Tua menyapa punggungku dengan cambuknya. Entah sudah berapa kali Ia melecutkan cambukan, yang jelas aku hanya bisa menahan sakitnya tanpa berani membuka mulut karena mereka akan kegirangan mendengarku menjerit. Sementara kakek tua mendapat air dari ludah Saudara Tua sendiri. Beginilah keadaan kami adakah yang lebih buruk dari budak kecuali kami.

Rasa sakit ini mengingatkanku saat pertama kali mereka mencambukku. Kala itu, aku berusaha menghentikan perbuatan mereka terhadap tetanggaku yang tengah mengidungkan parikan terlarang:

“Bekupon Omahe Doro, Melok Nippon tambah Sengsoro.”

Entah Munip kesurupan apa ketika itu. ia mengidungkannya seakan-akan para Saudara Tua itu juga mengidungkan saat upacara penyembahan dewa. Munip, mengaku sering menonton pagelaran ludruk di Surabaya. Tak jauh beda dengan Munip, pencipta parikan itu juga tak lepas dari siksaan oleh polisi yang disebut Kenpetai itu.

Matahari kala itu belum terbit sepenuhnya, tapi suara itu terdengar seakan matahari tak akan terbit lagi. Aku bergegas menuju rumah Munip. Ibuku yang berusaha menghalangiku tak dapat menangkapku. Ia hanya seperti menjerit tertahan memanggil namaku.

Aku melihat Munip tengah diseret dan dihajar. Mengetahui Munip yang dipukuli para Saudara Saudara Tua,, seketika saja, mulutku berteriak.

“Hentikan…!!!”

Langsung saja, para saudara Saudara Tua itu pun berbalik kepadaku. Aku juga tidak tahu apa yang kulakukan, tubuhku kaku dan mulutku terdiam ketika mereka mendekat, kakiku gemetaran. Aku seperti pahlawan kesiangan atau mungkin yang lebih tepat, hanya kesiangan saja tanpa gelar pahlawan.

Walhasil, wajahku yang lebam akibat tindakan para Saudara Tua itu. Aku harus berbaring tengkurap sebab punggungku terasa nyeri ketika diriku terlentang di atas tikar. Ibu membantuku mengobati luka-lukaku sambil terus memperingatkanku.

“Le… sudah jangan nekat kayak Bapakmu. Kalau kau mati siapa nanti yang menjagaku?” Kata ibu sambil terisak-isak.

Bapakku merupakan seorang petani di desa ini. Pada saat itu, Belanda menginginkan hasil panen yang sangat besar. Melalui para Widana, Bapakku harus menyetor hasil panennya yang kecil. Jika tak sampai target, mereka paksa kerja tambahan. Bapakku bersama Petani lainnya yang gagal panen saat itu langsung diangkut. Belakangan aku tahu dari kabar burung yang beredar. Ada pembangunan rel kereta dari anyer sampai panarukan yang sama mengenaskannya seperti keadaan kami disini.

Hingga dewasa aku hanya dirawat ibuku yang bekerja di perkebunan teh milik Belanda. Tanah-tanah petak yang digarap Bapakku dulu, kini sudah menjadi satu dalam perkebunan itu.

Tiada yang Lebih Sengsara, Terampas Pula Kehormatan, Kami Budak di Negeri Sendiri, Babu di Tanah Kami.

Setelah kejadian aku dihajar, seseorang datang ke rumah dan memberitahuku bahwa salah seorang pimpinan Saudara Tua terkesan dengan keberaniannku berusaha membantu orang yang dihukum.

“Tuan Kawaguchi terkesan denganmu dan ingin menawarimu pekerjaan.”.

“Jika Kau mau, besok setelah subuh, berkumpulah di lapangan desa. Nanti ada supir truck yang mengangkutmu, namanya Sugirman. Ia juga merangkap Kepala Dusun desa ini. Kudengar banyak rumor yang beredar tentangnya, mulai dari antek-antek dan semacamnya, bahkan orang yang dipukuli minggu lalu adalah akibat perbuatannya. Banyak orang menghindarinya, sebab jika tidak dihindari mereka bakal kualat.

“Bagaimana jika aku menolak?”

“Itu terserah padamu. Apakah Kau tidak merindukan Mirna?”

Aku kaget mendengar nama itu, aku tak menyangka masih ada yang mengingat Mirna. Entah berapa lama dia telah bersekolah di seberang lautan sana, yang jelas aku sangat merindukannya.

“Bagaimana kabar Mirna?”

“Kau akan tahu kabarnya, jika dirimu ikut menerima pekerjaan itu.”

“Tapi bagaimana dengan Ibuku? Siapa yang akan menjaganya?.”

“Jika Kau setuju dengan tawaran itu, maka Aku akan menjaga Ibumu seperti permintaanmu.”

Sejenak aku ragu akan tawaran itu, tapi harapan dapat bertemu Mirna membawa diriku pada lapangan itu. Esoknya, dengan gelisah aku berpamitan pada Ibu.
“Apa Kau sudah yakin Le?”

Ibu menyentuh bahuku perlahan. Aku tahu jika Ibu berharap diriku dapat bertemu Mirna. Akan tetapi, Ibu pasti tak ingin berada di rumah sendirian dengan para Saudara Tua itu di sekitarnya.
“Ijinkanlah aku pergi Bu.”

“Baiklah, Ibu akan selalu mendoakanmu Le.”

Jawaban Ibu, membuatku bersemangat untuk menerima tawaran Cak Girman. Aku sangat yakin,jika suatu hari nanti, aku bisa kembali lagi ke rumah dan menatap Ibu atau mungkin Mirna yang kembali lebih dulu.

Setelah mengucap salam, aku pun berlari meninggalkan rumah tanpa menoleh ke belakang. Otakku serasa ingin melihat sekali lagi Ibuku, tapi leherku kaku, tak ingin menoleh padanya, sebab ketika Ku menengok, keraguan pasti akan menyeruak muncul dalam pikiranku dan air mataku dapat terlihat olehnya.

Sesampainya di lapangan, aku melihat truck putih dan para Saudara Tua yang menggiring beberapa orang masuk. Tanpa bicara aku pun ikut naik ke atas truck. Sejenak Aku menangkap wajah Kepala Dusun itu. Setelah menganggukan kepala tanda berpamitan, Pintu truck bak terbuka itu pun tertutup. Jika aku tak salah hitung, kira-kira ada 14 orang di dalam truck ini. Entah mereka berasal dari mana. Wajah mereka begitu asing, tak pernah ku melihat mereka di desa ini sebelumnya. Aku pun bernafas lega saat truck ini berjalan, tapi melihat yang lain tidak menunjukan rasa Senang, aku pun menyembunyikan rasa senangku karena akan bertemu dengan Mirna. Mungkin, mereka sedang tak ingin pergi jauh dari rumah. .

Selama beberapa jam perjalanan, truck ini berhenti. Pintu bak truck terbuka. Beberapa orang dimasukan ke dalam truck ini. Aku tak tahu berapa yang pasti masuk, yang jelas truck ini sudah mulai sesak. Aku pun harus berdiri agar muat berdesakan di dalam truck. Meski begitu, nafas lega karena harap-harap bertemu Mirna terhembus dari paru-paruku. Tapi kembali, truck itu berhenti dan menjejalkan manusia ke dalamnya.

Kali ini truck benar-benar sangat sempit, hingga Aku bisa merasakan nafasku sendiri yang berbalik, karena menabrak tengkuk orang di depanku. Bau asin laut mulai tercium kala truck ini berhenti lagi. Sepertinya, kali ini, truck sudah sampai pada tujuannya.. Pintu truck itu pun terbuka dan para Saudara Tua itu pun berteriak-teriak. Orang-orang termasuk aku tak sempat berpikir sejenak untuk sekedar mengembalikan jiwa yang terguncang akibat perjalanan jauh.
“Cepat…!!!
“Cepat..!!! masuk dengan teratur.”

Aku pun berusaha secepat mungkin turun dari truck. Namun, salah seorang dari kami terjatuh. Bukannya ditolong, orang yang jatuh malah dicambuk untuk bergerak lebih cepat

Pemandangan di luar begitu mengagumkan. Ratusan atau ribuan orang sedang berbaris rapi dan digiring menuju ke sebuah Kapal. Ketika di dalam kapal, keadaannya tidak jauh beda dengan di Truck. Kapal ini besar tapi kami pun harus berdesakan. Hingga salah seorang dari mereka, menyapaku.
“Siapa namamu, aku Jatno dari Gondang Legi?.”

Meski suaranya terdengar seperti berbisik dan kurang jelas karena deburan ombak di luar. Aku pun terkejut. Tak banyak orang di kapal ini yang berani saling menyapa satu sama lainnya.”
“Aku Sapto, dari Ngelawang.”

Aku pun memberanikan diri untuk menjawab sapaan itu. sangking sesaknya kapal ini. Kita pun tak dapat saling melihat wajah satu sama lainnya. Kami berdiri saling membelakangi.

“Apa kau tahu para Nippon itu akan mengapakan kita?” Pertanyaan itu membuatku berpikir lagi. Benar saja, aku tak pernah tahu untuk apa aku dikirim ke suatu tempat. Cak Girman itu pun tak memberitahu. Aku hanya kepincut nama Mirna yang disebutkan Cak Girman padaku kala itu.

“Menyuruh bekerja mungkin.” Jawabanku terkesan mengada-ada, sebab memang aku tak pernah tahu akan diapakan kami semua.

“Apa kita akan dibayar?” Lanjutnya.

“Mungkin saja.”

Sujatno bernasib sama sepertiku. Bedanya, Ia diculik ketika hendak pulang dari kebunnya. Meski Ia tak dipukuli seperti yang lain atau memang para Saudara tak mempedulikannya. Sama sepertiku, penasaran akan diapakan juga menghantui Sujatno. Sayangnya, kita tidak berada dalam satu kendaraan besar yang mengantar ke pelabuhan itu. Jika diurutkan, ada kemungkinan truck Sujatno akan singgah dan melewati tempatku berangkat. Sujatno dengan berbisik-bisik, juga bercerita perjalanannya menuju pelabuhan. Kondisinya hampir sama, namun Ia berkata jika trucknya tidak begitu sesak. Hanya saja, ketika di kapal ia berpisah dengan kawan-kawannya yang ia kenal di truck itu.

Entah berapa lama kami telah mengapung. Berada dalam ruangan sesak seperti kedap udara ini, membuat kami lupa jika waktu terus berputar. Tak ada petunjuk apapun dari siapapun kapan kapal ini akan berlabuh.

Terdengar orang-orang berlarian, ada kemungkinan, kapal ini akan berhenti berlayar dan berlabuh pada suatu tempat, sayangnya, sebagian dari orang-orang di kapal harus dilarung di laut.

Lain soal bagi yang bertahan, mereka harus masuk ke dalam gerbong-gerbong kereta dengan berdesakan. Kali ini, aku harus berpisah dengan Sujatno. Ia dimasukan terlebih dahulu ke dalam gerbong sebelumku. Sesampainya di tempat tujuan, kendati berpisah sebelumnya, Sujatno dan Aku akhirnya masuk dalam wilayah kerja yang sama. Kami semua diperintahkan untuk menggilas bukit. Aku pun mulai diberi peralatan kerja. Sebuah linggis dan palu adalah modal pertamaku untuk bekerja. Mereka menyruh kami sesegera mungkin untuk memulai pekerjaan. Jika tidak, pasti kami akan diberikan hukuman.

Meski kami bekerja hingga malam hari, setidaknya kami diberi tempat tidur. Walau hanya tikar ini sudah lumayan. Kami bekerja bukannya tanpa bayaran. Setiap harinya, kami mendapat beras yang dapat disyukuri ketimbang kami para pekerja harus merasakan ciuman popor senjata para Saudara Tua. Kami juga mendapatkan pakaian ganti bekas karung goni. Apa bisa dibilang, ketimbang ditungkak.

Akalku mulai goyah menghitung hari demi hari yang kuhabiskan di tempat ini. Untuk apa pula aku menandai keberadaanku di penjara ini. walau begitu, sesekali ketika Matahari berganti Bulan, aku berpikir tentang Rumah, Ibuku dan Mirna. Jika sperti ini terus aku tak akan menemukan apapun.

Tak disangka-sangka, seusai aku dicambuki karena hendak menolong kakek itu, sepertinya kerja para Saudara Tua itu hanya mendengarkan radio dan sesekali memang membentak para pekerja,namun ada yang aneh. Mereka hanya duduk mendengarkan radio dan seperti bermuramdurja setelah ada lapran-laporan yang dikumandangkan lewat radio itu. penjagaan antara hutan-hutan itu juga mulai longgar. Mungkin,ini saatnya. Hanya saja, aku perlu teman untuk melarikan diri bersama.

Aku pun mulai mencoba bergeser sedikit demi sedikit untuk mendekati Sujatno dan ketika ada kesempatan, aku pun berbicara dengannya.

“Jatno, apa kau merasakannya?”

“Iya sepertinya aku semakin kurus.” Kata kawanku sambil tersenyum memperlihatkan giginya yang tanggal.

“Coba perhatikan, tentara-tentara itu semakin sering mendengarkan radio dan kurang mengawasi kita.”Aku menyela kelakar Sujatno

“Mungkin mereka sudah bosan”. Kali ini, Sujatno tak berkelakar

“Bukan itu maksudku, kita punya peluang Jatno.”

“Peluang untuk apa?” Jawabnya heran.

Aku melihat sekitar untuk memastikan tidak ada yang menguping pembicaraanku dengan Sujatno. Dengan suara pelan aku membisikan kata itu.

“Kabur.”

Setelah mengatakan itu, aku secepatnya kembali ke posisi semula. Aku takut jika aku terus mengobrol, nantinya mereka akan curiga. Aku berkonsentrasi bekerja memecah batu-batu itu, dalam posisiku yang seperti ini, aku tak dapat melihat wajah Sujatno. Semoga saja, kelak jika aku melarikan diri dari tempat ini, aku tidak sendirian.

Malam telah tiba. Aku pun beristirahat di tikarku yang nyaman. Sebuah rumah gubuk yang mudah tertiup angin dibangun oleh pekerja dan untuk pekerja. setelah bekerja lembur tanpa beras tambahan. Biasanya kami, para pekerja akan tidur di rumah itu. saat-saat seperti inilah yang membahagiakan. Meski terkadang aku tak dapat tidur, karena teringat suara-suara pekerja lain yang sekarat. Namun, hal itu hilang ketika aku memikirkan Ibuku dan Mirna. Setiap memikirkan itu, suara-suara jangkrik dan kodok serasa mengerti apa yang sedang kulamunkan. Tiba-tiba, aku mendengar seseorang memanggil namaku.
“Sapto..”

Suara yang datang dari kegelapan malam itu, mengejutkanku, aku tahu jika yang memanggilku itu adalah Sujatno, tapi kenapa Ia berkeliaran dan memangilku. Karena penasaran, aku pun bergerak menuju arah datangnya suara Sujatno.
“Jatno”

Sontak Jatno membekap mulutku dan mengacungkan jari telunjuk di depan mulutnya, tanda untuk diam.
“Jangan berisik.”

Aku pun mengangguk tanda setuju. Jatno pun memberi isyarat untukku, agar aku mengikutinya. Jatno pun semakin mendekati hutan, ketika aku memperhatikan sekitar. Tak ada satu pun penjaga yang saat itu sedang bertugas. Malahan satu penjaga ku lihat sedang mengorok di pos penjagaan dekat hutan. Setelah dirasa cukup aman untuk mengobrol, Sujatno pun melanjutkan.

“Dengar, aku telah mengumpulkan beberapa orang yang ingin mengikutimu kabur dari sini, kurang lebih ada sembilan orang. Apa rencanamu berikutnya?”

“Bagaimana bisa kau memberitahu yang lain tentang ini. Ini terlalu berbahaya, alih-alihlolos malah kita bisa ketahuan.”
“Tenang dan percaya padaku, sekarang apa rencanamu?.”

Pertanyaan itu seakan menjauhkan pada kemungkinan aku bisa lari dari penjara ini. aku tidak pernah memikirkan akan ke mana dan menuju ke mana. Sejauh yang aku tahu, bukit-bukit ini hanya dikelilingi hutan yang mungkin berisi macam-macam di dalamnya.

Setelah obrolan singkat itu, Aku pun kembali berbaring di tikarku. Namun, aku tak bisa tidur. Mataku hanya terpejam tapi jiwaku tetap terkurung dalam tubuhku. Aku menyesal kenapa tidak kabur saat berbincang dengan Sujatno. Namun, setelah dipikir ulang sekali lagi aku tak pernah tahu arah mana yang akan aku tuju di dalam hutan. Semoga saja, dari sembilan orang yang dikatakan Sujatno itu, dapat memberitahu arah yang benar di dalam hutan.

Esok malamnya, Jatno kembali lagi mendatangiku dan mengajakku ke tempat aman yang menjadi ruang rapat kami semalam. Hanya saja, kali ini ada seseorang yang telah duduk bersilah. Orang itu mengenakan pakaian dari karung goni yang sama seperti pekerja lainnya. Wajahnya ditumbuhi cambang, hidungnya mancung dan kulitnya meski kotor karena debu, kulitnya terlihat putih.

“Dia Syamsul, biasanya Dia mengangkut kayu dari hutan, terkadang pula, dia mengangkut mayat-mayat.” Jatno memperkenalkan orang itu dengan sedikit berhati-hati, takut kalau ada yang terbangun.

“Mana orang-orang yang lain, bukannya ada sembilan orang?” Aku bertanya pada Sujatno tentang keberadaan yang lain

“Mereka semua mundur, mereka semua takut kalau ada yang mengadukan perbuatan mereka”. Jawab Sujatno.

“Terus apa yang akan kita lakukan dengan orang ini, seperti nya di tidak bisa bahasa Melayu atau Bahasa Jawa.” Sejenak aku melirik orang itu. Ia pun hanya tersenyum dan mengatakan hal yang membuatku kaget.

“Aku tahu bahasa Jawa, mungkin kau heran karena wajahku yang berbeda tapi ketahuilah sejak aku lahir aku sudah tinggal di Pasuruan hingga para Nippon itu membawaku kemari.” Syamsul memang terlihat berbeda denga orang jawa. Namun, caranya berbicara, mengingatkanku pada rumah. Memang benar banyak orang-orang jawa yang diangkut kemari, tapi beberapa dari para pekerja juga berasal dari orang-orang Belanda yang kalah perang dan beberapa dari mereka ada yang keturunan timur tengah, salah satunya adalah Syamsul.

“Iya benar, kakekku adalah orang Iran yang telah menetap di Pasuruan lama sekali, hingga Ayahku dan sekarang Aku, tapi aku ditangkap karena aku dianggap pro dengan blok barat”. Setelah mendengarkan penjelesan Syamsul. Aku pun menoleh ke Sujatno dan bertanya.

“Lalu,apa yang harus aku lakuka?”

“Begini, karena Syamsul sering sekali ditugaskan untuk mengambil kayu di hutan dan mengangkut apapun dari hutan, jadi dia tahu harusnya kita kabur ke arah mana.”

“Bernarkah?” kataku sambil menahan agar aku tak berteriak.

“Ttu benar, aku tahu harus kabur ke mana, ku dengar kau ingin kabur Sapto, lalu aku ikut Sujatno dan ingin menawarkan sesuatu padamu.”

Ia pun menceritakan apa yang pernah Ia lihat di hutan. Menurut ceritanya, jika ingin kabur mungkin harus menjauhi sungai dan jalur-jalur setapak yang sering dilewati Saudara Tua.

“Kita harus berhati-harti, terus menuju selatan tapi aku juga tidak tahu gambarannya apa yang ada di sana, namun setidaknya sepertinya kita bisa kabur menuju laut dan mencarikapal.”

“Apa kau tahu daerah apa ini?” tanyaku kepada Syamsul.

“Tidak tahu, namun jika aku tidak salah dengar kita berada di luar Indonesia, sebab penduduk di sini jarang yang menggunakan Bahasa Melayu.”

“Apa kau pernah tahu penduduk lokal di sini?” ganti Sujatno yang menanyainya.

“Ada penduduk daerah sini yang juga bekerja seperti kita, tapi aku tak mengenal bahasanya.”

“Apa kau yakin mereka berasal dari sini”

“Aku yakin.” Aku memotong diskusi itu.

“Sepertinya, tidak mungkin mereka penduduk lokal. Jika mereka bertempat di sini, pasti memungkinkan untuk kabur, biar pun berada di wilayah ini mungkin mereka juga berasal dari tempat yang jauh.”

Setelah aku mengatakan itu, Sujatno memberi isyarat untuk diam. Setelah dirasa cukup aman, Ia mengemukakan rencananya.

“Baik, sepertinya waktu untuk kabur besok malam dan usahakan untuk berpencar.”

Aku pun memotong Sujatno ditengah Ia membeberkan rencananya: “Kenapa tidak Kabur sekarang?” Sujatno dan Syamsul pun terdiam mendengar rencanaku. Syamsul pun sedikit mendekat ke arahku dan berbicara sangat perlahan.

“Aku telah mengatakan pada Sujatno tentang ini. Tadi sore para Nippon itu sedang bergegas masuk ke arah hutan.” Setelah kembali memperhatikan sekitar, Syamsul pun melanjutkan ceritanya.

“Entah apa yang mereka perbuat, yang jelas tempat ini penjaganya berkurang dan di dalam hutan itu mungkin lebih berbahaya. Jika kabur sekarang mungkin kita bisa tertangkap, tapi aku akan mencoba membawa sesuatu dengan gerobakku besok untuk melihat situasi sekitar. Jika memang telah aman aku akan memberitahu kau dan Sujatno.”

Setelah kami terlibat dalam pemufakatan untuk kabur. Kami pun mengendap-endap kembali ke tempat tidur masing-masing. Besok malam adalah hari penentuannya. Aku pun tak sabar mengetahui hasilnya. Seperti biasa, aku hanya memejamkan mata tapi pikiranku masih bekerja. Aku membayangkan Ibuku yang menunggu di rumah dengan wajah yang sumeringah dan Mirna yang telah pulang lebih dulu dengan membawa ilmu-ilmu yang baru dari Saudara Tua. Aku tak dapat menebak apa yang akan terjadi ketika aku kabur dan tersesat di hutan. Aku belum membicarakan dengan Sujatno ketika hari sudah mulai sore. Ketika sang fajar itu terlelap itu artinya kita harus lari dari penindasan ini.

Setelah bekerja hingga larut malam. Tidak ada waktu untukku hanya berdiam dan menunggu dibebaskan seperti yang lain. Aku pun bersiap sesuai instruksi Sujatno. Sebelumnya, Syamsul yang berpura-pura masuk ke dalam hutan untuk mengambil sesuatu telah melaporkan pada perkiraannya pada Sujatno. Syamsul mengatakan, jika para Saudara tak berada pada pos-pos dalam hutan, artinya mereka semua masuk lebih dalam ke hutan. Jika melihat keadaan di sini banyak dari mereka juga tak kembali ke pos penjagaan di antara hutan dan tempat ini. Ini adalah kode untuk kabur.

Rencananya kita akan kabur langsung setelah hari petang dan harus berpencar, sebab jika kita berkumpul akan menimbulkan kecurigaan yang lain. Semoga saja, jika kita memang ditakdirkan untuk kabur kita akan bertemu kembali di hutan..

Ketika aku rasa sudah aman. Aku pun berlari sekencang-kencangnya. Di depanku hutan yang gelap itu menunggu. Saat aku hanya beberapa Meter dari hutan yang lebat. Terdengar suara tembakan dari kejauhan. Tidak ada waktu untuk menoleh. Kembali aku harus melihat ke depan dan merasakan kebebasanku di depan. Entah berapa lama aku berlari. Yang jelas kakiku mulai lemas, nafasku juga tak beraturan. Namun, aku takut jika aku berhenti aku akan tertangkap. Kemungkinan tembakan tadi adalah tembakan peringatan bagi orang-orang yang kabur. Semoga saja Syamsul dan Sujatno tidak tertangkap.

Paru-paruku rasanya sangat sulit untuk mengambil udara malam. Aku pun memutuskan berjalan dibawah rembulan.
“Yang terpenting menjauh dulu.”

Aku pun berbisik pada diriku sendiri. yang terpenting saat ini usahakan untuk menjauh. Hingga pada akhirnya aku memang sudah tak kuat lagi. Kusandarkan diriku pada batang pohon yang besar. Mungkin setidaknya dibutuhkan lima orang untuk dapat merangkul batang pohon ini. Ditemani suara-suara lolongan dan geraman di hutan aku berpikir untuk pasrah. Mungkin sebaiknya aku mati saja. Namun, biarpun memang harus mati setidaknya lebih baik aku mati di hutan diterkam binatang ganas atau dedemit yang berada dihutan daripada harus mati ditempat kerja paksa itu.

Tiba-tiba dari arah kegelapan malam terdengar gerakan. Aku pun menyesal telah berpikir lebih baik mati di hutan. Terlintas dalam benakku bayangan Ibuku yang berdiri di depan teras menunggu kedatanganku dan juga Mirna yang telah pulang dari sekolahnya bersama Saudara Tua. Aku tak sanggup bergerak, kekuatanku sontak menghilang. Dalam posisiku yang seperti ini mungkin pemangsa itu dapat menangkapku dengan mudah.
“Sapto, apa itu Kau?”

Suara itu muncul seperti halusinasi dalam otakku. Aku pun tidak tahu apa itu hantu Sujatno atau memang benar dia yang ada dalam kegelapan.
“Sujatno…”

Disinari cahaya Bulan, wajah Sujatno muncul dari kegelapan: “Ternyata benar kau.”

“Kau selamat, mana Syamsul.”

“Aku tak tahu, dari awal aku sudah berpencar darinya, semoga ia tidak tertangkap, sebab ketika aku berlari, dari kejauhan terdengar suara teriakan selang berapa menit dari tembakan.”

Kata-kata Sujatno membuatku ragu jika aku dapat lolos dari cengkraman, namun tak ada waktu untuk ragu, aku tahu bahwa ini sudah terlanjur. Hal yang paling penting adalah tetap maju. Walau begitu melihat Sujatno yang pucat sepertinya kami semua butuh istirahat barang sebentar: “Sepertinya Kau butuh istirahat.”

Kami pun tidur dengan bergantian menjaga. Siapa tahu ketika tidur ada yang mendekat dan menerkam.

Esok paginya, kami memutuskan berpindah tempat, sebab tempat yang ini kurang begitu aman. Kami pun mencari tempat yang lebih rimbun dan banyak semak belukar. Kami pun bertahan dengan memakan dedaunan dan buah-buahan yang menurut Sujatno dapat dimakan. Entah dari mana pengetahuan itu diketahui Sujatno. Ia dapat memilah mana daun yang beracun dan buah yang berbahaya. Mungkin, para demit di hutan ini yang membisikannya. Selama di hutan kami bertahan dengan itu. kami berjalan, ketika malam tiba dan beristirahat ketika pagi. Kami berusaha menjauhi sungai dan jalan setapak yang kami temukan. Sebenarnya aku tidak tahu kami mengarah ke mana, tapi menurut Sujatno kita berjalan mengarah ke selatan.

“Sebentar lagi lautan, aku bisa merasakannya, coba kau rasakan Sapto,apa kau mencium bau garam?”

Sujatno terus-mengerus mengoceh sebentar lagi lautan dan begitu seterusnya. Sampai pada suatu malam Sujatno terlihat pucat sehingga aku memutuskan untuk beristirahat, namun ia bersih keras untuk tetap berjalan. Meski begitu, tubuhnya tak dapat berbohong. Ia ambruk di tanah.

“Sapto, apa kau tidak kedinginan??”

Ketika ia bertanya seperti itu. langsung saja ku sentuh dahi Sujatno. Dahinya terasa panas ditanganku. ia terserang demam. Aku pun segera mencari air. Untung di sekitar banyak daun-daun yang basah. Aku pun mengambil beberapa daun dan kemudian meletakannya di kening Sujatno. Aku berusaha mengumpulkan makanan baik daun maupun buah-buahan sebanyak mungkin. Meski Ia tak mau makan aku mencoba memaksanya.

“Sapto, berhenti dulu, aku sudah tidak kuat.”

Dengan terpaksa aku memapa Sujatno berjalan. Ia tetap bersih keras untuk melanjutkan perjalanan. Dengan daun kering seadanya, aku membaringkan Sujatno di atasnya. Sebisa mungkin, aku mencari daun basah untuk meredahkan demam. Meski aku tahu, sebenarnya hal ini sia-sia, namun aku tetap ingin pulang bersama-sama..

“Apa Aku akan mati?”

Hampir saja aku menangis mendengar pertanyaan itu. aku tahu jika Sujatno sudah tak dapat bertahan lebih lama lagi. Namun, aku harus tetap percaya jika ada pertolongan di hutan rimba ini:

Entah Tuhan, Entah Malaikat, Entah Setan, Entah Iblis Yang Penting Kami dapat Tertolong dan Kabur

“Jangan bicara seperti itu, bertahanlah. Sebentar lagi kita sampai.”

“Maukah kau mencari desaku dan menitipkan salamku pada keluargaku. Aku memiliki seorang istri dan seorang anak. Aku pikir, aku akan mati di medan peperangan. Dulunya aku adalah Pembela Tanah Air. Pasukan pribumi yang dibuat Nippon untuk melawan sekutu. Namun, kami memberontak. Kami tak kuat melihat apa yang telah dilakukan oleh para Saudara Saudara Tua itu. Aku menyesal meninggalkan anak dan istri demi ilusi. Bisakah kau sampaikan maafku pada anak istriku?”

“Diamlah, aku akan mencari pertolongan, bertahanlah sebentar.”

Aku pun berlari entah ke mana. Yang jelas aku harus mencari pertolongan. Aku baru menyadari, ini adalah hutan lebat yang tak pernah aku mengerti ujungnya di mana. Hal itu membuatku hanya berputar-putar dan berteriak meminta tolong di dekat Sujatno yang sekarat.

Baru saja aku berpikir hendak kembali dan menemani Sujatno, sebuah suara keras muncul seakan menggertakku.

“Freze…!!!”

Jantungku serasa behenti sesaat. Terlihat beberapa orang mengepungku dengan membawa senjata api. Mereka mengucapkan bahasa-bahasa yang tak pernah ku dengar.

“Who are you?”

Salah seorang dari mereka menanyaiku, tapi aku tak mengerti apa yang mereka katakan. Aku hanya terdiam dan mengangkat kedua tanganku tanda menyerah.

“Ampun… aku Sapto bukan Wahyu. Tolong di sana temanku sekarat.”

Hanya itu yang terlintas dibenakku saat ini, dari seragamnya, sepertinya mereka bukan golongan Saudara Tua. Aku pun menunjuk arah dan berharap semoga arah yang ku tunjuk benar. Salah satu dari mereka pun mengangkat tangan dan memberi isyarat. Aku tak mengerti isyarat apa itu. Dari kelihatannya, Ia menyuruh melihat arah yang aku tunjuk dan ada salah satu seorang yang lain mendekat kepadaku. Lalu, semuanya menghitam.

“Mas Sapto, tolong aku..”

“Mirna.. Mirna…”

Aku terbangun dengan kepala belakangku yang nyeri. Mataku belum bisa melihat dengan benar. Samar-samar, aku menatap bayangan orang. Ada sensasi aneh di tanganku. Ketika penglihatanku pulih benar aku melihat ada benda seperti selang ang menancap di situ, selang itu mengalirkan air dari sebuah kantung plastik yang menggantung. Aku pun dapat menangkap sesosok manusia yang ada di hadapanku. Sosok itu bertubuh besar, matanya kecoklatan, hidungnya seperti paruh burung yang bengkok yang siap memakanku. Kulitnya putih dan sepertinya di atas dahi yang menonjol itu, beberapa helai rambut tumbuh.

“Piye Kabarmu?”

Mendengar bahasanya, aku pun terheran. tak pernah aku berbicara dengan orang asing yang dapat berbicara jawa seperti itu. Firasatku menggelitik dalam pikiranku, bahwa yang terlihat baik akan mengantarmu dari penjara menuju penjara lain. Aku pun hanya diam dan pasrah kembali. Kali ini aku akan bekerja lagi seperti dulu. Membangun rel atau membangun atau meratakan apapun itu aku harus bekerja lagi dengan bayaran yang dapat mengikis tubuhku.

“Oh iya, aku lupa, namaku Sebastian Dauver, aku adalah anggota Palang Merah Internasional. Mungkin, kau heran, bagaimana aku bisa berbicara dalam bahasamu?”

“Ayahku, Martinus Dauver, adalah seorang dokter. Ia sudah lama tinggal di Surabaya dan menikah dengan gadis Surabaya. Sejak dilahirkan aku sudah berada di sana. Ketika umurku 22 tahun, aku kembali ke negara Ayahku, Belgia untuk belajar ilmu kedokteran. Jadi mulai kecil aku sudah ada di Jawa. Kawan-kawanku orang pribumi biasa memanggilku: Dower.”

“Maafkan aku Tuan Dower, tempat apa ini?”

“Ini adalah Kamp tentara Sekutu yang ada di Burma.”

“Burma?”

“Iya, tempat ini ratusan kilometer jauhnya dari Surabaya. Kau pasti dikirim untuk menjadi seorang Romusha.”

Aku terdiam mendengar ucapan Tuan Dower. ia pun menangkap keheranan di wajahku, kemudian melanjutkan penjelasannya.

“Sepertinya kau tidak tahu apa itu Romusha. Begini, Jepang berencana membangun sebuah rel untuk berperang. Rel itu akan difungsikan sebagai pengirim logistik dari Thailand menuju Burma, karena akan lebih berisiko jika Jepang mengirimkannya lewat laut dan udara. Maka, mereka butuh pekerja untuk proyek tersebut.”

Kembali aku diserang kebingungan. Penjelasan tuan Dower tak dapat diterima oleh akalku. Logistik, rel kereta apai, Thailand dan Burma. Namun, kerja paksa itu dan orang-orang yang dikirim mengingatkan pada Sujatno dan Syamsul serta orang-orang yang berada di tempat itu.

“Apakah Sujatno baik-baik saja?.”

“Sujatno? jika maksudmu seseorang yang kami temukan di dalam hutan dekat kami menemukanmu kemarin itu. maafkan, kawanmu itu telah meninggal. Ia terserang Malaria. Hutan seperti itu, banyak nyamuk yang berkeliaran. Aku takjub kau bisa bertahan.” Kabar itu serasa menedang kepalaku. Hanya aku yang berhasil lolos. Mataku serasa panas mendengar Sujatno yang tak selamat.

Tuan Dower pun menundukan kepala. Kemudia, Ia melirik sebuah kursi lalu menyeretnya dan meletakannya di samping kasurku, tempatku berbaring. Ia pun duduk, setelah Ia mengatakan sesuatu dalam bahasa yang tak ku mengerti kepada seorang perawat. Seusai berbicara, perawat itu pun mengangguk dan keluar ruangan dan menutup pintu. Beberapa menit kemudian, Perawat itu datang lagi dengan membawa sebuah kertas dan pena untuk Tuan Dower, setelah menyerahkan benda-benda itu pada Tuan Dower, ia pun melihat sebuah plastik berselang yang tergantung dimana ujungnya menancap di tanganku. Muncul rasa nyeri ketika perawat itu mencabut selangnya. Setelah rasa nyeri itu mulai hilang. Aku kembali menatap Tuan Dower. sambil terduduk, Tuan Dower bersiap dengan pensil dan kertas untuk mencatat sesuatu..

“Coba ceritakan apa yang telah terjadi padamu?”

Aku pun menceritakan segalanya, mulai dari Bapak dan Ibuku. Bagaiamana aku dapat dibawa ke tempat ini dan dipaksa bekerja, lalu memutuskan kabur kemudian perjalananku di dalam hutan dan yang terakhir tentang Mirna. Ia pun mendengarkan sambil sesekali mengangguk-angguk. Beberapa kali, Ia menyuruhku mengulang cerita dan kemudian ia mencatatnya dalam kertas yang diamblikan perawat tadi.

“Kurasa kau telat 180 hari untuk mengetahui proklamasi.”

Aku pun asing mendengar kata yang diucapkan olehnya. Meski begitu, aku percaya bahwa kata itu adalah hal yang baik.

“Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Oleh karena itu, pada 17 Agustus yang lalu, para Pemimpin Indonesia langsung mengumumkan kemerdekaannya. Pengumuman itu berarti proklamasi..” lanjut Tuan Dower.

Meski merasa seperti terbebas dari penjajahan, aku masih belum merasa bebas sepenuhnya. Nasib Mirna masih mengawang, demikian pula dengan Ibuku.

“Kemungkinan Ibumu tak apa-apa, tapi untuk gadis bernama Mirna itu, mungkin juga selamat. Hanya saja…..” Lanjutnya, seakan Ia bisa membaca apa yang aku pikirkan:

“Dengar, maafkan aku harus menceritakan ini. Jepang tidak hanya memperkejakan seseorang untuk menjadi Romusha, tapi juga perempuan Penghibur, biasanya mereka menyebutnya Jugun Ianfu. Mereka direkrut dengan ditawari pekerjaan atau pendidikan ke Negara Jepang, namun ketika menuju Jepang kapal itu harus berbelok.”

Jantungku meledak mendengar jawabannya hingga membuatku pingsan. Nasib Mirna tak lebih baik, Ia mungkin merasakan siksaan itu hingga akhir hayatnya.

Februari 1950. Aku berdiri di atas makam kawan seperjuanganku. Kini aku harus bersiap untuk menyampaikan pesan para almarhum itu pada keluarganya. Hingga aku memutuskan untuk kembali ke kampung halamanku, tidak ada kabar mengenai keberadaan Mirna. Berkat Tuan Dower, aku bisa mencari informasi mengenai para peerempuan Indonesia yang dikirim oleh Jepang melalui surat kabar. Aku juga berkali-kali mengirimkan surat pada Ibu yang hasilnya pasti surat itu akan kembali, sebab rumahku tak pernah memiliki alamat. Setiap kali kembali, setiap pula ku tatap Indonesia tertera pada alamat tujuan.

Meski Indonesia telah memenangkan gugatannya, suratku pasti tak pernah sampai ke rumah. Itu sudah jelas mengingat memang aku tak pernah punya alamat rumah.

Angin laut menerpa wajahku dan memburai rambutku yang tumbuh memanjang dengan merdeka. Selama pendudukan Saudara Tua, rambut pun tak diperkenankan bergerak.

Tak seperti dahulu, meski Kapal ini ramai. Namun, ada kehidupan di dalamnya. Para mantan Romusha sepertiku kembali pulang dengan membawa pesan yang sama. Selama di perantauan, berkali-kali Tuan Dower ingin mengirimku pulang berbarengan dengan Kapal Palang Merah yang sedang memulangkan para Romusha ke Hindia Belanda, namun aku selalu menolak. Tuan Dower tahu sebenarnya, aku hanya ingin pulang jika Hindia Belanda menjadi Republik Indonesia, jadi Ia biarkan diriku menetap di Burma sambil belajar membaca dan menulis. Dengan modal itu, aku tahu bahwa Indonesia tengah berusaha mendeklarkan dirinya sebagai negara di dunia internasional. Hanya saja, hal itu diperalot Kerajaan Belanda yang tak ingin Hindia Belanda berganti menjadi Indonesia.

Barulah dua bulan setelah Konfrensi Meja Bundar di Den Haag, aku memutuskan untuk pulang. Setelah sampai di desaku. Rasanya aneh menjejakan kakiku di kampung yang telah dihiasi warna Merah dan Putih. Bendera berkibar di mana-mana. Orang-orang keluar dan menampakan gurat keceriaan dimatanya. Kala sampai depan rumah, aku melihat orang tua itu. Orang tua yang selama ini membesarkanku. Berkat doanyalah kini aku pulang.

“Le… kau pulang…”Ibuku Memelukku Erat.
Meski terlihat lebih tua daripada kala aku meninggalkannya, namun kasih sayangnya tak pernah luntur oleh usianya.

Kemudian di Kampung Halaman Sujatno Laki-laki didepanku kini telah beranjak dewasa, ia menatap mataku lekat. Ia tak dapat menyembunyikan air yang jatuh di pipinya. Sutopo anak Sujatno, tak kan mengira jika Ayahnya tak pernah kembali mengetuk pintu rumah dan mengucapkan salam padanya. Ia pun tak pernah tahu Sujatno adalah Pembela Tanah Air yang merepotkan pelatihnya. Yang Ia tahu, hanya serpihan pesan yang ditipkan Sujatno padaku. Anak itu harus merawat kakeknya sendirian setelah Ibunya tak cukup kuat untuk mengetahui bahwa Suaminya menghilang. Sayangnya, Sujatno pun tak pernah tahu kabar tentang keluarganya sekarang.

Suara lonceng mengiringi langkah kaki sapi yang menyeret gerobak Cikar. Di belakang kusir yang sudah setengah abad itu, aku duduk membelakangi sambil menatap bekas cetakan roda yang membekas di tanah. Sudah sekitar sebulan lebih aku menjelajahi Pasuruan. Hingga aku mendengar terdapat sebuah perkampungan orang-orang timur tengah. Berita itu membawaku ke daerah Bangil. Namun, ketika aku menanyakan tentang Syamsul, mereka tidak pernah tahu. setiap orang yang aku tanya selalu balik bertanya padaku. Sayangnya, aku tidak pernah sempat menanyakan pada Syamsul, anak sapakah dia?

Cikar itu pun berhenti di depan rumah besar arsitektur Belanda. Melihat dari keadaanya yang bersih, rumah ini pasti berpenghuni. Semenjak kemelut terjadi, konon banyak rumah-rumah bagus itu kosong ditinggalkan pemiliknya kembali ke Negaranya. Tak jarang pula, rumah-rumah bergaya eropa itu diamankan Jepang yang kini pasti berganti pemiliknya.

Sejenak aku diam di depan rumah dan memandanginya. Entah apa yang membuatku menatap rumah ini. Pekarangnanya besar banyak daun-daun beringin berguguran di sana. Tak lupa aku mengamati bendera Negaraku yang berdiri tegak di tiang bambu di depan pagar rumah itu. setelah beberapa saat, terdengar seseorang membuka pintu. Aku sadar, mungkin penghuni rumah ini tak nyaman ada orang asing yang sedang mengamati rumahnya.

Sebelum aku diusir, aku berpikir lebih baik aku pergi. Hanya saja tatapan seorang perempuan yang lama kucari menghentikan langkahku. Tak kusangka-sangka aku pada akhirnya bertemu di sini.

“Mas Sapto….”

Tak seperti dulu, Mirna kini memanggilku tanpa melihat mataku. Ada rasa senang bertemu dengannya, ada pula rasa bingung bagaimana bisa aku bertemu di tempat ini. Di antara semua itu, yang terpenting jelas aku harus membawanya pulang.

“Apa kau masih menginginkanku Mas Sapto?.”

“Tentu saja…. Tentu Saja…..Tentu Saja…..Mari Kita Pulang Mirna…”
Hatiku diliputi haru bercampur gembira

Ternyata Mirna telah kembali pulang bersamaku. Jalan panjang telah mengantarkan Mirna ke rumah yang terletak di Pasuruan tersebut. bangunan itu memang milik Belanda, namun kini digunakan untuk tempat penampungan korban penjajahan. Mirna memutuskan untuk bekerja di tempat itu. Ia membantu para korban yang traumatik atau takut untuk kembali pulang, sebab kampung halamannya tak menerimanya.

Begitu pula Nasib Mirna. Mirna mungkin telah lebih dulu pulang ke Indonesia, tapi Ia merasa takut bila harus kembali ke desa. Pernah suatu ketika Mirna dikunjungi oleh Cak Girman, Kepala Dusun itu. hanya saja pertemuan itu membawa luka lama.

Mirna juga sempat ingin mengunjungi Ibuku tapi Ia ragu bila mendapat penolakan darinya. Namun, sekarang Ia pulang. Pulang bersamaku ke tanah yang kini telah Merdeka.
Tujuh belas Agustus 1950, setelah mengikuti upacara kemerdekaan di Kantor Kecamatan setempat. Aku berjalan menuju rumah. Di tengah jalan, aku bertemu dengan Kepala Dusun yang kini sudah tak menjabat lagi. Ia hanya mendengus kepadaku tanpa mengucap apapun. Aku hanya tersenyum melihat Cak Girman yang berlaku sinis padaku. Mungkin, hari kemerdekaan tak berarti apa-apa untuknya. Mungkin juga, bagi Cak Girman, Merdeka bermakna mengambil kesempatan ketika situasi menjepit. apalagi setelah lamarannya ditolak Mirna ketika itu. kini dengan Mirna berada disampingku sepenuhnya, Cak Girman mungkin merasaa tak pernah Merdeka, karena akulah orang yang seratus persen Merdeka..

TAMAT

Last Updated on 4 tahun by Redaksi

Oleh Dendy Arifianto

Aku berfikir, karena itulah aku ada.

3 komentar

  1. Saya merasakan terhanyut dalam alur ceritanya meskipun ini hanya cerpen.
    Andai Sujatno bisa ikut pulang bersama Sapto..

  2. Sangat menarik ceritanya ,alur dan plot runtut sekali

    Sangat menginspirasi tulisan mas dendy

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *