Jenis Kelamin dan Perilaku Seseorang, Adakah Hubungannya?

Penulis memang bukan ahli psikologi, bahkan sama sekali awam dalam bidang ilmu yang satu ini. Penulis hanyalah seseorang yang memiliki ketertarikan yang cukup besar terhadap dunia tulis-menulis, musik, dan teknologi. Tapi tak apalah, kali ini penulis ingin sedikit “sok tahu” dan berbagi pandangan mengenai jenis kelamin dan hubungannya dengan perilaku seseorang.

 

Penulis yakin dari sekian banyak pembaca yang kebetulan membaca tulisan ini, pasti pernah mendengar beberapa pernyataan seperti contoh berikut.

 

“Halah, lo jadi cowok cengeng bener? Cowok tuh gak boleh nangis!”

Atau

“Ah, males gue kalo udah ngumpul sama cewek. Bawaannya pasti berisik deh.”

Atau

“Wah, lo kenapa berantem sama cewek lo? Pasti lo deh yang nyari gara-gara.”

 

Kejadian-kejadian di atas memang hanyalah kejadian sehari-hari yang mungkin tak pernah diperhatikan orang. Namun, Dari beberapa contoh di atas, penulis menemukan sesuatu yang agaknya harus sedikit dikomentari –semoga ini menjadi komentar yang baik-. Dari contoh-contoh di atas, tampak ada stereotip yang melekat pada masing-masing jenis kelamin, bahwa laki-laki itu demikian dan perempuan itu demikian.

 

Manusia -dan sebagian besar makhluk hidup- memang diciptakan berpasang-pasangan; laki-laki dan perempuan, jantan dan betina. Kedua jenis kelamin tersebut secara fisik memang memiliki bentuk yang jelas berbeda. Secara emosi pun mereka memiliki tingkat emosi yang agak berbeda; laki-laki biasanya lebih menggunakan logika, sedangkan perempuan biasanya lebih menggunakan perasaan. Namun, jika kita lihat lagi, sebenarnya kedua model tersebut –logika dan perasaan- harus digunakan dengan seimbang baik oleh laki-laki maupun perempuan.

 

Dari segi perilaku, menurut penulis agak kurang baik jika orang mengidentikkan laki-laki maupun perempuan dengan perilaku-perilaku tertentu. Coba kita perhatikan tiga pernyataan di atas. Di sana terlihat bahwa “cowok gak boleh nangis”, “cewek itu berisik”, dan “kalau lagi berantem, cowok yang cari gara-gara”. Mari kita coba analisis satu per satu.

 

Pertama, “Cowok gak boleh nangis”? Menangis adalah kodrat setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Manusia yang tidak bisa atau tidak pernah menangis, perlu dicurigai apakah kondisi fisik dan psikisnya masih berjalan normal?

 

“Tapi menangis itu kan tanda kelemahan?” Ah, itu sih hanya lirik lagu karangan Ahmad Dhani yang dinyanyikan oleh tiga orang “bocah yang baru belajar ngeband” yang menamakan diri mereka The Lucky Laki. Menangis adalah salah satu reaksi tubuh. Jika tubuh merasakan sesuatu yang berlebihan, seperti sakit yang berlebihan, senang yang berlebihan, atau sedih yang berlebihan, maka akan timbul reaksi yang disebut memangis. Menangis juga dapat membersihkan mata dari kotoran-kotoran. Jadi, siapa pun bisa dan berhak menangis, baik laki-laki maupun perempuan.

 

Kedua, “Cewek itu berisik”? Dari segi suara, Tuhan memang menciptakan pita suara perempuan dengan desain yang berbeda. Suara perempuan diciptakan lebih lembut, lebih tinggi, dan lebih nyaring jika dibandingkan dengan suara laki-laki. Mengapa demikian? Karena perempuan itu keindahan. Dan suara yang demikian adalah suara yang indah. Jika pembaca merasa suara yang demikian adalah berisik, artinya pembaca kebetulan sedang menemukan perempuan yang mungkin mempunyai banyak bahan pembicaraan sehingga terkesan berisik (atau mungkin pembaca –yang laki-laki- tidak menyukai perempuan dan beralih orientasi menyukai laki-laki?). Coba bayangkan jika suara perempuan seperti suara laki-laki. Apa yang bisa pembaca –khususnya para laki-laki- bayangkan? Indah atau tidak?

 

Dan satu lagi, seperti yang sudah penulis sedikit singgung di atas, perempuan –biasanya- lebih mengedepankan perasaan ketimbang logika. Jadi, wajar jika perempuan terkesan berisik, karena dia akan menyampaikan/mengeluarkan apapun yang dia rasakan. Berbeda dengan laki-laki yang biasanya memendam apa yang dia rasakan di dalam pikirannya sendiri.

 

Ketiga, “kalau lagi berantem (dengan pasangan), cowok yang cari gara-gara”? Untuk hal ini, penulis tidak mau berkomentar terlalu banyak –takut ada yang ngamuk (lagi), hehehe-. Yang jelas, setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan memiliki potensi yang sama untuk mencari gara-gara dalam urusan apapun itu. Jadi, rasanya kurang bijaksana jika disimpulkan bahwa laki-laki cenderung lebih sering cari gara-gara dibandingkan perempuan. Coba kita lihat, berapa banyak perempuan yang selingkuh di luar sana? Dan berapa banyak juga laki-laki yang selingkuh? Jika diadakan sensus, mungkin jumlahnya sebanding.

 

Sebenarnya masih banyak contoh kasus lain di dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan judul tulisan ini. Tetapi, penulis memahami bahwa pembaca mungkin lelah membaca dan memahami tulisan yang agak panjang dan berbelit-belit ini. Satu yang ingin penulis simpulkan, bahwa sikap dan perilaku seseorang tidak bisa dilihat dengan tolak ukur jenis kelaminnya. Sikap dan perilaku seseorang secara garis besar ditentukan dari bagaimana orang itu sendiri dan bagaimana lingkungannya.

 

NB: Bagi yang ingin menyanggah, mengkritik, atau mendukung pendapat penulis, mari kita berdiskusi dan bercakap-cakap di kolom komentar yang tersedia 🙂

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Oleh Fakhry Muhammad Rosa

Fakhry Muhammad Rosa, seorang tunanetra kelahiran Pontianak, 31 Mei 1994. Alumni jurusan Sastra Jerman, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Aktif menjadi pengurus di ITCFB (IT Center For The Blind) sebagai penulis artikel teknologi (silahkan baca di http://www.itcfb.org). Aktif bermusik sebagai drummer di Mitra Netra Band dan bassist di Remikustik.

4 komentar

  1. therefore, men are from Mars and Women are from Venus. Ada konstruksi gender yang bekerja di sana. ketika lelaki menangis laku mencoba sok tegar, sudah adakonstruksi gender yang bermain. anyway, biar fair, yang ngembek itu disuruh komentar di sini juga dong. haha

  2. Menurut sayayang sok tahu ini, hehe

    Selingkuh itu kemungkinan karena adanya kekurangpuasan pada pasangannya, entah karena kurang cantik, kurang terpuaskan, merasa kurang begruna, merasa kurang bahagia (bisa karena dilarang melakukan hobi, dilarang melakukan apa yang diminati), kurang perhatian, kurang cantik/tampan, kurang sempurna, dan lainnya laaa,

    yah balik lagi, fokus pada kurang dan kelemahan.

  3. Mendukung dikit ya….

    tapi komentarnya lain,
    yaaah, saya bukan siapa-siapa dan bukan ahli…

    Gini,
    emang labeling/stigma negatif bikin mental blocking pada banyak hal, termasuk salah satunya adalah hal ini.

    Heeeei….
    laki-laki juga punya perasaan,
    dari apa yang saya dengar, mereka menangis sesaat secara diam-diam, misalnya saat terluka atau sedih, namun tetap berusaha tegar dan kuat, kekuatan inilah yang menjadikan laki sebagai pemimpin wanita.
    Sedangkan, stigma menangis adalah kelemahan, menurut saya perlu diluruskan,
    kami,
    perempuan,
    bukanlah makhluk lemah,
    tangisan kami adalah kekuatan untuk bertahan dalam menghadapi cobaan yang harus dijalani sepanjang hidup, dengan ini kami dapat bertahan dan tegar, sekalipun harus menjadi single parent tanpa kehadiran laki.

    Soal selingkuh, agak setuju, namun, perempuan itu bersifat menjaga, sedangkan laki-laki itu bersifat petualang.

    Semua tergantung dari individunya masing-masing. Mau jadi tukang selingkuh (jajan) atau setia seumur hidup sampai ajal menjelang (aih so sweet).

    Saya si kalau boleh menyarankan ikuti setianya saja, dilarang selingkuh, buat apa si saling menyakiti? mengorbankan satu sama lain, belum lagi anak juga jadi ikut korban yang akhirnya jadi ngawur dah tu….

    Ingat perjuangan saat berdua, apa yang dikasih mbo ya dihargai sekecil apapun.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *