Kakman dan Keluarga Disabilitas #3

Aku pernah mendengar, bahwa kita tidak mungkin mampu merubah apa yang telah di tetapkan Tuhan. Kematian, laki-laki dan perempuan, bahkan terjadinya siang dan malam, Tuhan berkuasa atas itu semua. Kalimat itu kini kembali mengalun dalam benakku. Entah menghibur atau mengingatkan aku bahwa garis Allah tidak bisa di potong, di ubah, atau di hapus. Yang jelas, ketika kembali ku dengar suaranya yang lirih, ekspresi wajahnya yang terpukul, dan kondisi kejiwaannya yang rapuh. Kalimat itu mendadak terang menyilaukan kesadaranku.


 


Kami saling berpandangan, kepalanya mendongak karena tubuhnya tak lebih hanya setinggi perutku. Kilasan kenangan bertahun-tahun lalu melintasi ingatanku, mereka bernyanyi, mereka mengejek, mereka menangis, tertawa, semuanya menatapku iba. Kenangan-kenangan itu serasa menghujam memoriku akan orang ini.
”Saha anjeun?” tanyanya dengan aksent Sunda halus.


 


Kuamati wajahnya yang bercak kehitam-hitaman. Matanya merah dan tatapannya miris ketika mengawasiku. Kak Ilham masih tetap diam, sama sekali dia tak memperdulikan ketakutanku. Aku mundur selangkah menjauhi pintu, bukan penampilannya yang membuatku hampir pingsan, tapi ada kesan mengerikan ketika orang itu bersitatap denganku.


 


”Kenapa mundur!? Kau takut melihatku!?” ia berusaha menggerakkan jari-jarinya menunjukku. Jari-jari itu sulit untuk mengikuti perintahnya. ”Ku tanya sekali lagi, siapa kau!?”


 


Kak Ilham menghampiri orang itu. Ia berbincang dengan nada suara yang tenang. ”Maaf kalau sekiranya adikku tidak membuatmu nyaman!”


 


”Jadi, itu adikmu?” pandangannya yang miris kembali mengebor mataku.


 


Silaing, adina Ilham?” kali ini aksentnya kasar.


 


”Ii … ya!” jawabku gemetar.


 


”Kau lupa padaku Kakman?”


 


Ada yang menekan ulu hatiku. Kata-kata itu membuatku berani mengamati wajahnya lebih teliti lagi, meskipun bercak hitam memenuhi wajahnya namun bekas luka di keningnya belum hilang. Aku tersentak, luka di keningnya menarik ingatanku akan sahabat bertahun lalu. ”Uloh?”


 


Setengah berlari ku hampiri tubuhnya, ia menghindar ketika aku ingin merangkulnya.


 


”Jangan kau lakukan itu! Aku tak pantas untuk kau perlakukan seperti itu!”


 


”Maafkan aku Loh, sungguh aku tak bermaksud …”


 


”Sudahlah Man, aku bukan sahabatmu yang dulu lagi!”


 


”Dengar, aku tak bermaksud menyinggungmu. Sungguh, aku takut bukan karena pada penampilanmu. Dan ..” Kak Ilham menepuk bahuku. Aku menoleh dan ia menyuruhku menyingkir sebentar.


 


“Ilham, suruh dia pergi!”


 


”Uloh, dengarkan aku kalau kau masih menganggapku seorang sahabat!”


 


Uloh memberi jalan pada Kak Ilham, mereka memasuki gubuk. Aku duduk lemas bersandar ke sebatang pohon tak jauh dari gubuk itu. Pintu gubuk terbuka, namun tetap saja aku tak bisa mendengar pembicaraan mereka. Rupanya Tuhan bisa juga berlaku kejam, dia tidak hanya berkuasa menetapkan kodrat manusia, siang malam, dan kematian. Namun Dia juga berkuasa untuk memperlakukan hambanya dengan tega seperti Uloh. Teganya Dia membuat cacat wajah sahabat seperjuanganku, sahabat yang dulu membantuku membesarkan hati Kak Ilham. Sahabat yang mau bergantian membacakan buku untuk Kak Ilham, sahabat yang rela menggendong kakakku waktu menyebrangi Cieunteung saat berangkat sekolah. Ku ambil sebatang ranting dan melemparnya ke udara.


 


”Ya Allah, teganya kau merusak tokoh yang ikhlas mendorong semangat hidup kakakku! Sudah hilangkah sifat Rahmanmu!?” amarahku sudah tak terkendali lagi.


 


Ledakan suaraku akhirnya membawa langkah Kak Ilham, ia mencari-cari suaraku. Kak Ilham menemukanku.


 


“Kakman!?” dia mengguncang-guncang tubuhku.


 


”Kau Kakman kan? Kau adikku kan?” hanya isak yang ku berikan sebagai jawaban. ”Kenapa kau? Aku mendengar apa yang kau ucapkan tadi. Aku membawamu kemari untuk memberi semangat hidup untuk Uloh, bukan memaki-maki Tuhan seperti itu!”


 


”Kak, aku terpukul. Lima Tahun aku meninggalkan desa untuk mencari tahu bagaimana caranya menangani kakak. Ulohlah yang dulu ikut mendorongku untuk pergi, kami telah kehabisan akal mencari cara untuk membuat keseharian kakak nyaman. Kakak ingat, kan, dialah yang dulu mengajarkan menggunakan tongkat. Tapi …”


 


”Kenapa Tuhan tega berbuat seperti itu padanya!? Itukan maksudmu!?” ku rasakan tamparan di pipiku.


 


”Maaf, kalau baru tiba di desa ini kau harus mendapatkan perlakuan kasar dariku. Rupanya sifatmu tak berubah, terlalu cepat kau menyalahkan Allah. Dulu, waktu aku mengalami kebutaan kau berlari ketengah lapangan desa dan meneriakan makian juga. Kau menuduh Allah sengaja membuat aku buta, agar warga desa memusuhi keluarga kita! Sekarang ???”


 


Aku bangkit. Kak Ilham memegangi tanganku.


 


”Mau kemana kau, ingin mengulang masa lalumu lagi!?”


 


”Aku ke Jakarta ingin merubah pandangan warga desa ini terhadapmu, Kak, cukup kau! Tapi kenapa selalu orang-orang terdekatku yang mengalami cacat!? Kenapa Tuhan tega berbuat itu pada mereka, tak cukupkah Dia melakukannya padamu!?”


 


”Kakman! Kenapa jadi kau yang bersikap lemah? Kau lupa pada ilmu yang kau dapatkan selama lima tahun meninggalkan keluargamu?”


 


Aku terdiam, sekilas bayangan remaja tunanetra pembeli sekuteng melintasi benakku.


 


Ibu saya dulu gak siap Kak, malah ibu mau ngebuang saya ke panti waktu tahu saya buta.


 


Aku pun kini tidak siap Dul, melihat kedua orang yang mendorongku menjadi perantau cacat.


 


”Maafkan aku, Kak, aku pun manusia, aku tidak mungkin percaya kalau Uloh akan mengalami cacat. Dia terlalu baik untuk Tuhan perlakukan semacam itu!”


 


”Aku mengerti Man, tapi kau bukanlah Kakman yang dulu. Sekaranglah saatnya kau mengamalkan ilmumu, meski diawali pada orang terdekatmu.”


 


Kami berangkulan, ada pepatah yang mengatakan ”Jika kau mempunyai kemampuan melebihi orang lain, maka berikanlah pada orang terdekatmu dulu yang lebih membutuhkan” rupanya kini harus ku jalani.


 


”Uloh sudah berhasil ku bujuk, dia mau mengobrol denganmu.” Aku bangkit seraya melangkah menuju gubuk Uloh, Kak Ilham menyusul di belakangku.


 


Aku masuk ke dalam sambil mengucap salam. Keadaan ruangan ini mirip sebuah tempat pemasungan ketimbang rumah. Uloh duduk di balai bambu reot yang sudah keropos di sana sini. Aku mulai terbiasa dengan pandangan mirisnya, aku duduk disebelahnya.


”Silaing ceurik?


 


”Kamu nangis?” nada suaranya mulai tenang, aku mengangguk.


 


”Sulit rasanya melihatmu dalam keadaan seperti ini.”


 


”Wak Punduh pernah mengatakan, terkadang Gusti Allah memberi ujian yang tak pernah kita duga!”


 


”Hhh … dan nasihat itu kini kau alami.” Uloh tersenyum getir. Ia berusaha bangkit namun kesulitan dengan beban kakinya yang besar.


 


”Mau apa kau?” tanyaku.


 


”Aku … ingin …” aku memegangi ketiaknya. Ia berhasil duduk bersandar pada balai bambu.


 


”Begini lebih nyaman.” Aku ikut duduk di lantai papan dan bersandar.


 


”Jadi, boleh aku tahu kisahmu?”


 


”Kenapa harus aku yang mengawali? kau dululah. Bukankah kau mendapat ilmu baru di Jakarta sana?”


 


”Ilmu yang akan ku gunakan untuk mendengarkan kisahmu, ayolah jangan kau buat aku penasaran.” Rasanya aku duduk dengan anak yang dulu sering menghabiskan waktu memasak nasi liwet di kebun abah.


 


***


 


Lebih dari tiga tahun aku menempati gubuk ini. Aku tak heran kawan, kenapa keluargaku memasungku di tempat ini. Kakiku yang bengkak inilah penyebabnya. Bekas-bekas luka di wajahku membuat mereka malu mempunyai anak yang seharusnya menjadi tumpuan keluarga. Dua tahun setelah kepergianmu ke kota, desa ini mendadak di serang wabah kaki gajah. Aku tahu semua ini pasti karena musim kemarau yang panjang, sawah mulai tandus dan air telaga banyak yang keruh. Mungkin wabah itu dibawa oleh nyamuk-nyamuk penghuni telaga. Banyak warga yang terinfeksi wabah. Aku dan Pak Kades pergi ke kota untuk mencari mantri yang mumpuni mengobati wabah itu.


 


Alhamdulillah kami mendapatkannya. Bukannya mantri yang kami bawa ke desa, tetapi seorang dokter. Pikirku, mungkin dia bapaknya mantri. Entahlah, yang penting warga desa dapat disembuhkan. Warga yang sakit di kumpulkan di balai desa, mereka di suntikkan sesuatu di tangan mereka. Bahkan, ada yang di kaki dan di atas dubur. Aku bertanya pada dokter tentang penyuntikkan itu.


 


”Ini vaksin untuk kaki gajah!”


 


Oh, aku baru faham, ternyata sebelum diobati dokter memberikan vaksinnya dulu. Eleuh, aku senang sekali kawan melihat warga banyak yang sembuh. Kakinya ada yang mulai kempes, tangannya banyak yang sudah normal dari yang tadinya berukuran besar!


 


Duh, senang pisan melihat wajah-wajah yang cerah. Dokter itu kembali ke kota setelah tinggal seminggu. Katanya, warga tinggal menjalani rawat jalan. Aku dan Kades mengantarnya sampai ke batas desa.


 


***


 


Aku hampir putus asa dan memutuskan mau bunuh diri saat wabah itu mulai menggerogoti tubuhku. Kata dokter yang pernah merawat warga, sebenarnya wabah itu sudah lama menggerogoti tubuhku. Hanya saja, dampaknya baru terasa sekarang. Mungkin aku pernah di gigit nyamuk pembawa wabah itu, dan dampaknya memang tak langsung terasa. Ketika wabah itu menyerang desa, virus dalam tubuhku semakin menguat dan … seperti inilah aku sekarang. Kakiku membesar, dan kata dokter, kaki gajah sudah akut dalam tubuhku. Sulit menerima, ketika dokter itu mengatakan bahwa aku tak bisa disembuhkan.


 


 


***


 


”Tapi rasanya tidak mungkin kaki gajah tidak bisa disembuhkan, Loh?” sanggahku.


 


”Kalaupun bisa, ku rasa keadaanku akan tetap seperti ini. Ya, mau di apakan lagi. Sudah nasibku menjadi orang cacat.”


 


”Tanganmu masih bisa kau gunakan?” ia menepuk-nepuk bahuku, dan mencoba mengambil gelas bambu di meja samping balai.


 


”Kau ingat tidak, waktu kita membuat alas untuk saung perkemahan?”


 


Ia mengernyitkan dahi.


 


”Hmmm … ya! Dulu kita membuatnya dari daun kelapa, dan duduk sambil makan nasi liwet di daun pisang!”


 


”Ya, dan coba kau pikirkan apa yang bisa kau lakukan dengan tanganmu sambil mengingat-ingat kenangan itu! Besok aku kembali lagi kemari.”


 


Kami berpisah di depan gubuk, pandangannya mulai cerah. Kemirisan nasib mulai hilang dari jiwanya, aku menepuk bahunya dan pamit bersama Kak Ilham kembali ke rumah.


 


”Memangnya apa yang mau kau usulkan padanya?”


 


”Hmmm … aku hanya ingin dia berpikir bahwa ketika satu indra kita tidak berfungsi, ,maka indra yang lain semakin peka.”


 


”Lalu? Aku masih belum faham.”


 


”Uloh mempunyai kemampuan keterampilan yang baik, ingat waktu dia membuat atap masjid dulu?”


 


Kak Ilham mengangguk.


 


”Kalau dia berpikir ke arah sana, bukan hanya atap masjid yang bisa dia buat. Ku lihat desa ini memiliki potensi aren yang baik!”


 


”Jadi, sedikit gula, tambahkan kopi, dan Uloh siap menghadapi hidup barunya?”


 


”Tergantung dari kemauannya. Kalau dia kemauannya kuat, maka kopi itu bisa diraciknya. Andaipun tidak, bukan hanya aku yang harus memotivasinya, tapi orang-orang disekitarnya juga!”


 


”Kau aneh, di sini kan gak ada orang, gubuknya cuma dikelilingi sawah dan telaga, di belakang sana hutan. Mana ada orang?”


 


”Ya, kalau gak ada orang, bagongpun jadi!” kami tertawa girang, bayangan Uloh menjadi pengrajin sapu lidi aren terlintas di depan mataku. (Senna)


Editor: Mia Zh

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Oleh Senna Rusli

Guru ngaji pesantren Raudlatul Makfufin (Taman Tunanetra)

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *