KASIH TERBALUT SEDIH

Gulungan ombak menari dalam garis pantai sebagai samudra pemisah dengan negara Australia. Di desa pesisir tanah Jawa saat listrik belum menyentuh kehidupan masyarakat. Damar menjadi penerang yang axist di masanya. Di balik bangunan semi permanen. Namun tak mengurangi kehangatan dan keakraban di dalamnya.

“Har, kau sudah merapihhkan baju-bajumu? InsyaAllah pulang dari pasar besok Bapak terus mengantarmu ya”

“Sudah Pak, Alhamdulillah tadi sudah rapi-rapi bersama Ibu” kata Haryono yang masih menata hati.

Suasana makan malam itu mungkin berbeda. Nampaknya makan malam itu makan malam terakhir sebelum Haryono berangkat ke pondok pesantren besok pagi. Rembulan terang di luar bermakna ganda. Indah dan mengagumkan bersama hati yang di bumbui kesedihan. Haryono ingin selalu patuh kepada orang tuanya namun dia juga sedih ketika perpisahan harus dia telan.

“Kamu harus bersungguh-sungguh ya Har mengaji dan sekolah disana. Bapakmu menyuruhmu belajar di pondok bukan karena Bapakmu tak sayang. Bapak hanya ingin keturunan Bapak ada yang paham ilmu agama Har”

“Injeh Pak, Haryono paham maksud Bapak” kata anak kecil usia 7 tahun yang masih sangat polos.

“Iya Har, jangan lupa kamu harus berbakti kepada Pak Kyai ya. Pak Kyai dan Bu Nyai sebagai ganti Bapak dan Ibu di sana. Ta’dim namanya itu Har” ucap Ibu sambil mengelus rambut putra kesayangannya itu.

Ada setitik air yang jatuh di pundak Haryono. Haryono diam, perasaannya sulit untuk dia ungkapkan. Di balik air mata yang nampak perih, namun itu bukti luapan kasih.

“Ibu dan Bapak Insya Allah akan menengokmu disana. Ibu dan Bapak akan selalu mendoakan keberkahan untukmu dan kelancaran dalam menuntut ilmu yang bermanfaat di sana ya Har”” kata Ibu sambil mengusap air mata yang jatuh.

“Iya Bu, Pak Haryono Bismillah akan bersungguh sungguh belajar di sana” kata Haryono yang suaranya sedikit gemetar (ikut sedih melihat Ibunya menangis).

“Semoga ilmu mu barokah, bisa untuk bekal dunia akhiratmu ya Har, Aamiiin…” kata Bapak yang penuh harap.

“Aamiiiin Yaa Allah” Ibu dan Haryono mengaminkan .

“Sekarang waktunya beres-beres untuk kepasar besok, salam-salam perpisahannya dilanjut besok saja ya!” canda Bapak yang membuat suasana tak melankolis lagi

“Hahaha, iya Pak” tawa Ibu dan Haryono.

Damar itu apinya bergoyang. Mungkin hembusan angin dari arah persawahan depan rumah. Bapak bersiap memasukkan barang-barang dagangan ke dalam gerobak.

“Pak, besok jangan lupa ke kantor pos untuk mengirim uang Mba nya Haryono ya! Sudah telat seminggu kiriman bekalnya”

“Oh iya siap Bu. Har, kamu tidur saja dulu ya! Biar Bapak dan Ibu saja yang menaikkan gula dan garamnya” ucap Bapak sambil menaikkan minyak goreng dalam jiligen.

“Iya Pak, habis mengangkat kantong gula ini ya Pak” tegas haryono sambil mengangkat kantong yang berisi gula pasir.

“Oh, iya boleh Har. Jangan lupa wudu dulu ya!” perintah Bapak sambil memandang putranya itu.

“Injeh Pak laksanakan” jawab Haryono sambil bergegas menuju tempat wudlu.

Malam besok akan ada teplak (damar kecil) yang baru saat Haryono terbangun dari tidurnya. Suara jangkrik dan hewan di pekarangan belakang rumah sekilas menyampaikan puisi perpisahan. Berusaha meneguhkan dalam hati Haryono bahwa semua itu bentuk kasih sayang orangtua untuk keselamatan dunia dan akhiratnya.

Last Updated on 4 tahun by Redaksi

Oleh Wahyu Azzahra

Muslimah berhijab yang masih berusaha istiqomah dan yang senantiasa berharap rahmat dan ridho Allah Subhanahu Wata'ala

2 komentar

  1. terima kasih untuk kontribusinya. Sedikit masukan saja ya kak. MOhon berhati-hati dengan salah ketik atau penggunaan huruf yang berlebih ya kak. Lalu untuk alur cerita, sepertinya masih dapat dikembangkan lagi ide ceritanya. Meski sudah ada konflik bathin yang dialami oleh tokoh, namun belum ada resolusi atau penyelesaian dari konflik tersebut.

    Tetap semangat dan terus produktif berkarya ya 🙂

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *