Kata Sakti

“Belajar yang rajin, kejar mimpi-mimpu.”

Pesan terakhir ibu kala menyapihku untuk pergi mengejar mimpi-mimpi itu. Mimpi yang tidak sengaja ibu lihat dibalik pintu kamarku. Sederhana, tanpa banyak kata atau polesan warna-warna. Sebuah kata sakti yang sangat mujarab dan dapat menyembuhkan penyakit kebodohan, kemalasana maupun kepikunan. Setiap elemen akan kau temukan kata itu, singkat dan sangat sederhana. Memang itu cita-citaku, tidak sekedar mimpi disiang bolong yang akan hilang dengan sendirinya dalam ingatan.

Hal biasa bagi aku, dan teman-temanku yang setiap harinya selalu berdiskusi bersama kerbau, kambing dan ayam. Pembahasannya tidak jauh dari sebuah kalimat “mimpi apa kau semalam.” Setiap orang berkewajiban dengan gamblang menceritakannya.

“Kalian harus dengar cerita mimpiku semalam.” Agi berbicara dengan lirihnya.

“Begini kawan, semalam aku bermimpi menjadi pangeran yang dikelilingi dayang-dayang cantik nan anggun. Buah-buahan berserakan dihadapanku, ayam bakar tersaji dari tadi dengan saus merah kehitaman. Semua aku nikmati bersama dayang-dayang itu. Kemudian kami…….”

“Kami apa??? Coba dilanjutkan!!!” Teriak Supri dengan penasarannya.

“Kami……….”

“Ah, kau Gi buat kami penasaran saja, kami apa???” Semakin jelas suara kaleng Supri mengaung seperti harimau memanggil kawanan lainnya.

“Kami….. Ah aku lupa, sepertinya langsung saja terbangun.”

”Kamu ini, makanya sebelum tidur baca do’a supaya tuntas mimpinya.” Lirih Samukri.

“Sudahlah kalian jangan mempermasalahkan hal itu, toh hanya sekedar mimpi. Lanjutkan saja oleh kalian sendiri. Lihat kerbau, kambing dan ayam dari tadi diam dengan tenangnya tanpa protes sedikitpun mendengarkan cerita kita. Apa tidak bisa seperti mereka? Jangan kalian lihat para pejabat diseberang sana, setiap harinya berdebat hanya karena sebuah kalimat yang terucap. Mereka sebenarnya bersahabat, tapi perdebatan seperti inilah yang membuat mereka bermusuhan. Hal-hal kecil jangan dibesar-besarkan.”

“Ah kamu Den, ini bukan hanya sekedar mimpi. Mungkin ini tanda dari Sang Maha Kuasa menunjukkan masa depan kita.”  Tegas Supri.

“Iyalah terserah kalian saja. Mudah-mudahan mimpi kita jadi kenyataan semua.”

“Amiiin……” Teriak semua kecuali Samukri.

“Eitsss, jangan dulu langsung mengamini. Kalian kan belum dengar ceritaku. Aku semalam mimpi berada di Ibukota bertemu kuntilanak dan dia meminta dengan paksa uang jajanku hasil pemberian Ayah. Untuk menyewa tempat tinggal katanya. Langsung saja aku terbangun dengan keringat bercucuran seperti habis berlari dikejar kuntilanak.” Ucap Samukri.

“Waduh kuntilanak suka uang juga, untuk menyewa tempat tinggal lagi. Ini salah orang diseberang sana yang meluluhlantahkan pohon-pohon tempat tinggal kuntilanak. Digantikannya dengan sebuah perumahan atau pabrik berasap racun. Kasihan mereka harus ikut-ikutan kontrak dengan biaya yang mahal lagi.” Lirih Supri.

“Kalau kamu mimpi apa, Pri?” Ucap Samukri.

“Semalam aku tidak bermimpi.” Sahut Supri.

Mereka memang teman-temanku dengan segala macam cerita dalam setiap episode mimpi-mimpinya. Aku, Agi, Supri dan Samukri tidak pernah bosan untuk menceritakan semuanya. Inilah diskusi hangat bersama hewan peliharaan kami sambil menunggu matahari membenamkan dirinya kelaut. Diskusi kaum terdidik yang secara tidak sengaja mendapatkan pendidikan Sekolah Dasar di sebuah bangunan atau lebih pantas dibilang kandang, toh setiap pagi kami harus membersihkannya dari kotoran kambing atau ayam.

Aku dianggap pintar oleh teman-teman, memang ulanganku tidak pernah kurang dari 90, kecuali IPS. Bukannya aku tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaannya, tapi setiap jawaban yang aku isikan banyak yang salah, padahal aku yakin seyakin-yakinnya dengan penuh keyakinan jawabannya benar. Tapi, Guru bilang itu salah.

“Bu, saya jawabannya 21 mei 1998 tapi disalahkan.”

“Ya salah sayang, Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945.” Suara lembut Bu Guru memberikan kesejukan disetiap kata-katanya

“Bukannya setelah 17 Agustus 1945 Indonesia masih dijajah kan oleh Belanda? Bahkan di zaman Orde Baru setiap orang harus diam melihat kesewenang-wenangan pemerintahan di massa itu. Berarti kan belum merdeka. Nah, ketika 21 Mei 1998 barulah semua masyarakat Indonesia bebas dan merdeka. Ketika Orde Baru harus menutup mata untuk selama-lamanya.”

“Wah anak Ibu ini cerdas sekali, akan jadi orang hebat kau Den. Ibu setuju dengan pendapatmu, tapi tetap Indonesia merdeka tanggal 17 Agustu 1998.” Ucap Bu Asih

Aku tidak mau berdebat panjang lagi dengan beliau, aku tidak mau seperti pejabat diseberang sana, setiap harinya berdebat hanya karena sebuah kalimat yang terucap. Aku sangat sayang Guruku yang selalu meyakinkan kami dapat menjadi orang hebat sesuai dengan yang di cita-citakan.

Sesekali Bu Asih bertanya kepada kami dalam sela-sela pembelajaran.

“Anak-anak, siapa diantara kalian yang ingin menjadi Pilot? Polisi? Dokter? Insinyur? Astronot?”

“Saya, bu” Semua siswa berteriak, kecuali aku.

Tentu bukan tanpa alasan atau memang tahu diri, karena bagi sebagian besar masyarakat di daerahku tidak perlu bermimpi. Toh, bermimpi pun akan sama saja menjadi petani. Bukan karena itu semua. Aku tidak mendengar sebuah kata sakti yang pernah kutuliskan dalam secarik kertas lusuh yang sengaja ditempel di pintu kamarku. Aku hendak protes kepada Bu Guru, mengapa tidak menyebut kata sakti itu. Senyumannya membuatku tak sampai hati.

Asih Khoirunnas, seorang Guru perempuan satu-satunya disekolahku. Lahir dari keluarga petani sama sepertiku. Kenekatan beliau untuk melanjutkan sekolah demi menjadi seorang guru membuahkan hasil, meskipun sempat dilarang oleh orang tuanya.

Dengan berbagai alasan tidak menggoyahkan prinsip ayahnya untuk tidak merestui Bu Asih melanjutkan sekolah. Baginya Sekolah Dasar sudah sangat cukup untuk seorang anak petani, bahkan sebenarnya tidak perlu sekolah. Bagi ayah Bu Asih sekolah hanyalah menghabiskan waktu, lebih baik digunakan untuk meladang atau mencabuti rerumputan di sawah. Pada akhirnya setelah lulus sekolah akan menjadi petani dan setiap keturunannya sampai kapanpun adalah petani dan tetap petani. Namun Bu Asih berbeda pemikirannya, sekalipun akan menjadi petani setidaknya ia adalah petani yang mampu mendidik anak-anak petani untuk bermimpi setinggi-tingginya.

***************

Bel berbunyi menyeruakkan kegembiraan anak-anak. Bahagia dimulainya waktu bermain atau bahagia karena sudah terbebas dari pengekangan selama di kelas dengan pelajaran-pelajaran yang memekakkan telinga kemudian masuk ke syaraf-syaraf otak dan disimpannya hingga waktu yang tepat untuk dibuang ke antah berantah.

Belajar bagi anak petani adalah sebuah hal yang cukup rumit, lebih baik mencangkul disawah atau berkebun diladang. Terlalu sulit untuk dijadikan hobi atau kewajiban karena orang tua sendiri acuh tak acuh terhadap pendidikan anak-anaknya.

Menikmati aroma padi dalam semilir angin menelusuk setiap pori-pori tubuh siapapun. Termasuk aku yang menunggu teman-temanku bercerita dengan mimpi-mimpinya semalam. Kerbau, kambing dan ayam sudah siap mendengarkan setiap kata dari kami. Entah mereka paham atau sekedar memberikan rasa hormat terhadap orang yang sedang berbicara. Mungkin inilah bentuk kepatuhan hewan terhadap pemiliknya agar bisa membuat nyaman serta mencintai damai. Kedamaian tumbuh karena ada sifat toleransi dan saling menghargai terhadap apapun.

Berbeda dengan wilayah di seberang sana yang tidak lepas dari pertikaian perebutan kekuasaan. Padahal dalam setiap pidato menyatakan cinta damai. Inilah salah satu sifat manusia, aku yakin bukan sifat manusia. Ini sifat syaitan yang diturunkan secara sengaja kepada manusia. Tetapi mengapa manusia sendiri mau menerima sifat itu? Memang manusia menerima sesuatu yang mampu mencukupi kebutuhannya. Padahal pertikaian jauh berdampak negative dari sekedar mendapat kekuasaan, lantas memiliki banyak kekayaan serta simpanan.

Hidup tidak akan tenang, musuh setiap hari mengintai dengan ganasnya. Seperti harimau yang sudah tiga bulan tidak makan dan menelisik hewan buruan yang siap disantap tanpa menu pembuka.

“Heiii Den…….. Melamun saja….. Cepat tua kau.” Agi mengagetkan lamunanku.

“Ah kamu ini Gi kebiasaan datang tak tampak muka, pulang ketinggalan punggung.”

“Maksudmu apa Den.” Gertak Samukri.

“Ya kalau datang pakai salam atau apalah, tiba-tiba langsung mengagetkan saja. Maling pun akan sangat dihormati kalau memberi salam terlebih dahulu lantas izin kepada empunya rumah untuk mengambil barangnya.”

“Mana ada maling kaya gitu, bercanda kamu Den.” Protes Agi.

“Makanya tidak ada maling yang ketahuan lantas dibebaskan begitu saja, kecuali kalau kalian sering dengar berita diseberang sana. Sebelum maling, harus berpenampilan seperti bos, kemeja panjang, celana bahan, diselimuti jas dan dilengkapi dengan dasi. Mereka para maling berdasi dengan leluasa mengambil apapun yang diinginkannya, bahkan tidak ada yang berani untuk menghukumnya atau sekedar  menangkapnya. Itulah hukum di………”

Dengan suara terindahnya supri memotong ucapanku

“Den, omonganmu itu berat, seperti orang tua saja. Bahkan kalah sepertinya para petani yang sering nongkrong di warung Bu Tarkiyem.”

Kebiasaan masyarakat dikampungku terutama para lelaki adalah nongkrong di warung untuk sekedar ngopi sekaligus berbincang ria. Tidak jauh beda dengan para istrinya yang sering berkumpul membahas hal-hal yang tidak penting. Pembahasannya kalau tidak cerita sinetron pasti pertengkarannya bersama suami. Wajar saja semua orang dikampungku tidak banyak yang berminat untuk menjadi Pilot, Polisi apalagi Presiden. Mereka semua cukup dengan menjadi petani. Tentu bukan suatu hal yang tidak baik, bahkan sebuah kemuliaan dengan ikhlasnya menjadi seorang petani yang hasil panennya mampu memenuhi kebutuhan pangan setiap manusia.

Apa jadinya bila petani-petani ini malas bahkan berhenti untuk beralih profesi menjadi kuli di Negeri sendiri, seperti mereka yang dengan senangnya berangkat ke Jakarta berharap menjadi kaya justru sebaliknya. Lebih sengsara dibanding hidup dikampung. Aku bersyukur petani di kampungku sangat pintar mengelola sawah dan kebunnya. Penuh semangat tanpa putus asa sekalipun sering kalah judi di warung Bu Tarkiyem.

***************

Bintang terlihat berlarian saling mengejar bermandikan cahaya rembulan, angin pun tidak tinggal diam berdiskusi dengan rindangnya dedaunan dihalaman rumahku. Suara lembutnya menghantarkan daun-daun itu tergulai lemas hingga tidak tahan menjatuhkan diri dari persinggahannya.

Aku termangu dalam dipan buatan Ayah sepuluh tahun yang lalu, tepat seminggu sebelum kepergiannya meninggalkan Aku dan Ibu untuk selamanya. Kini hanya suara-suara lembut dedaunan yang bernyanyi  bercampur dengan pekikan jangkrik liar dalam hutan. Mataku menatap tajam  melihat daun-daun itu berjatuhan ke tanah. Mungkin seperti itu manusia yang tidak kuat dengan masalah yang terus-menerus datang silih berganti. Perlahan atau penuh kekerasan. Bagi manusia yang tidak kuat, maka matilah seperti daun hijau itu. Padahal masih sangat bermanfaat menghasilkan oksigen dari hasil fotosintesisnya.

Tadi siang adalah hari terakhir bersama teman-teman kecilku setelah lima belas tahun selalu bersama. Kata sakti itu memberikan semua jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selalu hinggap dalam pikiranku. Untuk kata sakti itu, esok aku akan meninggalkan kampung halamanku.

Tidak akan lagi mendengar kicauan burung pipit setiap paginya yang selalu mengahantarkan aku kesekolah, juga petani yang selalu memberikan buah apa saja kepada kami sehabis pulang sekolah. Aku akan merindukan itu semua. Tidak ada lagi cerita bersama ketiga temanku, mimpi-mimpi itu sudah terhapus dengan sendirinya, kecuali aku yang setia dengan mimpi-mimpiku. Demi kata sakti itu.

Pagi ini begitu berbeda, matahari masih bersembunyi ditutupi awan-awan hitam. Burung-burung tidak ada satupun yang berani berkicau. Tangisan berjatuhan silih berganti. Pelan kemudian keras bersamaan dengan menggelegarnya cahaya yang turun dari langit merobek pohon di hutan sebelah rumahku. Angin ikut meramaikan pesta perpisahanku bersama ibu dan teman-teman kecilku.

Namun sepertinya ia marah melihat kepergianku, setiap pohon digoyangkan sejadinya. Jam 11 aku harus sampai terminal, tiket bus sudah ibu belikan. Aku heran dapat uang dari mana, tapi enggan untuk menanyakannya. Aku tidak mau melihat kesedihan ibu semakin bertambah dengan pertanyaan-pertanyaan yang ada dibenakku.

***************

“Anak-anak sekarang tuliskan dalam buku kalian, cita-cita yang diinginkan. Terserah mau Pilot, Polisi, Abri, Insinyur, Pramugari, atau seperti Bapak. Menjadi Guru.”

“oke, Pak……….” Teriak para siswa.

Pagi ini Aku mulai pembelajaran dengan memberikan semangat kepada para siswa untuk berani bermimpi dan meraih mimpi itu. Sekalipun mereka sama sepertiku, anak dari petani dan akan tetap menjadi anak petani. Semangat Bu Asih masih setia menggelora dalam hatiku, keyakinannya terhadap para siswa mengahantarkan salah satu didikannya bisa meneruskan perjuangannya untuk mengubah cara berpikir masyarakat kampung terhadap pendidikan yang dianggap hanya sebatas mengisi waktu luang, bukan sebuah kebutuhan.

“Andi, tuliskan dengan huruf yang besar cita-citamu. Coba lihat Ali, satu kertas habis untuk menuliskan kata “Polisi”. Setelah pulang sekolah, kalian tempelkan kertas itu di kamar. Tulisan itu akan menjadi kata sakti untuk masa depan kalian.”

“Baiiiiiiik…….. Pa……” teriak para siswa.

“Nah sekarang kita lanjutkan materi kema…….”

“Den, den……….” Ibu mengagetkan lamunanku.

“Cepat naik mobil, nanti kamu ketinggalan.”

“Jangan lupa kasih kabar setelah sampai disana, sampaikan salam Ibu pada teman Gurumu itu.”

“Belajar yang rajin, kejar mimpi-mimpimu.”

 

 

Editor: Putri Istiqomah priyatna

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *