Kebijakan Yang Tak Bijak

Undang-undang seyogyanya menjadi putusan yang berpihak terhadap setiap warga negaranya. Akan tetapi, banyak undang-undang atau kebijakan yang tak bijak sehingga menimbulkan batasan-batasan terhadap masyarakat, yang akhirnya menyebabkan perluasan diskriminasi pada segala aspek, seperti yang terjadi dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Kali ini saya hanya membahas dari segi pendidikan, karena pendidikan merupakan alat untuk mendapatkan tarap hidup yang lebih baik.

Berikut beberapa isi dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat:

  • Pasal 6 Setiap penyandang cacat berhak memperoleh:
  • 1. pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan;
  • (2)Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaksanaannya disesuaikan dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya.
  • Pasal 11 Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan pada satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
  • Pasal 12 Setiap lembaga pendidikan memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat sebagai peserta didik pada satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan serta kemampuannya.

Dari beberapa pasal di atas saya melihat ada selah bagi lembaga pendidikan untuk diskriminatif terhadap penyandang disabilitas (yang dulu disebut penyandang cacat) agar tidak bisa mengenyam pendidikan di sana. Yang saya maksud adalah kalimat: “sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan serta kemampuannya.” Ini menimbulkan asumsi bahwa penyandang disabilitas tidak memiliki intelektual yang memadai, tidak bisa mengakses sarana dan prasarana pendidikan yang non accessible, tidak bisa melakukan kegiatan belajar mengajar, dan sebagainya. Padahal, pihak lembaga pendidikan hanya melihat dari sisi masalah, bukan solusi. Karena dengan cara yang berbeda atau dengan modivikasi, penyandang disabilitas pun mampu untuk mengenyam pendidikan sesuai dengan hak dan kewajibannya sebagai anak bangsa.

Solusi Sentralisasi

Dari permasalahan di atas, timbulah solusi “ajaib”. Bahwa dengan “dicantumkannya” kalimat: “sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan serta kemampuannya.” pemerintah membuat kotak- kotak dan memberi label terhadap penyandang disabilitas sesuai dengan jenis kecacatannya.

  • A: Tunanetra
  • B: Tunarungu/tunawicara
  • C: Tunagrahita
  • D: Tunadaksa
  • Dan sebagainya

Dari solusi di atas, rupanya menciptakan permasalahan yang lebih kompleks. Memang penyandang disabilitas dapat memperoleh pendidikan yang sesuai dengan jenis, derajat, serta kemampuannya di Sekolah Luar Biasa (SLB), tetapi masalah muncul ketika para penyandang disabilitas mulai muncul ke dunia luar.

  • Sulit bersosialisasi dengan masyarakat umum karena selama ini penyandang disabilitas hanya bergaul dengan sesamanya, dan masyarakat pun jarang berinteraksi dengan penyandang disabilitas secara langsung, baik pada lingkungan keluarga, sekolah, dan kehidupan sehari-hari.
  • Penyandang disabilitas sulit mengakses sarana umum yang non accessible, karena berkat sentralisasi jarang ditemui penyandang disabilitas di lingkungan masyarakat, sehingga sarana umum memang di-design bukan juga untuk mengakomodasi penyandang disabilitas.
  • Sulitnya penyandang disabilitas untuk memperoleh pekerjaan karena legalitas yang dikeluarkan oleh SLB dianggap bukan standarisasi pendidikan di Indonesia. Padahal, tentang tenagakerjaan pun sudah diatur dalam undang-undang yang sama.
  • Dan lain sebagainya.

Poin-poin di atas menyebabkan munculnya stigma negatif di masyarakat terhadap penyandang disabilitas, bahwa penyandang disabilitas tidak berdaya, tidak berpendidikan, hanya sebagai sampah masyarakat yang harus dipelihara oleh negara, khususnya kementerian sosial.

Pendidikan Inklusi

Angin segar terhembus saat dicanangkannya Program Pendidikan Inklusi, dimana system pendidikan ini memfasilitasi penyandang disabilitas untuk mengenyam pendidikan di sekolah umum. SLB pun kini hanya menjadi tempat singgah bagi penyandang disabilitas yang membutuhkan adaptasi dengan kondisi disabilitasnya, ataupun untuk anak dengan disabilitas yang tidak bisa berinteraksi dengan dunia luar. Singkatnya, SLB menjadi sekolah transit untuk mempersiapkan penyandang disabilitas ke lingkungan masyarakat.

Kini penyandang disabilitas disebut juga anak berkebutuhan khusus, karena setiap indipidu memiliki keunikan masing-masing yang harus ditangani dengan cara yang berbeda, tidak hanya untuk anak dengan disabilitas, tetapi untuk semua siswa pada umumnya. Akan tetapi, masih banyak lembaga pendidikan yang belum memfasilitasi pendidikan inklusi, hanya sekolah-sekolah yang ditunjuk oleh diknas, contoh: SMP 226, SMA 66, dan beberapa sekolah lain di Jakarta. Semoga ini bisa membuka jalan bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan status mereka sebagai warga Indonesia, karena: “Orang miskin yang sangat berpotensi menjadi penyandang disabilitas, dan penyandang disabilitas yang sangat berpotensi menjadi orang miskin”.

RUU Disabilitas

Saat ini lembaga aktifis disabilitas di Indonesia sedang menyusun Rancangan Undang-Undang disabilitas yang dapat memenuhi hak dan kewajiban penyandang disabilitas di Indonesia, yang akan menutup setiap selah “diskriminaasi” karena rancangan ini berdasarkan perspektif dari penyandang disabilitas, yang memahami kondisinya sendiri. Akan tetapi, sejak diusulkannya RUU disabilitas ini, menyusul pratifikasi CRPD, sepertinya dibutuhkan waktu yang lama dan birokrasi yang alot, yang menghambat ekspektasi warga disabilitas di Indonesia untuk mendapatkan hak-haknya. Semoga perjuangan ini segera akan terealisasi sehingga kita sebagai warga disabilitas Indonesia bisa merasakan “Kebijakan yang bijaksana”.

Last Updated on 7 tahun by Redaksi

Oleh Riqo ZHI

President of Kartunet Community 2013 - 2015, admin of Riqo.info, You can also contact me through:Twitter: @IMRiqoFacebook: Riqo ZHI.Email: Contact@riqo.info

5 komentar

  1. mengenai UU Penyandang Cacat mungkin kita perlu juga memperhatikan latar belakang di balik UU tersebut. Mungkin saat itu memang alam pemikiran umum memandang penyandang cacat memang seperti itu. Masih bersifat charity based. Perubahan ini baru terjadi beberapa tahun belakangan dengan right based yang memandang penyandang disabilitas sebagai manusia seutuhnya yang punya hak dan kewajiban seperti manusia lainnya. Selain itu, ada isu juga bahwa UU no 4 tahun 1997 itu dibuat agak prematur dan terburu-buru jadi tidak akomodatif.

    1. sharingnya aku buat tulisan untuk lomba, cuma aku melakukan kesalahan hiks hiks, kelewat aturan mengenai tanggalnya,
      ya sudah haha…
      gpplah…
      andai ada aksesibel untuk itu

  2. amin,
    sebenarnya aku ada info mengenai teknologi yang sudah diaplikasikan di luar negeri dalam bidang pendidikan sehingga yang disabilitas termasuk tuna netra dapat merambah dan belajar sehingga potensi dan kompetensinya ok.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *