KEGAGALAN CINTA

Indah POV.

“Aku merasa aneh dengan cowok itu. Belum akrab tapi dia langsung mengirim surat cinta ke aku padahal dia bukan type cowok yang aku suka. Dia kuper dan kampungan. Ngobrol sama cewek saja grogi dan tidak nyambung”, kataku pada Irma.

“Dia itu tinggal di daerah persawahan milik ayahnya di ujung desa”, kata Irma disampingku, “adik kelasku sewaktu aku masih SMP pernah kirim surat cinta ke dia tapi ditolak”, terang Irma.

“Wah cewek kirim surat cinta ke cowok???” Tanyaku dengan nada keheranan.

“Mereka sudah sangat akrab sejak kecil, mungkin itu yang bikin Wati tidak sungkan-sungkan mengungkapkan perasaannya”, ujar Irma.

“Seharusnya Robi bersyukur. Menurutku kalau cewek sudah berani ungkapin cinta ke cowok pasti karna dia sangat cinta mati bahkan karena cintanya penuh ketulusan”, kataku.

“Oh ya, ngomong-ngomong kamu suka cowok yang bagaimana?” Tanya Irma.

“Aku tuh suka cowok yang gaul, cerdas, dan rajin”, jawabku pada Irma.

Setelah ngobrol kecil kamipun pulang ke rumah masing-masing. Rumahku tidak jauh dari sekolah sehingga bisa di tempu hanya dengan berjalan kaki.

Setelah makan siang aku langsung kembali ke kamar untuk membalas surat cinta dari Robi.

“Dari
Indah

untuk
Robi

selamat berapa saja!!!

Aku berharap kakak tetap sehat selalu dan tetap dilindungi Tuhan yang maha kuasa.

Disini aku mau menjawab surat cinta dari kakak yang aku terima kemarin. Maaf ya baru di balas!

Aku harap kakak menerima isi surat ini dengan senang hati.

Sebelumnya aku berterimakasih karena kakak menulis surat cinta yang indah untukku. Sebenarnya aku senang tapi mohon maaf adek tidak mau pacaran dengan siapa saja untuk saat ini. Dan kakak tidak usah dekat-dekat aku lagi karna kakak bukan type cowok yang aku suka.

Pesan saya, temukanlah cewek yang mau mencintaimu karena cinta wanita itu tulus dan murni. Susah bisa mendapatkan cinta tulus dari seorang wanita.

Sekian balasan surat ini aku harap kamu terima keputusan aku. Makasi.

Kendari, 09 februari 1986.

Tertanda, Indah”.

***

Robi POV.

 

Aku berdiri di tepi jalan sepi dimana sering dilalui wati saat kesekolah.

“Aku ingin menyampaikan beribu-ribu maaf padanya”, batinku.

Samar-samar aku mulai melihat dia dari jauh.

“Itu pasti dia”, gumamku sambil menggayuh sepeda menuju dirinya.

Aku menepikan sepeda dan berdiri berhadapan dengannya.

“Wati …”, suaraku menyebut namanya. Iapun berhenti berjalan.

“Bikin apa kamu disini?” tanyanya dengan wajah sumringah.

“Aku mau minta maaf karna tidak peduli sama kamu belakangan ini”, kataku.

“Sebelum kamu minta maaf, aku sudah memaafkan semuanya”, kata Wati dengan ekspresi cuek.

“Trimakasih Wati”, ucapku sambil kebingungan karena dia tidak ramah padaku seperti biasanya.

“Aku sudah memaafkanmu, sekarang aku mau kesekolah”, kata Wati sambil berlalu dariku.

Aku mengayuh sepeda berjalan mengiringinya.

“Sekarang kita seperti biasa lagi ya”, kataku berupaya menjelaskan, “kamu bisa jalan-jalan kerumahku lagi seperti biasa”, lanjutku berusaha mengembalikan suasana hati Wati. Dia hanya diam dan terus berjalan.

“Kamu bilang sudah memaafkanku tapi sepertinya kamu masih marah”, lanjutku seperti bertanya.

“Aku memang memaafkanmu tapi aku tidak kayak dulu lagi seperti pengemis. Sekarang aku ingin lebih fokus mengisi waktu dengan belajar. Jadi aku mohon kamu jangan ganggu aku dan aku tidak akan ganggu kamu”.

“Kenapa kamu marah begitu padaku Wati?” Tanyaku bingung.

“Aku telah dengar surat cinta yang kamu kirim di radio yang berjudul, kau cinta aku tapi aku cinta dia, kata Wati dengan alis terangkat.

“Disitu kau terangkan bahwa kamu … ah sudahlah aku tidak mau bahas itu lagi”.

“Mana kutahu tentang surat itu, itu bukan suratku, bantahku.

“Ah kamu memang laki-laki pembohong”, suara Wati meninggi, “aku yakin itu surat kamu karna isinya sama persis dengan isi tulisan yang aku temukan di tumpukan sampah depan rumahmu, kamu masih mau bantah?” Tegasnya.

“Perasaan cinta yang tulus dari aku dulu kamu sia-siakan dan sekarang perasaan itu hilang sama sekali. Kamu tidak akan lagi dapat cinta dari aku”.

Watipun berjalan dengan cepat meninggalkankku terpaku sendiri.

“waduh … sulit bisa membuatnya cinta kepadaku lagi karna dia sudah terluka”, desisku penuh penyesalan.

Last Updated on 4 tahun by Redaksi

Oleh Dominggus Layuk

seorang tunanetra asal Kendari

6 komentar

  1. terimakasih masukannya, ini pertama kali saya kirim cerpen untuk ikut lomba dan dengan media ini saya lebih semangat lagi menulis dan belajar untuk memperbaiki tulisan saya berikutnya.

    1. sama-sama. Ilmu menulis itu tidak ada selian terus menulis dan menulis lagi. jadi tetap semangat ya.

      1. saya mau tanya Admin. Apa disini bisa kirim cerpen meski tidak sedang ada lomba?

        1. Sangat bisa. karena website Kartunet ini untuk media belajar kita bersama. Silakan ya. Langsung diposting saja di “kirim Karya”. nanti Tag bisa diisi sesuai dengan jenis teks. Misal Cerpen atau Puisi. terima kasih

          1. Satu pertanyaan terahir, kalau saya bisa pake kode HTML apakah bisa saya sertakan atau apakah wepsite ini tidak perlu kode HTML dalam postingannya?

  2. Terima kasih telah ikut berkontribusi. Cerita yang menarik, format penyajiannya pun juga unik. Namun harap lebih berhati-hati dalam pengetikan dan juga penggunaan imbuhan ya.

    Tetap semangat dan terus produktif berkarya!

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *