Keindahan Hati yang Tersembunyi

Suatu pagi yang cerah, saat aku hendak berangkat ke kampus dari kosan, aku memutuskan naik angkot seperti biasa. Di dalam angkot yang masih sepi, aku bertemu dengan seseorang yang memperkenalkan dirinya sebagai Salma. Dalam perjalanan itu, dia menyapa dengan ramah dan kami mulai berbicara. Obrolan kami mengalir begitu saja, mulai dari percakapan ringan hingga perbincangan yang lebih mendalam. Dalam suasana yang hangat itu, kami akhirnya bertukar nomor HP.
Setelah pertemuan pertama yang menyenangkan, Salma mulai mengajakku berkomunikasi lebih sering. Kami berbincang tentang banyak hal, dari pengalaman sehari-hari hingga pandangan tentang kehidupan. Suatu hari, dia mengajak aku untuk mengunjungi sebuah pondok pesantren, tempat yang katanya sangat berarti baginya. Tanpa ragu, aku menerima ajakannya.
Kunjungan ke pondok pesantren itu menjadi momen penting bagi kami. Di sana, aku merasakan ketenangan dan kedamaian yang luar biasa. Salma juga tampak sangat bersemangat menceritakan kegiatan dan pengalaman spiritualnya di sana. Kami semakin sering bertemu dan berbicara, baik di kampus, di luar, maupun melalui pesan singkat. Keakraban kami terus tumbuh, dan aku mulai merasakan ada perasaan khusus yang muncul. Namun, di balik perasaan itu, aku masih merasa bimbang. Aku bertanya-tanya, apakah Salma benar-benar memiliki perasaan yang sama, ataukah dia hanya berbaik hati karena melihat kondisiku sebagai tunanetra?
Aku berusaha untuk tidak terlalu memikirkan hal itu dan membiarkan segalanya berjalan apa adanya. Meskipun begitu, Salma selalu menunjukkan perhatian yang tulus dan penuh pengertian. Dia tidak pernah mempermasalahkan kondisiku, bahkan dia selalu berusaha membuatku nyaman dan dihargai.
Hari demi hari, perasaan itu semakin kuat. Aku mulai menyadari bahwa perasaan ini bukanlah sekadar ketertarikan biasa. Suatu hari, dalam sebuah percakapan yang hangat, Salma dengan lembut menyatakan perasaannya kepadaku. Ia mengungkapkan bahwa ia telah lama menyimpan perasaan tersebut dan sangat menghargai hubungan yang telah terjalin di antara kami.
Aku merasa campur aduk mendengar pengakuannya. Dengan hati-hati, aku bertanya, “Kenapa kamu mau sama aku, padahal aku tunanetra dan punya banyak keterbatasan?” Salma terdiam sejenak sebelum menjawab dengan tulus, “Aku nggak mempersalahkan itu. Aku nggak memandang fisik. Yang aku lihat adalah kebaikan hatimu. Semua orang punya kekurangan, tapi yang penting adalah bagaimana kita berusaha memperbaiki diri dan menjadi lebih baik.”
Jawaban itu membuatku merasa tenang dan dihargai. Melihat ketulusan di matanya, aku memutuskan untuk menerima perasaannya dengan penuh syukur. Kami pun sepakat untuk melanjutkan hubungan ini dengan niat yang baik dan menjaga satu sama lain dalam ketaatan kepada Allah.

Baca:  KEMESRAAN ANTARA KAMPUS DAN DISABILITAS
Bagikan artikel ini
Ade
Ade Ihsan

"Saya adalah seorang mahasiswa difabel netra yang sedang menempuh pendidikan di Program Studi Pendidikan Agama Islam di Universitas Muhammadiyah Bandung. Saat ini, saya tinggal di pondok pesantren sambil menjalani kuliah.

Articles: 7

3 Comments

  1. halo. kisah yang menginspirasi. namun sedikit usul agar kisah ini dapat lebih dikembangkan lagi dalam penyajiannya. Misal pada diksi “ragu”, dapat lebih digali pemikiran dan hal-hal detil apa yang mendefinisikan dari sikap ragu tersebut. Jadi pembaca lebih mendapatkan konteks dan juga terbawa dalam cerita. ok, tetap semangat dan dinanti tulisan-tulisan berikutnya ya.

Leave a Reply