Aksesibilitas Pilgub Jabar “Setengah Hati”

Jakarta, Kartunet.com – Hari Ahad lalu (24 Februari 2013), rakyat Jawa Barat menunaikan hak konstitutionalnya untuk memilih calon gubernur dan wakil gubernur Jabar periode lima tahun berikutnya. Seluruh warga punya hak yang sama, termasuk para penyandang disabilitas yang jumlahnya mencapai 10% sampai 15% dari total penduduk Jawa Barat. Untuk menunaikan haknya secara optimal, penyandang disabilitas memerlukan aksesibilitas pada fasilitas yang disesuaikan. Menilik penyelenggaraan Pilgub Jabar kemarin, aksesibilitas tersebut belum sepenuhnya didapatkan.

Pada satu sisi, perlu diapresiasi kebijakan KPUD Jawa Barat yang menetapkan tiap TPS wajib menyediakan satu template alat bantu pilih bagi tunanetra. Komitmen ini sudah dilontarkan oleh ketua KPUD Jawa Barat, Yayat Hidayat, pada sebuah acara sosialisasi di Karawang (6 Februari 2013. Ketika itu Yayat beralasan bahwa penyediaan template tersebut di tiap TPS didasarkan pada belum adanya data KPU yang mampu mengidentifikasi ada tidaknya pemilih dengan disabilitas di TPS. Padahal, ketentuan tersebut sudah ada di Peraturan KPU no 35 tahun 2008 yang mewajibkan tiap TPS menyediakan template alat bantu pilih tunanetra tak peduli apakah di TPS tersebut ada pemilih tunanetra atau tidak.

Dari hasil pantuan redaksi, di beberapa tempat pemilihan memang disediakan template alat bantu pilih tunanetra. Seperti TPS yang ada di Depok, Bandung, dan Sawangan. Pada TPS 4 dan 5 di Wiyataguna, Bandung, pemilih tunanetra mencapai jumlah lebih dari 200 orang. Di dua TPS tersebut telah disediakan template alat bantu pilih bagi tunanetra.

Petugas KPPS cukup memberi pengarahan sedikit kepada calon pemilih tunanetra sebelum masuk ke bilik suara. Di bilik suara, mereka dapat mengakses posisi gambar kandidat yang ingin dipilih dengan membaca keterangan huruf braille. Kemudian gambar ditusuk dengan alat pilih pada lubang yang terdapat di template alat bantu. Setelah dilipat kembali, pemilih tunanetra dapat memanggil petugas KPPS untuk membantu mengantarkan pada kotak suara dan mencelupkan jari di tinta sebagai bukti sudah memilih.

Namun, aksesibilitas yang sudah cukup baik bagi pemilih tunanetra tersebut belum diimbangi untuk para tunadaksa pengguna kursi roda. Meski sudah diatur dalam Peraturan KPU, standarisasi aksesibilitas area TPS, tinggi meja, atau luas bilik suara masih menyulitkan mereka. Seperti di TPS 56 Depok, masih ditemukan meja yang terlalu tinggi dan bilik suara yang kurang luas untuk pengguna kursi roda bergerak. Kelak, diperlukan pemahaman yang lebih baik oleh KPU dan Panwaslu bahwa disabilitas punya kebutuhan yang beragam, dan akomodasinya perlu diterapkan secara menyeluruh.

Di luar aksesibilitas pada saat pemilihan, satu hal yang masih kurang mendapat perhatian adalah materi informasi kadidat pra-pemilihan. Perlu diapresiasi kegiatan sosialisasi yang dilakukan KPU bersama organisasi disabilitas daerah. Beberapa di antaranya seperti yang diadakan di Hotel Lingga, Bandung, dengan melibatkan puluhan penyandang disabilitas dari mulai tunanetra, tunarungu, dan tuandaksa (27 November 2012). Ada juga sosialisasi oleh KPU Kota Depok pada 21 Desember 2012 atau yang diadakan di Kabupaten Bogor di bulan Februari 2013.

Kelemahan kegiatan tersebut adalah tidak terjangkaunya penyandang disabilitas yang  tak ikut sosialisasi. Mereka juga berhak untuk informasi visi, misi, dan program, serta komitmen kandidat berupa materi informasi yang aksesibel. Materi informasi tersebut seperti naskah berformat huruf braille bagi tunanetra dan tayangan visual yang dilengkapi dengan bahasa isyarat untuk calon pemilih tunarungu.

Belum adanya perhatian KPU untuk menyediakan media informasi yang aksesibel bagi penyandang disabilitas, ditanggapi oleh salah satu kandidat di Pilgub Jabar 2013 dengan mencetak visi, misi, dan programnya dalam format braille. Inisiatif yang dicetuskan oleh kandidat nomor urut empat, Ahmad Heryawan – Deddy Mizwar, mendapat sambutan baik dari para penyandang disabilitas, khususnya tunanetra.

Hal tersebut seharusnya menjadi “tamparan” bagi KPU untuk lebih memperhatikan kebutuhan informasi Pemilu bagi penyandang disabilitas. Salah satu alasannya agar distribusi informasi pada mereka lebih adil dan meluas, tidak hanya dari kandidat tertentu. Mereka juga berhak untuk mendapatkan informasi sehingga dapat memilih berdasarkan pada pertimbangan rasional, bukan karena pengetahuan yang terbatas maka menyebabkan pilihan yang terbatas pula. Lebih buruk lagi, jika hal tersebut memaksa mereka seperti membeli kucing dalam karung. (DPM)

Editor: Muhammad Yesa Aravena

Last Updated on 8 tahun by Redaksi

Oleh Dimas Prasetyo Muharam

Pemimpin redaksi Kartunet.com. Pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang lalu ini hobi menulis dan betah berlama-lama di depan komputer. Lulus dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia 2012, dan pernah merasakan kuliah singkat 3 bulan di Flinders University, Australia pada musim semi 2013. Mengalami disabilitas penglihatan sejak usia 12 tahun, tapi tak merasa jadi tunanetra selama masih ada free wifi dan promo ojek online. Saat ini juga berstatus PNS Peneliti di Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Kunjungi blog pribadinya di www.dimasmuharam.com.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *