Kenangan pada Sesisir Pisang

Suasana sangat ramai, hiruk-pikuk kegiatan pasar terdengar di telingaku. Aku terus saja berjalan menembus kerumunan tanpa mempedulikan aneka macam bau khas pasar yang menguar di udara. Tidak hanya sekali aku menyenggol orang-orang yang lewat. Pasar padat seperti biasa. Kuayunkan langkahku semakin lama semakin cepat menuju ke kios penjual pisang yang terletak di sudut pasar. Suara panggilan yang terus terngiang di telingaku seakan mendorongku untuk segera mendapatkan pisang.

***

Akhirnya aku tiba di sana, tanpa mengulur waktu kujulurkan tanganku pada buah-buah pisang yang ditawarkan si penjual sementara suara panggilan itu terasa makin keras. Suara seekor burung yang menyerukan nama kecilku dengan nada manja.

“Chichan… Chichan…”

 Aku memutuskan segera membeli sesisir pisang itu untuk makanan burung tersebut. Mendadak sesuatu terasa menusuk hatiku, begitu menyedihkan hingga aku tidak kuat lagi membendung airmataku. Tangisku pun pecah di sela-sela suara panggilan yang terus terdengar itu.

***

Mendadak aku terbangun dengan kesedihan yang luar biasa. Begitu menyesakkan sehingga airmataku langsung mengalir disertai isak tangis. Sementara itu suara panggilan itu perlahan mulai memudar kendati masih meninggalkan sisa yang bergema di kepalaku. Hari itu sudah lewat dari sebulan sejak burung peliharaanku mati namun aku belum juga dapat mengusir rasa kehilangan yang tertanam di hatiku. Setiap saat bayangan burung itu selalu muncul mengisi kekosongan di kepalaku dengan suara-suara yang kerap dibuatnya.

 

Peristiwa yang terjadi pada tanggal 25 September 2011 itu meninggalkan duka mendalam di kalangan keluarga kami yang sangat menyayangi burung nuri berkepala hitam dan sudah dianggap sebagai anggota keluarga. Banyak sekali peristiwa yang telah kami lalui bersama selama dua belas tahun yang panjang. Dua belas tahun yang penuh kenangan bersama burung nuri yang sangat pandai, menemani hari-hari dengan celotehannya dari sela-sela paruh yang melengkung dan berwarna jingga.  

***

Dulu burung yang berasal dari kepulauan Maluku itu biasa memanggil nama kecilku. Salah satu kenangan yang terus melekat di benakku adalah cerita nenekku bahwa ketika aku dirawat di rumah sakit selama dua bulan burung itu tidak henti-hentinya memanggil seakan ia rindu padaku. Tingkahnya itu membuat Nenek dan para tetangga yang mendengar menjadi sedih. Peristiwa itu terjadi saat aku masih berusia sembilan tahun namun Nenek masih mengingatnya dengan jelas. Cerita itu selalu diceritakannya, teruntai di antara rangkaian kenangan lainnya tentang burung nuri kami yang pandai itu. Selain itu burung itu juga juga pandai menyiulkan lagu Bintang Kecil dan Pelangi-pelangi. Dulu ayahkulah yang selalu mengajarinya bersiul seperti itu. Bukan hanya bersiul, burung itupun sering mengejek orang yang lewat di depan sangkarnya dengan berkata,

“Peseeeeeek!!!

Atau, “Peooooot!”

Atau kadang-kadang juga, “Bakekoooook!”

Dan biasanya kata itu selalu diikuti dengan tawa yang aku sendiri tidak pernah tahu siapa yang mengajari. Tawa khas tersebut biasanya membuat orang yang mendengarnya ikut tertawa tanpa menyadari bahwa burung tersebut sedang mengejeknya.  Jika yang lewat tersebut adalah ayam, kucing, anak-anak ataupun orang dewasa, burung itu selalu tampak gembira. Ia bersiul-siul kegirangan sambil menari dan memamerkan kelincahannya, Ia menyukai suasana ramai dan akan sangat aktif. Suara tawanya yang khas tak jarang berderai,inilah yang membuat kami sekeluarga sayang padanya

***

Gerak tariannya sangat unik dan membentuk koreografi tertentu yang selalu dilakukannya setiap kali ia ingin menari. Seperti seorang penari profesional yang sedang mempertontonkan kebolehannya. Dalam tarian tersebut ia selalu memamerkan keindahan setiap senti tubuhnya. Kepalanya yang didominasi bulu berwarna merah dengan warna hitam yang berbentuk seperti topi  menoleh ke sana kemari dengan centil. Lehernya juga atau tepatnya perbatasan antara kepala dan dada berbulu hitam seperti memakai scarf yang terputus di bagian tengah leher. Warna merah yang menjadi warna dasar bulunya mengisi kekosongan di bagian tengah leher terus sampai ke dada dan perut. Sayap hijaunya yang sayangnya tidak bisa terbang itu bergerak ke atas sementara tubuhnya bergoyang-goyang dan kakinya yang berbalut warna biru di bagian atas paha sampai ke bawah ekor seperti memakai celana pendek melangkah dengan gemulai dan teratur. Bukan itu saja ekornya yang juga berwarna merah itu juga mengibas ke atas dan ke bawah dengan berirama.  Bahkan ia menciptakan musik tersendiri untuk mengiringi tariannya.

 

“Yang goyang-goyang… Urip goyang-goyang…”

 

Itulah nyanyian yang selalu terdengar darinya setiap kali menari. Dulu ibukulah yang mengajarinya bernyanyi seperti itu, namun entah mengapa ia hanya menyanyikannya saat sedang menari. Subhanallah, mungkin insting burung itu mengatakan bahwa nyanyian itu lebih cocok digunakan sebagai iringan saat menari.

***

Sungguh tontonan yang menarik. Burung yang diberi nama Urip itu adalah hiburan tersendiri di rumahku. Dulu sebelum menjadi seorang tunanetra aku tidak pernah melewatkan kesempatan menonton tarian burung nuri itu. Tidak jarang pula aku yang masih duduk di sekolah dasar itu turut menari-nari menirukan gerakan sang burung.

***

Burung tersebut juga sangat jinak, khususnya kepadaku dan ibuku. Juga kepada seorang sepupuku yang dulu pernah memelihara Urip di rumahnya saat aku masih duduk di sekolah dasar. Urip sangat manja seperti kucing dan juga fasih mengeong. Rumahku memang sering disinggahi kucing-kucing tunawisma yang seringkali mendapat hadiah sepotong tempe goreng atau makanan lainnya, khususnya bila ayahku ada di rumah. Beliau memang sangat menyayangi binatang dan juga tumbuhan. Mungkin Urip diam-diam memperhatikan dan meniru suara para kucing itu.

***

 

Salah satu bukti kemanjaannya adalah jika aku menyelipkan tangan di antara jeruji sangkar Urip selalu menghampiri dan menggigit-gigit jemariku dengan lembut mengajak bercanda. Jika ia tidak naik ke atas jemariku aku bisa membelai bulu-bulunya yang halus.  Tidak jarang pula ia bertingkah seperti anak anjing yang berguling-guling saat bermain. Lalu ia akan menelentangkan tubuhnya mempersilahkanku mengelitik perutnya. Saat kugelitik perutnya kaki-kaki Urip biasanya bergerak untuk mencoba menangkap jemariku yang lalu dijilat dan digigitinya dengan lembut. Sungguh menggemaskan tingkah lakunya.

***

Pendengarannya juga sangat tajam. Jika ayahku pulang dari tempat kerjanya atau dari manapun Urip selalu tahu lebih dulu. Jauh sebelum ayahku tiba di rumah Urip sudah terlihat sangat bersemangat untuk menyambut. Ia akan bersiul dan bertingkah sangat lincah seolah ingin memberitahu kami bahwa Papa akan segera tiba di rumah. Begitu pula jika ayahku sudah tiba di rumah. Urip akan terus berceloteh seru bila lampu tidak dimatikan. Begitu pula jika ada suara sedikit saja di dalam kegelapan ruangan. Urip akan langsung terbangun dan berkata,

“Hush!”

 

Seolah-olah ia ingin mengusir siapapun yang mengusik tidurnya. Biasanya itu terjadi jjjika seseorang ingin pergi ke kamar mandi pada tengah malam. Begitu pula jjika ada orang asing datang. Kami selalu tahu karena Urip pasti akan memberitahu. Setiap bulan puasa, khususnya saat menjelang sahur ia pun selalu bertingkah seperti itu. Ia selalu terbangun lebih dulu. Letak sangkarnya yang digantung di dekat dapur memungkinkannya untuk menemani ibuku menyiapkan makanan untuk sahur. Sebagai kompensasi karena ia selalu terbangun saat kami sahur ayahku biasanya langsung memberinya makan. Jadi kami selalu sahur bersama kendati tentu saja kami tidak mengubah jadwal makan Urip di siang dan sore hari.

***

Kendatipun Urip hanya seekor burung ia kelihatan sangat senang jika dibelai dan diajak bercakap-cakap seolah mengerti bahwa kami sangat sayang padanya.  Dan jika aku memasukkan telapak tanganku dengan posisi mendatar melalui pintu sangkar Urip selalu mendekat dan meletakkan kepalanya di sana seperti bantal. Lalu ia akan mendengkur lembut seperti kucing. Perbuatan yang sangat aneh sehingga aku sering menyebutnya sebagai kucing bersayap. Tentu saja makanannya bukan ikan atau makanan yang biasanya disantap kucing melainkan pisang dan beberapa jenis buah lainnya seperti jeruk dan pepaya.

***

Pada beberapa kesempatan ayahku mengeluarkannya dari sangkar dan membiarkannya bermain-main di lantai. Seperti sudah tahu tujuannya ia selalu naik ke pangkuan ibuku lalu terus naik sampai ke bahu. Jika tidak dihentikan pasti ia akan naik pula ke kepala ibuku. Jika sudah berada di pangkuan atau di bahu ibuku ia tidak pernah mau turun dengan sukarela. Jika ayahku atau siapapun menurunkannya dan bermaksud mengembalikannya ke sangkar ia akan berteriak-teriak marah dan menggunakan paruhnya untuk berpegangan pada pakaian ibuku. Sikap seperti itu selalu membuat kami tertawa. Sikapnya seperti seorang anak kecil yang tidak mau lepas dari gendongan ibunya. Mungkin ia yang telah kami pelihara sejak kecil menganggap ibuku sebagai ibunya. Aku tidak tahu pasti, yang jelas Urip memang sangat dekat dengan ibuku. Ibukulah yang paling sering mengajaknya bercanda atau mengajarinya ini dan itu hampir seperti memperlakukan seorang bayi.  Karena ajaran itu, hampir setiap kali Urip mendengar suara atau melihat sosok ibuku ia selalu memanggil nama ibuku.”

 

“Dewiiiii… Dewiiiii…!”

 

Namun caranya memanggil ibuku agak berbeda dengan caranya memanggilku. Jika memanggilku ia selalu menggunakan nada manis sehingga terdengar manja dan agak merayu. Berbeda dengan ibuku yang selalu dipanggil dengan nada tidak sabar.

 

“Dewiiiiiii !!!”

***

Mungkin juga kebiasaan keluarga yang selalu memperlakukannya dengan baik seperti halnya manusia memberinya kebiasaan dan cara pandang yang sama pula. Tentu saja dengan semua keterbatasannya sebagai seekor burung.  Jika sudah seperti itu ayahku yang paham sifat-sifat burung itu mencoba cara lain untuk memasukkannya ke sangkar. Beliau biasanya menaruh sebuah pisang di dalam sangkar dan membuka pintunya lebar-lebar. Dengan demikian Urip yang tertarik kepada pisang terpancing sehingga masuk sendiri ke dalam sangkar.

***

Pada saat-saat dimana kami hendak pergi Urip selalu mengeluarkan suara ribut seolah ia tidak mau ditinggal. Ia selalu tahu jika hari itu kami berencana akan pergi. Sejak pagi hari ia akan selalu tampak gelisah. Apalagi jika mendengar suara mesin mobil dinyalakan. Teriakan yang dilakukannya untuk mencegah kami pergi akan membuat orang menutup telinga rapat-rapat. Bahkan setelah kami keluar dari rumah Urip akan tetap berteriak-teriak hingga kami sudah jauh.

***

Namun ada juga perkecualian dari sikapnya yang manja. Dengan kecerdasannya ia dapat mengenali orang, terlihat dari caranya bersikap. Jika ia selalu manja kepadaku atau ibu dan seorang sepupu perempuanku, tidak demikian halnya kepada ayah, paman dan sepupu-sepupuku yang laki-laki. Terbukti bahwa salah seorang dari mereka  mencoba memegangnya atau tanpa sengaja memasukkan tangan ke sangkar Urip akan menyergap tangan mereka dan menggigitnya tanpa ampun hingga berdarah-darah. Aku tidak tahu mengapa begitu. Mungkin karena selaku seekor jantan ia tidak mau wilayahnya dilanggar oleh sesama makhluk hidup dengan jenis kelamin yang sama kendati dari spesies berbeda.

Karena itulah ayahku selalu membekali diri dengan sepasang sarung tangan kulit yang tebal setiap kali harus memegang Urip. Seperti saat Urip sakit saat aku masih duduk di kelas dua sekolah menengah pertama. Urip yang sangat lemah sehingga tidak mampu makan sendiri itupun disuapi pisang oleh kedua orang tuaku. Caranya yaitu dengan menggunakan tabung suntikan. Ibuku yang sebelumnya sudah menghancurkan subuah pisang menyemprotkan bubur pisang tersebut ke mulut Urip sedangkan ayahku memegangi Urip yang memberikan perlawanan yang hebat setelah lebih dulu melindungi tangan dengan sarung tangan.

Aku tidak tahu penyakit apa yang menyerang Urip saat itu. Kondisinya yang sangat memprihatinkan saat itu membuat ayahku memutuskan untuk membawanya ke dokter hewan di Dinas Peternakan setempat. Menurut ayahku di sana Urip disuntik dengan sejenis antibiotik. Setelah itu selama tiga hari berturut-turut Urip hanya diam seperti tidur. Kami sangat khawatir melihatnya namun kemudian kejutan datang. Setelah tiga hari beristirahat di bawah pengaruh suntikan antibiotik dan hanya mendapat pengisi perut dari usaha orang tuaku untuk menyuapinya akhirnya Urip sembuh dan kembali berkicau.  Rumah pun kembali semarak dengan suara siulan burung nuri tersebut dan juga tawa yang tercipta jika melihat tingkah polahnya yang lucu. Kami sekeluarga pun sangat bersyukur sekaligus lega setelah tiga hari menunggu dengan cemas.

***

Namun semua itu hanyalah kenangan manis yang tidak akan pernah terulang lagi. Sudah hampir sembilan tahun berlalu sejak Urip sakit untuk pertama kali. Di pagi hari yang kelabu itu aku dibangunkan dengan sebuah berita buruk. Urip yang sudah beberapa hari sakit akhirnya mati. Orang tuaku sudah membawanya ke dokter hewan yang dulu pernah menanganinya namun kali ini ia tidak tertolong. Berita menyedihkan yang menyongsongku di ambang alam nyata setelah aku terbangun dari tidur itu terasa seperti ledakan petir. Tidak terkatakan betapa banyak air mata yang tercurah hari itu, khususnya bagi ibuku yang selalu merawat,memberi makan dan bercanda dengan Urip. Aku merasa bingung dan linglung. Keterkejutan yang kurasakan berbaur dengan rasa kehilangan yang membuatku merasa kosong.

Hari demi hari aku berusaha bersikap wajar dan membiasakan diri dengan kesunyian yang tercipta di rumahku sepeninggal Urip. Kekosongan dan kesunyian itu makin lama makin terasa karena memang jumlah penghuni rumahku tidak banyak. Tidak jarang jika sedang duduk di tempat dimana sangkar Urip biasa digantungkan ibuku sering memanggil nama Urip seperti dulu selalu kami lakukan jika duduk di situ. Beliau juga sering tidak dapat menahan air mata terutama pada hari-hari pertama setelah kematian Urip. Aku sendiri tanpa sadar sering melirik ke arah dimana sangkar Urip biasa digantungkan kendati tidak dapat melihatnya. Selalu, seolah ia masih di sana. Bersiul dan memanggilku dari sangkar yang tergantung. Kini ia sudah tidak di sini lagi namun kenangan tentangnya tidak akan pernah hilang. Khususnya jika makan pisang atau melewati kios penjual pisang ibuku atau aku sering menangis teringat kepada Urip, burung nuri superpandai yang tidak akan ada duanya di hatiku untuk selamanya.

***

Keberadaan Urip yang pernah singgah di hidupku juga memberi andil pada cara pandangku. Hewan yang kecerdasannya tidak seperti manusia pun mengerti tentang kasih sayang dan juga identitas orang. Ia akan tahu siapa yang menyayanginya dan siapa yang tidak. Siapa yang peduli padanya dan siapa yang tidak. Ia juga mempunyai perasaan namun tentu saja sebagai seekor hewan ia tidak dapat melisankan apa yang dirasakannya hingga diperlukan kesediaan dari para manusia sebagai makhluk yang lebih pandai untuk mengamati, menghargai dan memahami sesama makhluk ciptaan Tuhan kendatipun berasal dari spesies yang berbeda.

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Oleh Cchrysanova Dewi

Chrysanova Prashelly Dewi adalah alumni Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Subang. Gadis yang mengalami ketunanetraan sejak berusia lima belas tahun ini gemar menulis, membaca, dan mendengarkan musik

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *