Ketika Taxi Menolak Penumpang Tunanetra
Terakhir diperbaharui 9 tahun oleh Redaksi
Hai pembaca yang baik. Sudah cukup lama saya tidak mencoret-coret di sini. Kali ini saya ingin berbagi pengalaman yang saya alami beberapa bulan yang lalu.
Waktu itu hari Jumat, kebetulan saya sedang tidak ada mata kuliah sama sekali. Akhirnya saya memutuskan untuk bermain ke rumah salah seorang teman di daerah Pondok Cabe, Tangerang Selatan. Dari UI saya berangkat ke Pondok Cabe naik angkot, dan semua berjalan dengan sangat lancar tanpa hambatan.
Siang harinya, saya mendapat SMS dari seorang teman yang intinya mengajak saya bertemu di salah satu mall di Jalan Margonda. Berhubung saya belum pernah bertemu dengan teman saya itu (read: saya mengenalnya hanya dari sosial media), maka saya setujui ajakan ketemuan itu. Saya mengatakan bahwa saya akan sampai di sana sekitar jam 6 sore.
Jam 5 sore, saya pulang dari rumah teman saya di Pondok Cabe dan langsung meluncur ke Jalan Margonda, Depok. Semua berjalan mulus sesuai rencana, sekitar jam 6 (sebetulnya hampir jam setengah 7) saya tiba di mall yang telah disepakati.
Sekarang mari kita masuk ke inti cerita. Sekitar jam setengah 9 saya memutuskan untuk pulang. Mata “low vision” saya sudah sangat sulit digunakan ketika malam hari. Tadinya saya ingin pulang naik ojek, tetapi kata teman saya agak sulit mencari ojek di sekitar mall tersebut. Akhirnya saya memutuskan untuk naik taxi. “Nggak apa-apa deh mahal dikit, daripada gue nggak bisa pulang?” begitu pikir saya.
Akhirnya saya menemukan sebuah taxi. Dan terjadilah percakapan seperti berikut.
X: “Tolong antar teman saya ya Pak. Kemana Ry?”
Saya: “Polsek Beji Pak, deket kok.”
Supir: “Sendiri mas? Atau Mbaknya ikut juga?”
Saya: “Saya sendiri aja Mas.”
Supir: “Mbaknya ikut aja.”
X: “Dia bisa sendiri kok Mas.”
Supir: “Aduh, saya nggak berani Mbak. Takut nyasar.”
Saya: “Yaelah Mas, saya hafal kok jalannya. Tenang aja.”
Supir: “Udah, Mbaknya ikut aja.”
Saya: (berbicara ke teman saya) “Ah, udah ah, ribet amat ini supir.”
Tak lama berselang, akhirnya saya menemukan ojek di depan aall tersebut. Akhirnya saya pulang naik ojek dengan hati senang.
Dari cerita di atas, saya menarik kesimpulan bahwa masih banyak transportasi umum yang menolak penumpang tunanetra dengan berbagai macam alasan. Takut nyasar menjadi alasan klasik yang biasa mereka gunakan. Ada pula penyelenggara transportasi umum yang menolak penumpang tunanetra dengan alasan “takut nggak dibayar” (menurut saya itu alasan yang bisa dibilang cukup “kurang ajar”).
Solusinya? Simpel saja. Tunanetra harus membiasakan diri naik transportasi umum, dan lama kelamaan para penyelenggara transportasi umum pun akan mengetahui keadaan yang sebenarnya.