Kiat Sederhana Kampus Aksesibel

Jakarta, Kartunet.com – Aksesibilitas masih belum menjadi sesuatu yang biasa di Indonesia, bahkan untuk institusi pendidikannya. Di tingkat seperti perguruan tinggi sekalipun, aksesibilitas kurang mendapat perhatian. Padahal, untuk menjadi kampus yang aksesibel dan nyaman untuk semua, termasuk bagi penyandang disabilitas, cukup melakukan sedikit modifikasi pada beberapa bagian di kampus.

Modifikasi pertama yang cukup mudah dilakukan adalah menutup semua selokan dan gorong-gorong di lingkungan kampus dengan jaring besi. Jalur sanitasi yang terbuka amat berbahaya bagi tunanetra dan tunadaksa pengguna kursi roda. Seorang tunanetra sebetulnya dapat mengidentifikasi jika ada selokan atau gorong-gorong yang terbuka dengan tongkat putihnya, akan tetapi tak menutup kemungkinan ia kurang berkonsentrasi dan dapat terjatuh ke dalamnya. Bagi pengguna kursi roda, adanya selokan menyulitkan untuk dilalui dan menyebabkan perlunya bantuan orang lain untuk mengangkat kursi roda melewati selokan tersebut.

Setelah menutup jalur sanitasi, modifikasi yang dapat dilakukan oleh pihak kampus adalah mengubah tangga-tangga kecil di luar gedung ke bentuk bidang miring. Undakan-undakan tersebut terkadang menyulitkan bagi pengguna kursi roda untuk mobilisasi secara mandiri. Ketika menemuinya, ia perlu meminta bantuan orang di sekitarnya untuk mengangkat kursi roda melewati undakan tersebut. Apabila tiap undakan dibuat bidang miring, mereka dapat berpindah antar gedung secara mandiri.

Selanjutnya, diperlukan pula agar tiap tangga antar lantai di dalam gedung dilengkapi dengan railing atau susuran tangga. Susuran tersebut dapat menjadi pegangan bagi tunanetra ketika menaiki tangga tanpa perlu khawatir jatuh. Bagi tunadaksa yang masih dapat menggunakan kruk, railing tersebut dapat jadi penopang ketika menaiki tangga. Selain itu, tiap anak tangga dapat ditambahi lis bergerigi dan warna kontras. Lis tersebut berguna bagi tunanetra total untuk merasakan pergantian anak tangga dengan kakinya, dan dapat dikenali tunanetra low vision sebagai batas tiap anak tangga.

Perubahan kecil lainnya dapat dilakukan dengan banyak membuat petunjuk tertulis untuk menuju ke suatu tempat, nama tempat, dan lokasi-lokasi lainnya. Tulisan-tulisan tersebut bermanfaat bagi tunarungu agar tak perlu susah payah bertanya kepada orang ketika ingin menuju suatu tempat. Selain itu, diperlukan juga ditempelkan label Braille di sebelah pintu tiap ruangan di gedung yang menunjukkan kode ruangan kelas. Pembubuhan label kecil tersebut amat berguna bagi tunanetra agar tidak menyasar ketika ingin memasuki sebuah kelas.

Berpindah ke luar lingkungan gedung kampus, apabila kampus menggunakan bus untuk transportasi antar fakultas, dapat pula ditambahkan notifikasi suara dan teks setiap berhenti halte di dalam bus. Notifikasi tersebut akan memudahkan tunanetra dan tunarungu ketika ingin berhenti di halte tertentu. Apabila tak ada notifikasi tersebut, peluang untuk salah turun halte amatlah mungkin bagi mereka.

Di samping perubahan pada fasilitas fisik, sedikit modifikasi kebijakan pun dapat dilakukan pihak kampus. Seperti ketika pihak kampus mengidentifikasi ada mahasiswanya yang tunadaksa atau pengguna kursi roda. Mereka akan kesulitan setengah mati untuk pindah kelas ke lantai dua dan seterusnya. Apabila gedung tidak memiliki lift, dapat dibuat kebijakan tiap kelas yang diambil oleh mereka, diatur agar menempati ruang-ruang kelas di lantai dasar. Sebuah modifikasi yang amat mungkin dilakukan kampus dan mempermudah mahasiswa pengguna kursi roda.

Lebih jauh, di perpustakaan dapat pula diterapkan kebijakan untuk menyediakan versi e-book dari koleksi buku yang ada. E-book tersebut dapat membantu bagi mahasiswa tunanetra yang tidak memungkinkan mengakses buku cetak. Dilengkapi dengan komputer bicara di dalam perpustakaan, maka mahasiswa tunanetra secara mandiri dapat mengakses koleksi buku di perpustakaan tanpa perlu tergantung pada orang awas atau nontunanetra.

Lantas, apakah berbagai hal tersebut menjadi beban bagi pihak kampus? Apabila dilihat secara objektif, berbagai upaya pemenuhan aksesibilitas tersebut bukan hanya bermanfaat bagi mahasiswa disabilitas, melainkan juga akan membuat mahasiswa secara umum pun merasa lebih nyaman. Misalnya, kebijakan menutup atas selokan dan pembuatan bidang miring pada undakan di jalan. Modifikasi tersebut dapat mengurangi kemungkinan orang tersandung tangga atau terperosok ke selokan karena kurang berhati-hati, bukan? Sama halnya dengan railing atau susuran tangga. Orang yang tak mengalami kesulitan untuk berjalan pun akan lebih nyaman jika berjalan sambil berpegangan pada railing agar menghindari kemungkinan terjatuh.

Kebijakan yang disesuaikan untuk mahasiswa disabilitas pun tak sepenuhnya bersifat khusus. Penyesuaian posisi kelas-kelas tertentu di lantai dasar pun bermanfaat bagi para dosen usia lanjut yang terkadang kesulitan jika harus menaiki anak tangga terlalu banyak. Setidaknya, pihak kampus tak perlu mengeluarkan biaya besar untuk membangun lift apalagi untuk gedung kurang dari empat lantai. Selain itu, konversi buku-buku perpustakaan menjadi e-book juga berguna sebagai arsip perpustakaan dalam format digital. Format tersebut lebih kekal dibanding bentuk fisik yang dapat termakan waktu. E-book pun dapat digunakan mahasiswa nontunanetra, sehingga tak perlu membawa buku-buku yang tebal, cukup menggunakan flashdisk atau keping CD.

Ternyata, untuk mewujudkan kampus yang aksesibel bagi mahasiswa dengan disabilitas tidak sulit. Hanya diperlukan sedikit modifikasi dan keluasan pikiran untuk menerima perbedaan. Tentu akan lebih ideal jika di kampus terdapat pusat kajian dan layanan untuk mahasiswa disabilitas, Braille way, lift di semua gedung, atau buku-buku berformat Braille. Namun dalam jangka pendek, beberapa modifikasi di atas sudah cukup mengakomodasi kebutuhan mahasiswa disabilitas tanpa membebani pihak kampus. (DPM)

Editor: Muhammad Yesa Aravena

Last Updated on 6 tahun by Redaksi

Oleh Dimas Prasetyo Muharam

Pemimpin redaksi Kartunet.com. Pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang lalu ini hobi menulis dan betah berlama-lama di depan komputer. Lulus dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia 2012, dan pernah merasakan kuliah singkat 3 bulan di Flinders University, Australia pada musim semi 2013. Mengalami disabilitas penglihatan sejak usia 12 tahun, tapi tak merasa jadi tunanetra selama masih ada free wifi dan promo ojek online. Saat ini juga berstatus PNS Peneliti di Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Kunjungi blog pribadinya di www.dimasmuharam.com.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *