Kisah Bang Udin

Kita catat dari daerah ini kawan, barisan pohon bambu tumbuh disepanjang pinggirin kali Pesanggrahan yang mengalir jernih dari Pangrango dan berakhir disekitar Muara kapuk. Sementara di muara kali berdiri gagah sebuah pohon beringin cukup besar yang lebih dulu tumbuh sebelum kami tinggal di kawasan ini. Bila pagi datang, terdengar bunyi burung tekukur yang berasal dari pohon rambutan berpadu dengan beberapa jenis serangga yang memainkan perkusi alam sekitar Kali Pesanggrahan. Kawan, tak akan ku lupa keindahan sekitar alam Pesanggrahan ini. Tempat dimana aku dilahirkan dan dibesarkan. Tempat dimana aku mengerti bahwa sebuah pengalaman sederhana dapat mengajarkan banyak pengetahuan dan arti hidup.

Namun semua keindahan itu hanya terasa pada sekitar tahun 1950, saat kali pesanggrahan masih berupa kali yang mengalirkan air bening serta dikelilingi pepohonan yang besar dan rindang. Kini setelah hampir 35 tahun berlalu, keindahan kali pesanggrahan terkikis oleh kerakusan makhluk Tuhan akan kekayaan juga kemewahan. Awal tahun 1980 pohon-pohon disekitar kali pesanggrahan sering ditebang oleh para penebang yang bekerja untuk sebuah perusahan berbagaimacam barang-barang mebel. Mereka menebang pohon jati, sawo, bambu, dan pepohonan lainya yang tumbuh disekitar kali pesanggrahan. Dengan penuh kerakusan, mereka menebang pohon-pohon itu tanpa menanam kembali benih-benihnya. Sehingga, lama-kelamaan pepohonan yang tumbuh dipinggiran kali pesanggrahan kini tinggal sebuah kegersangan yang sewaktu-waktu mengundang air pesanggrahan berkunjung ke darat yang menyebabkan kerugian disekitarnya. Tak ada lagi aliran air Kali Pesanggrahan yang jernih dan deras, tak kurasakan lagi sejuknya oksigen yang mengalir diantara pepohonan yang tumbuh rindang. Dan tak pernah ku dengar lagi bunyi burung tekukur yang bernyanyi dipucuk dahan rambutan. “Ku tulis kisahmu diatas kertas ini Bang Udin. Agar kelak banyak orang yang mengerti betapa pentingnya menjaga dan merawat lingkungan sekitar, dan alam tempat kita tinggal. Kawanmu Abdullah.”

Sebut saja namanya Bang Udin. Seorang laki-laki Betawi tulen yang telah lebih dulu tinggal di kawasan Kali Pesanggrahan ini sebelum kami. Sedangkan nama asli beliau adalah Khairudin. Bang Udin sedang termenung di halaman rumahnya, kopi yang baru saja di sajikan oleh sang istri samasekali tidak menarik perhatianya. “Dulu sewaktu aye masih kecil, kali ini adalah kali dimana aye menghabiskan waktu bersama teman-teman aye. Berenang, nyari ikan, main air, dan masih banyak lagi kenangan aye bersama kali ini.” Raut wajahnya menyiratkan kepedihan amat dalam menyaksikan keadaan kali pesanggrahan yang kini lululantah oleh keganasan limbah industri, dan kerakusan manusia pada kekuasaan dan kekayaan alam yang hendak dikuasai sendiri. Matanya menatap pilu pada air kali yang dulu bening kini berwarna hitam pekat karena telah tercemar oleh zat kimia dan berbagai sampah. “Bang entar kopinya keburu dingin!” Kata sang istri yang amat di cintainya. Sambil menyeruput kopi hitam yang masih hangat itu Bang Udin berkata: “Nah, Abang prihatin sama keadaan kali pesanggrahan ini.” “Minah juga Bang, dulu waktu Minah masih kecil minah sering deh main di kali ini. Minah mandi, nyuci, nyari ikan, tapi gimana lagi Bang? Sekarang keadaanya udah berubah.” Bang Udin kembali menyeruput kopinya. “Kira-kira, kalau Abang mau merubah kali ini Minah setuju nggak?” “Maksud Abang?” Tanya Minah heran. “Abang mau mengembalikan keadaan kali ini seperti dulu lagi. Abang mau menanam pohon disekitar kali ini.” “Tapi kali ini kan luas Bang, hulu kali ini ada di pangrango dan muaranya ada di muara kapuk, panjang kali ini saja kurang lebih 136 kilometer.” Bang Udin meraih tubuh minah dalam pelukanya. “Abang janji Minah, abang akan berusaha untuk mengembalikan kali ini seperti masa kecil kita dulu!” “Amin … Minah akan selalu mendukung dan mendo’akan Abang!” “Minah memang istri Abang yang paling pengertian!” Puji Bang Udin sambil mencubit penuh sayang pipi Aminah.

Siang itu usai pulang sekolah aku sedang berjalan menuju rumahku yang terletak di kompleks pertanian 4 tak jauh dari kampung karang tengah. Ketika menyusuri pinggirin kali pesanggrahan ku lihat seorang laki-laki bertubuh kekar sedang sibuk mondar-mandirr disekitar pinggiran kali. Setelah ku amati dari dekat rupanya laki-laki itu adalah Bang Udin, “Lagi ngapain Bang?” Sapaku. “Eh .. Ente Dul? Ini, Abang lagi bersihin pinggirin kali. Abang mau tanam pohon di mari biar enak gitu kerasanya!” “Waduh, abang mau nanam pohon di pinggirin kali ini? Apa nggak ngeribedin bang? Kali ini kan luas juga?” Heranku. “Insya Allah nggak Dul. Pokoknya, do’ain Abang ye, entar kalau pohonnya udah tumbuh banyak kita bisa mancing ikan di mari sambil makan mangga!” Aku tersenyum menyetujui usul Bang Udin.

Kawan, bukan main semangat Bang Udin untuk mengubah sekitar kali pesanggrahan menjadi sebuah lahan hijau. Setiap hari Bang Udin menyisir kawasan kali pesanggrahan dari kampung karang tengah hingga muara kali, dibersihkanya sampah-sampah yang menggunung disepanjang bantaran kali. Dengan teliti Bang Udin memisahkan antara sampah organik dan Anorganik. Sampah organik dikumpulkan di kebun belakang rumahnya dan dibakar. Sementara sampah anorganik dikumpulkanya disebuah lubang yang dibuatnya dibelakang rumah, setelah terkumpul banyak sampah-sampah itu di jualnya pada pabrik pengolahan limbah plastik. Semua itu di lakukanya hanya demi satu tujuan. “Ya Allah, ridhailah aku untuk menjaga dan melestarikan ciptaan’mu!” Kawan, seumpama ombak di laut lepas. Setiap saat  ombak itu akan menghadapi sebuah karang yang besar dan keras, namun sang ombak terus menerjang karang itu hingga akhirnya karang itupun terkikis. Begitupula dengan Bang Udin, semua yang dilakukanya untuk melestarikan kali pesanggrahan tidak berjalan dengan mudah. Seperti misalnya pagi ini. Seorang laki-laki berwjah brangasan menghampiri Bang Udin yang sedang membakar sampah di depan halaman rumahnya, “Saya dengar Abang mau nanam pohon di pinggir kali?” Tanya orang itu tanpa basa-basi. “Iya Bang Gofar, kenapa?” Bang Gofar maju satu langkah mendekati Bang Udin tatapan matanya seakan ingin menerkam Bang Udin dengan tubuhnya yang tidak kalah sangarnya dengan tatapan matanya. Namun Bang Udin tak tergubris sedikitpun dengan sikap Bang Gofar tatapan matanya tetap tenang, “Jadi Benar, yang di omongin sama warga kampung?” Bang Udin mengangguk tegas. “Bang, aye peringatkan sama Abang. Kalau Abang tetap mau nanam pohon di pinggir kali pesanggrahan Abang kagak bakalan selamat!” “Keselamatan Aye bukan ditentuin sama Abang, tapi sama Allah! Abang mau ngancam saya? Silahkan! Saya nggak takut! Lagipula kenapa Abang marah kalau saya mau nanam pohon di pinggir kali pesanggrahan?” Bang Gofar mencibir. “Bang, Abang itu goblok apa pura-pura goblok, selama ini kali pesanggrahan yang ngelewatin kampung kita udah kita jadikan tempat pembuangan sampah. Kalau Abang nanam pohon di pinggiran kali, sampah warga kampung mau di buang kemana? Ke rumah Abang!?” “Bang, Abang mikir dong! Karena kita sering buang sampah ke bantaran kali makanya kampung kita sering kebanjiran. Abang tega ngebiarin kampung kita hampir tiap tahun kebanjiran?” Bang Gofar muntap. “Dengar Bang, kali pesanggrahan adalah satu-satunya tempat kita warga kampung membuang sampah, abang mau ngebayarin tukang sampah yang tiap hari ngangkutin sampah di kompleks sebelah agar mau ngangkutin sampah kampung kita yang bejibun.” Bang Udin tak mau kalah, baginya masalah sampah dapat ditanggulangi tapi masalah kehancuran alam? Kalau tidak ditangani dengan cepat kerusakan itu akan semakin parah. “Bang, sampah-sampah kampung kita bisa diatasi kalau kita mau. Masih banyak lahan yang bisa di jadikan tempat pembuangan sampah, tergantung kemauan kita Bang, mau nggak mengelola tempat itu jadi tempat pembuangan sampah. Pokoknya saya tetap mau nanam pohon di sekitar kali pesanggrahan nggak ada hak Abang ngelarang saya!” “Kalau Bang Udin tetap mau menanam pohon di pinggiran kali, abang akan berhadapan sama warga kampung.” “Saya nggak takut Bang, toh ini demi kebaikan mereka juga. Kalau Abang tetap ngelarang saya, lihat saja nanti gimana rasanya kalau sampah menumpuk disekitar Abang!” Usai berkata demikian Bang Udin meninggalkan Bang gofar yang gemetar menahan kemarahan.

Hari-demi hari di lalui Bang Udin dengan penuh semangat seorang jagoan. Baginya jagoan adalah seseorang yang rela berkorban demi kesejahteraan orang-orang disekitarnya, tak diperdulikanya cibiran dan cemoohan dari warga kampung yang terhasut oleh Bang Gofar. Juga tak di perdulikanya makian warga kampung atas kecerobohannya mengubah tempat pembuangan sampah kampung menjadi lahan hijau. Aku terharu melihat perjuangan orang yang amat ku kagumi itu, siang ini ku hampiri Bang Udin yang sedang menyiapkan bibit belimbing yang didapatkanya di Bogor. “Boleh saya ikut kegiatan Abang?” Bang Udin menatapku penuh terimakasih. “Ente memang teman saya yang perhatian Abdullah, tolonglah Abang! Abang nggak mungkin mengerjakan ini semua sendirian.” “Insya Allah Bang, tapi saya nggak bisa bantuin Abang tiap hari paling seminggu sekali. Maklum Bang, saya masih sekolah.” “Ente mau bantuin saya saja saya banyak-banyak mengucapkan terimakasih Dul. Yang penting kita harus bekerja sama, saling bahu membahu membangun kembali hutan disekitar kali pesanggrahan ini.” Sejak pertemuan siang itu, setiap Sabtu dan Minggu aku membantu Bang Udin mengolah bibit untuk ditanam di pingiran kali pesanggrahan.

Setelah hampir 5 tahun kami mencoba melakukan penghijauan disekitar pesanggrahan akhirnya beberapa bibit telah tumbuh menjadi pepohonan yang rindang dan lebat buahnya. Seperti belimbing, rambutan, jati, dan mangga tumbuh pesat berkat perawatan Bang Udin yang teliti. Setelah berhasil menanam bibit tumbuhan, Bang Udin mencoba mengelola empang di sekitar kali. Dengan bibit ikan yang di dapatkanya dari kawan dekatnya Bang Udin berhasil mengembang biakan ikan-ikan di empang dekat kali pesanggrahan. Empang itu sering dijadikan tempat pemancingan oleh warga kampung, dan wargakompleks yang tinggal disekitar kampung Karang Tengah. Sore itu Bang Udin sedang mengajari kami para pemudatentang cara memilih bibit  yang baik untuk di olah agar tumbuh dengan hasil yang bagus. Beliau menunjukan mana bibit yang siap tanam, atau bibit yang sama sekali tidak baik untuk di tanam. Tiba-tiba seorang laki-laki berwajah brangasan menghampiri Bang Udin dan langsung membentaknya dengan kata-kata kasar. “Ternyata Abang susah dibilangin ha!? Kesabaran saya udah habis Bang. Sekarang pohon-pohon sudah terlanjur tumbuh di kawasan kali pesanggrahan, kalau Abang tetap nekad terus menanam pohon, saya mau suruh warga buat menebang pohon-pohon itu!” Bang Udin tetap bersikap tenang namun tatapan matanya tajam menikam mata laki-laki itu. “Bang Gofar, kalau Abang hendak menyuruh warga untuk menebang pepohonan yang sudah saya dan para pemuda tanam dengan susah payah. Abang akan merasakan gimana rasanya kalau sampah bertumpuk tak karuan dipinggir kali pesanggrahan.” “Maksud Abang?” Tanya Bang Gofar. “Lihat saja nanti malam!” Bang gofar pergi begitu saja sambil menggerutu. Bang Udin melanjutkan penjelasanya yang terpotong oleh kedatangan Bang Gofar. “Kalau biji mangga yang kisut kayak gini, kwalitasnya kurang bagus nih. Bahkan bisa kagak tumbuh, kalau mau menanam mangga pilih bibitnya langsung. Nah yang kayak begini misalnya.” Jelasnya sambil mengambil salahsatu buah mangga yang berukuran sedang. “Kalau kita menanam bibit yang seperti ini Insya Allah hasilnya akan bagus.”

Bang Udin benar-benar membuktikan kata-katanya, “Setelah 5 tahun berlalu Bapak Rt itu masih juga belum sadar akan kekeliruanya. Biar aye kasih pelajaran dia!” Pikirnya.Tengah malam bangudin mendatangi rumah Bang Gofar sambil membawa sebuah karung yang cukup besar. Dari dalam karung tercium bau busuk yang amat menyengat. Dengan langkah tegap Bang Udin menghampiri halaman rumah Bang  Gofar yang cukup luas. Dengan satu gerakan elegan dia melempar karung besar itu hingga jatuh persis ditengah halaman rumah, dan alangkah menjijikanya isi karung yang dalam sekejap tumpah dan langsung menyebar keseantero halaman rumah. Sampah anorganik yang terdiri dari berbagaimacam pelastik, besi, beling, dan masih banyak lagi memenuhi hampir seluruh permukaan lantai halaman. Sementara berbaur dengan benda-benda berkarat, sisia kotoran ayam bertebaran menutupi lantai halaman rumah Bang Gofar yang semula mengilap. Rupanya ini sumber bau yang keluar dari dalam karung tadi. Setelah mengamati sejenak kekacauan yang ditimbulkanya Bang Udin bergegas pulang menuju rumahnya.

Esoknya, Bang Gofar sibuk kesana-kemari memarahi setiap orang karena telah terjadi kekacauan yang luar biasa di halaman rumahnya semalam. “Anjing kali tu orang ye, buang sampah di depan rumah saya coba. Apa kagak punya tatak rama?” Begitulah kata-kata yang di ucapkanya bila bertemu dengan siapapun. Akhirnya Bang Gofar menemukan siapa pelaku kekacauan yang menyebabkan sepagian ini rumahnya dikerubungi oleh lalat yang hendak berpesta. Pagi ini Bang Udin mengajari kami cara memilih dan mengelola bibit ikan, saat Bang Udin sedang memindahkan bibit ikan yang ciap untuk dikembang biakan ke salahsatu empang pengolahan. Bang Gofar datang dan langsung menghajar Bang Udin, “Saya tahu siapa yang membuang sampah di halaman rumah saya. Abangkan? Jawab Bang!” Bentak Bang Gofar. Bang Udin bangkit setelah terjungkal karena tendangan Bang Gofar, wajah Bang Udin memerah menahan amarah. Namun dia tetap bersikap tenang, “Kalau iya kenapa Bang Gofar? Bukanya itu yang Abang mau?” Bang Gofar hendak menghajar Bang Udin lagi tapi kami para pemuda langsung mencegahnya. “Bang Gofar, kalau Abang memang nggak mau pepohonan tumbuh disekitar kali pesanggrahan lebih baik Abang Pergi dari kampung ini. Kami tidak mau, ada satu duri yang merusak kampung ini. Abang seharusnya sadar bagaimana kacaunya kampung kita kalau air kali pesanggrahan naik. Kasihan Bang, anak-anak yang terkena penyakit diare, demam berdarah, malariya. Abang Tega? Terserah Abang kalau Abang masih bertingkah, kita nggak bakalan tinggal diam!” Bang Gofar menatapku penuh rasa penyesalan. “Maafin Abang Dul, hanya saja Abang nggak tahu kemana lagi kita harus membuang sampah kalau nggak ke bantaran kali pesanggrahan?” Aku maju satu langkah mendekati bang Gofar.. “Masih ada cara Bang, untuk menangani sampah di kampung kita. Makanya Abang ikut kegiatan ini!” Perlahan raut wajah Bang Gofar mulai bersahabat. “Iya Dul, Abang ikut kegiatan ini. Bang Udin Maafin saya!” “Iya Bang, yang terpenting Abang sekarang mengerti pentingnya penghijauan di sekitar kali pesanggrahan ini Bang. Kali yang sebenarnya telah menjadi sumber kehidupan orang tua kita dulu.” Kami bersorak menyambut kedatangan Bang Gofar dalam kegiatan kami.

20 tahun kemudian. Wartawan BBC Haidar Affan sedang memarkir mobil vannya disebuah lapangan terbuka. Rerumputan yang tumbuh dipinggiran lapangan nampak terawat rapih. Setelah mobil van itu terparkir dengan aman wartawan BBC itu turun dari mobil bersama kameraman BBC, seorang laki-laki berkulit putih dengan rambut lurus ditutupi topi kerucut biru. Mereka menelusuri jalan batu menuju kesebuah perkampungan yang sebelumnya telah di survey. “Disini beliau tinggal?” Tanya kameraman. “Ya, dan ku harap kita mendapatkan sesuatu yang menarik untuk program linggkungan kita BBC.” Akhirnya setelah berjalan kaki selama 30 menit, mereka tiba disebuah hutan kecil yang dipenuhi dengan pohon yang hijau. Di sisi kiri hutan terdapat 3 empang yang berisi ikan-ikan air tawar berbagai jenis dan ukuran. Dan itulah laki-laki yang sudah kondang namanya di dunia berita nasional yang dicarinya. Kedua wartawan BBC itu menghampiri Bang Udin yang sedang merapihkan rerumputan yang menutupi tanaman semangka. “Selamat siang, Bapak Udin?” Bang Udin menoleh kearah suara yang menyapanya. Sejenak ia nampak gugup namun langsung bisa menguasai diri. “Iya saya Khairudin. Abang-abang ini siapa?” “Kami wartawan dari BBC Indonesia yang berpusat di Londen, kami wartawan bagian program BBC lingkungan kita. Kami hendak mewawancarai Bapak tentang kesuksesan Bapak mengembangkan hutan hijau disekitar kali Pesanggrahan.” Jelas Wartawan bbc itu. Bang Udin megajak mereka menuju sebuah pohon beringin besar yang cukup teduh. Setelah tiba disana mereka bertiga berbincang-bincang sambil di rekam oleh kameraman BBC. Bang Udin bercerita tentang perjalananya mengembangkan hutan hijau yang kini sedang mereka nikmati suasananya. Bagaimana ia mempunyai ide, dan tentang tantangan yang dihadapinya yang disebabkan oleh warga kampungnya. Lebih dari 3 jam mereka berbincang, setelah itu wartawan BBC itu hendak melihat kegiatan para pemuda kampung yang sedang mengolah bibit tanaman dan ikan di pinggir kali pesanggrahan. “Kalau boleh tahu, Bang Udin punya nama untuk kegiatan para pemuda ini?” Tanya wartawan BBC itu. “Sanggar buana! Itulah nama kelompok kami.

Seminggu kemudian berita itu disiarkan melalui jaringan BBC diindonesia. Tepat pukul  05.50. Aku yang saat itu tengah mendengarkan siaran BBC langsung bergegas ke rumah Bang Udin, “Assalamualaikum Bang!” Ujarku sambil berlari menuju Bang Udin yang sedang bersiap menuju empang. “Ada apa ente lari-lari kayak dikejar setan aja.” “Abang masuk radio!” Bang Udin nampak heran. “Mana muat Abang masuk radio? Ente kagak lihat badan Abang segede gini!” Aku tersenyum geli dengan kata-kataku sendiri. “Maksud saya, Abang masuk berita di radio. Abang masuk berita di BBC!” “Yang benar ente?” “Iya Bang, kalau Abang nggak percaya ayo ikut sama saya!” Kami menuju rumahku. Setibanya disana pembaca berita BBC masih membaca berita mengenai seorang tokoh konserfasi hutan dikawasan karang tengah Lebak bulus Jakarta Selatan. Bang Udin terpana saat namanya disebut sebagai tokoh itu, oleh si pembaca berita BBC. Dalam sekejap radio-radio seluruh warga kampung saling bersahutan hanya satu yang mereka dengar, berita Bang Udin di BBC Londen. Bang Udin tersenyum bangga, “Semoga pemerintah mendengar berita ini. Dan keperdulian mereka terhadap lingkungan semoga tergugah!” Gumamnya dalam hati.

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Oleh Senna Rusli

Guru ngaji pesantren Raudlatul Makfufin (Taman Tunanetra)

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *