Kisah sebuah Nama

Sebulan sudah Abdul dirawat, kabar terakhir yang diterima Radit kondisi Abdul mulai membaik, kelainan pada jantungnya tidak membawa Abdul kedalam situasi yang membahayakan.  

”Mudah-mudahan dia masih bisa daftar kuliah kalau sembuh nanti!” harap Radit dalam hati.

Hanya sesaat pikiran Radit melayang pada sahabatnya, kemudian Radit mulai mengotak-atik link situs yang sedang dibukanya. Screen reader tak hentinya men-transfer tulisan di layar komputernya kedalam bentuk suara.

”Sial, seharusnya kan hari ini!” makinya, sementara jari-jarinya masih sibuk mengetikkan sejumlah digit angka pada keybord. Setengah jam kemudian Radit menyerah pada usaha yang kesekian kali selama hari ini untuk mencari pengumuman hasil SNMPTN yang beberapa waktu lalu diikutinya.

**

Perempuan itu memasuki halaman rumah yang cukup luas. Sekilas matanya melirik pada pot mawar yang berbaris rapih di halaman, ketika melangkah ke teras mata perempuan itu menangkap sosok gadis yang duduk di kursi roda dan menyapanya dengan agak dingin.

”Karina, ngapain kamu di luar?” gadis yang disapa Karina menggerakkan kursi rodanya menghampiri perempuan itu.

”Kak, gi-mana ha-sil-nya?” Gagap gadis itu.

Sang kakak hanya tersenyum tipis seraya melepas sepatunya kemudian menghampiri kursi roda dan mendorongnya memasuki rumah.

”Nanti ku ceritain, udah lama kamu duduk diluar?” ia mengabaikan wajah penasaran adiknya.

”Aku cu-man m-mau ngeliat so-re.” Rengek Karina.

”Lain kali, aku gak mau ngeliat kamu duduk atau ngapain aja di teras, nanti kalau ada yang iseng gimana?”

Karina mengangguk seraya meringis. Mata bundarnya sekilas menatap protes pada sang kakak yang melangkahkan kakinya ke dapur.

Sambil mengamati bayangannya di kaca rak, perempuan itu menuang segelas air dan meneguknya. Setelah perasaanya menjadi ringan, kemudian ia kembali ke ruang tamu menemui adiknya. Perasaan haru juga malu sering menggelayuti nuraninya saat mengamati Karina. Kenyataan bahwa ia harus mengurus gadis yang kini sedang bersenandung kecil diatas kursi rodanya, membuat perempuan itu tersiksa. Tersiksa dengan perkataan sang ibu saat kematian hendak menjemputnya,

”Apapun yang terjadi, kamu harus menjaga adikmu, Ratu! Dia berbeda, ibu harap kamu bisa mengayomi dia meskipun ibu tahu kamu tidak bisa menerimanya.” Ratu mengangguk terisak saat sentuhan terakhir tangan ibu menggenggam lengannya.

Ratu menepuk pundak adiknya yang masih bersenandung riang.

”Aku udah dapat guru bahasa Inggris buat kamu. Besok mulai belajar ya!” wajah Karina merona merah dan senyum lebar tersungging diwajah lugu itu.

”Kakak be-n-n-neran? Gak bo-hong kan?” lirihnya. Ratu mengangguk singkat dan mendorong kursi roda itu ke ruang makan.

Sambil menyuapi adiknya, Ratu menceritakan perjalanannya selama di kampung halaman. Karina menyimak penuh minat dan sesekali menanyakan kabar Nenek dan Kakeknya.

”Ka-rin kepi-ngin ke-temu ne-nek, Ka-kak sih gak nga-jak Ka-rin kema-rin pas pul-lang kam-pung.”

”Kan sebagian udah kakak ceritain waktu sampai disini, lagian kabar nenek baik-baik aja kok!”

Perasaannya kembali bergolak saat mendengar suara lugu adiknya. Kekecewaan yang selama ini berusaha dihindarinya kini kembali memenuhi rongga dadanya ketika melihat sorot lemah mata Karina. Miris rasanya saat mengingat betapa kejamnya ia yang menitipkan adiknya ke tetangga waktu ia pulang kampung beberapa hari lalu. Ketika kembali ke rumah ini, ia bernapas lega melihat adiknya sehat dan menyambutnya girang. Bu Ali, tetangga yang ia titipkan Karina selama ia pulang kampung, menceritakan keseharian Karina selama tinggal di rumahnya.

”Non Karina sudah mau makan banyak sekarang!” senyum merekah di wajah wanita paruh baya itu. Namun senyum Bu Ali membuatnya terpukul, bukan karena jasa Bu Ali yang rela membuang-buang waktunya demi Karina, tetapi Ratu amat miris ketika melihat gadis itu perlahan menggerakkan kursi roda menyongsong kedatangannya.

Kondisi psikologi Karina yang rentan sering merubah perilaku dan sikapnya. Terkadang ia menjelma wanita dewasa seusianya, seringkali ia melamun sendiri sambil memandangi wajah kakaknya, tak jarang Karina berteriak-teriak tak terkendali ketika Ratu sedang mengerjakan tugas kuliah dan buru-buru bangkit menenangkan adiknya. Sulit untuk bertahan dalam keadaan seperti ini, andai Ratu tak ingat pada kalimat terakhir ibu dulu, sering muncul dalam hatinya perasaan untuk menitipkan Karina ke panti asuhan.

Selesai menyuapi Karina, Ratu mendorong kursi roda adiknya menuju kamar. Saat kursi rodanya di dorong, tubuh Karina lebih rileks dan mukanya nampak tenang, pertumbuhan fisik Karina tidak sempurna, tubuh rileks diatas kursi roda itu memang fisik seorang wanita dewasa, tapi kedua kakinya seperti kaki anak lima tahun.

Tiba di kamar Ratu mendorong kursi roda menghadap jendela yang mengantar kehangatan sore.

”Kamu tunggu disini, kakak mau ngambil sesuatu dulu!”

Karina mengawasi kakaknya yang melangkah perlahan sampai hilang dibalik pintu kamarnya. Ia melempar pandang murung ke sebuah figura foto di dekat tempat tidurnya, Karina menatap lekat-lekat wajah oval di foto itu.

”Ib-buuu, ud-dah la-ma i-bu gak nge-dong-ngengin Kar-rina! Kar-rina kang-ngen sam-ma ibu.” Bisik Karina parau.

Ia mengalihkan pandangannya ketika pintu terbuka dan menatap Ratu serta bungkusan yang di bawanya.

”Selamat ulang tahun yang ke dua puluh Karina!” ujar Ratu sambil meletakkan bungkusan itu di pangkuan Karina.

Karina mengamatinya sebentar kemudian ia meraih tangan kakaknya dan mencium tangan itu lama.

”Kak-kak ba-ik sek-kal-li! Kar-riiin sen-naang!” ia mengangkat bungkusan itu kemudian merobek lapisan kertasnya.

”Hanya itu yang kakak bisa kasih ke kamu, janji ya kamu mau belajar bahasa Inggris besok!” bujuk Ratu.

”Kar-rina jan-ji, Kak!”

”Wah, nov-vel da-lam ba-ha-sa Ing-gris!”

Karina menatap tak percaya isi bungkusan yang baru saja dibukanya. Ratu mengelus punggung Karina dengan rasa haru, selama dua puluh tahun baru kali ini Ratu memberi kado ulang tahun untuk Karina. Biarlah gadis ini menikmati kebahagiaan yang selama ini diimpikannya apalagi kebahagiaan itu adalah satu-satunya hal yang bisa di perjuangkannya, belajar bahasa Inggris.

Ratu mengeriling sekilas pada adiknya, setelah meletakkan novel yang dihadiakannya diatas meja, Ratu meninggalkan Karina yang masih terisak.

”Ibu, Ratu ingin mewujudkan cita-cita Ratu. Tapi, apakah Ratu bisa dengan tugas Ratu yang harus ngurus Karin di tengah kesibukkan Ratu ngerjain tugas kuliah, kegiatan Ratu diluar sana.” Ratu menjatuhkan diri di kasur seraya menatap hampa lututnya.

Ia sering membayangkan ketika pulang kuliah dan adiknya menunggu di rumah sambil tersenyum hangat menyambutnya dengan kabar-kabar menarik dari kampusnya. Ia membayangkan adiknya dapat berbicara dengan riang dan lancar,

”Kak, gila ya gue gak sanggup deh ngadepin tugas kayak gini. Emang sih sastra Inggris gak gampang-gampang amat, tapi kalau dosen kaya Pak …” angannya terputus. Sebuah suara kecil dikepalanya membuyarkan lamunan menyenangkan itu.

”Kamu tidak bisa mewujudkan khayalan itu, Ratu. Kalau kamu nekad adikmu pasti tersiksa dengan keadaannya.”!”

Oh tidak, suara lain dikepalanya lebih yakin, lebih kuat, lebih tegas hadir begitu saja mendorong harapan Ratu.

”Apa kamu ragu terhadap guru yang kamu percaya untuk mengajar adikmu? Percayalah Ratu kondisi psikologis adikmu yang lemah bukan berarti adikmu tak mampu berbuat apa-apa!”

Sekilas Ratu mengingat kelahiran Karina dua puluh tahun silam. Seorang bayi perempuan lahir dengan kaki yang hanya memiliki enam jari. Ketika tumbuh, keadaan fisik Karina tidak berkembang baik begitu juga dengan perkembangan psikologisnya. Mulanya orang tua mereka menganggap hal itu sesuatu yang normal, hingga kenyataan pahit harus diterima ketika Karina berusia tiga Tahun. Tidak seperti anak lain seusianya, Karina sulit berjalan bahkan di usianya yang ke lima tahun Karina belum menunjukkan tanda-tanda bisa menggunakan kedua kakinya untuk berjalan.

”Ini cobaan untuk keluarga kita, Bu!” kata ayah mereka mencoba menghibur kesedihan ibu.

Kesal pada diri sendiri karena telah mengingat kenangan pilu, Ratu menghenyakkan dirinya keatas kasur sekilas menatap jam dinding di kamarnya dan terlelap.

**

Radit mengutuk pelan ketika pencariannya tak menunjukkan hasil apapun, dengan hati jengkel Radit mematikan komputer dan melangkah berat menuju kamarnya.

”Apa Dika udah dapat hasil SNMPTN-nya?” tanyanya dalam hati.

”Ah, mungkin dia lebih dulu tahu ketimbang gue!” kembali dia berharap.

Menguap, Radit membaringkan tubuhnya dan tidurnya gelisah dengan mimpi-mimpi buruk yang terus menganggunya. Mimpi ketika dia menerima kabar bahwa ia tak lulus SNMPTN, lalu yang lebih mengejutkan ketika Pak Ali mengonfirmasi bahwa ia tidak lulus ujian, suara Dika dan Abdul terus meledeknya sementara ia terus menangis sambil memegangi papan dengan huruf braille yang bertuliskan tidak lulus.

Radit bangun dengan perasaan cemas. Khawatir mimpi-mimpinya akan terjadi ketika ia membuka pintu kamar. Radit baru saja menguap dan merapihkan tempat tidurnya saat dering handphone-nya berbunyi. Ia melangkah gontai dan menggerutu tentang ketidaksopanan. Radit mengangkat telepon dan suara yang semalam diimpikannya berseru dari sebrang telepon.

”Halo Radit, udah baca pengumuman di web SNMPTN belum?”

”Pengumuman apaan? Kemarin gue buka situsnya gak ada apa-apaan!” Kata Radit berang.

”Coba loe buka sekarang, tapi gue harap jangan kaget ya! Soalnya ini, ehmmmm ..” Dika menahan kalimatnya sesaat.

”Apaan? Loe jangan bikin gue penasaran dong!?” Radit mulai cemas.

Kemudian ia mulai menyalakan komputer dan membuka situs SNMPTN dan mengetikkan sejumlah angka sebagai nomor peserta. Ketika halaman baru terbuka hati Radit mencelos, screenreader hanya membacakan satu kalimat singkat.

”Maaf nama anda tidak kami temukan pada data kami”

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Oleh Senna Rusli

Guru ngaji pesantren Raudlatul Makfufin (Taman Tunanetra)

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *