Konsep Belas Kasihan Versus Pemenuhan Hak

Jakarta – Salah satu stigma terhadap penyandang disabilitas adalah anggapan bahwa mereka orang-orang yang harus dikasihani. Ketika mereka menuntut hak, ada kalanya itu diberikan karena alasan kasihan, bukan faktor bahwa mereka memang memiliki hak. Bukan sesuatu yang salah sesungguhnya, sebab rasa kasihan juga berasal dari hati dan niat yang baik. Akan tetapi, pemenuhan hak yang dibungkus oleh rasa kasihan belaka dapat mengurangi penghormatan pada martabat penyandang disabilitas. Lantas, bagaimana konsep pemenuhan hak yang ideal?

Pemenuhan hak yang dikaburkan oleh rasa belas kasihan kerap terjadi di level atas atau akar rumput. Di tataran pembuatan kebijakan, sering kali legislatif atau eksekutif membuat aturan yang pro pada penyandang disabilitas didasari oleh faktor kasihan. Penyandang disabilitas dianggap orang yang patut dikasihani, oleh karena itu harus dibuat aturan yang mendukung mereka. Dampaknya adalah kebijakan bagi penyandang disabilitas yang bersifat charity bukan pemberdayaan mandiri. Mereka terus dilihat sebagai objek yang harus dikasihani, bukan manusia seutuhnya yang punya hak sama untuk berkembang. Mungkin para pembuat kebijakan lupa bahwa tiap orang berpotensi mengalami disabilitas, bukan hanya dari faktor lahir.

Ada pula kasus yang terjadi di akar rumput terasa sangat lumrah terjadi. Sebagai contoh ketika ada penyandang disabilitas yang masuk ke Bus Trans Jakarta yang penuh sesak. Di dalam bus sudah ada alokasi kursi yang memang ditujukan bagi lansia, anak-anak, ibu hamil, dan penyandang disabilitas. Akan tetapi petugas bus harus menegur terlebih dahulu penumpang yang duduk di kursi tersebut untuk bangkit padahal ia tidak berhak. Kalimat yang kadang keluar adalah karena kasihan, maka penyandang disabilitas tersebut harus dapat tempat duduk.

Konsep pemenuhan hak memang rasanya agak sulit dipahami, terutama di bangsa komunal seperti Indonesia. Hak yang setara bagi tiap orang, perlu dipandang bukan pada perlakuan yang sama, tapi peneuhan hak yang sama meski dengan perlakuan yang berbeda. Apapun kebutuhannya, tiap orang harus memperoleh pemenuhan hak yang sama. Seperti saat seorang tunanetra ingin menonton film di bioskop. Sebagaimana tujuan seseorang ketika datang ke bioskop adalah untuk mengetahui jalannya film secara penuh tanpa kurang. Bagi orang berpenglihatan dan berpendengaran sempurna, materi audio-visual pada film dapat dinikmati sepenuhnya.

Berbeda bagi tunanetra, kehilangan fungsi visual akan mengurangi nilai kepuasan dari menonton film ketika yang didapat hanya sisi audio. Bagi bioskop yang mampu menyediakan fasilitas audio-describer (tambahan narator yang menerangkan ketika adegan tanpa dialog), penonton tunanetra tersebut harus membayar tiket secara penuh karena hak untuk memperoleh nilai kepuasan terpenuhi sama dengan penonton lainnya. Sedangkan di bioskop yang tak menyediakan fasilitas tersebut, seharusnya si tunanetra tidak membayar penuh karena nilai kepuasannya memang berkurang. Kebijakan ini sudah berlaku di beberapa tempat di negara-negara maju seperti Australia. Bahwa hak dan kewajiban tiap orang haruslah sama, tanpa diskriminasi.

Lebih lanjut pada kebijakan alokasi kursi khusus di bus Trans Jakarta. Memberikan kursi kepada penyandang disabilitas meski saat bus sedang penuh sesak janganlah didorong oleh faktor kasihan belaka, melainkan patut dilihat sebagai pemberian hak yang hakiki. Kadang penyandang disabilitas juga kurang memahami hak-haknya, sehingga merasa tidak enak sendiri saat harus menempati kursi khusus dengan “mengusir” orang yang duduk sebelumnya. Padahal keberadaan kursi khusus yang ditempatkan dekat dengan pintu keluar/masuk bus, dimaksudkan sebagai upaya agar nilai kegunaan yang didapatkan oleh penyandang disabilitas setara dengan penumpang lainnya dengan harga tiket yang sama. Mereka yang memiliki fisik sempurna tak akan menemui masalah apabila harus duduk atau berdiri di bagian tengah atau belakang bus jauh dari pintu masuk/keluar. Sedangkan bagi penyandang disabilitas, posisi dekat dengan pintu bus memudahkan untuk naik/turun bus.

Meski demikian, sebetulnya saat ini dengan membayar harga tiket yang sama dengan lainnya belumlah memenuhi hak mereka seutuhnya. Fasilitas pendukung bus Trans Jakarta yang masih belum aksesibel, disadari atau tidak telah menurunkan nilai kegunaan bagi mereka. Hal ini bukan bentuk protes agar dibuat harga khusus bagi penyandang disabilitas, melainkan agar peningkatan fasilitas yang aksesibel segera dilakukan agar semua penumpang memperoleh nilai kegunaan yang setara.

Masih ada contoh-contoh lain persoalan pemenuhan hak yang sudah diterapkan di negara-negara maju yang belum ditemukan di Indonesia. Seperti kebijakan untuk memberikan satu tiket gratis bagi pendamping yang menemani penyandang disabilitas ketika datang ke sebuah seminar atau konser. Karena pihak penyelenggara tidak menyediakan pendamping, apabila penyandang disabilitas membawa sendiri, maka si pendamping dibebaskan biaya karena itu dimaksudkan agar orang yang ditemani dapat mengakses manfaat kegiatan seutuhnya selayaknya pengunjung yang lain.

Beberapa hal di atas diharapkan dapat membuka fikiran kita, penyandang disabilitas atau masyarakat umum mengenai konsep pemenuhan hak yang ideal. Memang untuk menuju ke sana diperlukan rasa empati pada sesama. Akan tetapi sikap iba yang hanya berujung pada belas kasihan, tak menghargai mereka sebagai juga manusia seutuhnya. Apabila kita ada di posisi orang yang dikasihani, tentu hati akan merasa miris. Semoga tulisan ini dapat direnungi bersama.(DPM)

Last Updated on 9 tahun by Redaksi

Oleh Dimas Prasetyo Muharam

Pemimpin redaksi Kartunet.com. Pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang lalu ini hobi menulis dan betah berlama-lama di depan komputer. Lulus dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia 2012, dan pernah merasakan kuliah singkat 3 bulan di Flinders University, Australia pada musim semi 2013. Mengalami disabilitas penglihatan sejak usia 12 tahun, tapi tak merasa jadi tunanetra selama masih ada free wifi dan promo ojek online. Saat ini juga berstatus PNS Peneliti di Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Kunjungi blog pribadinya di www.dimasmuharam.com.

14 komentar

  1. Oh tentu bukan kita yang buatnya. Kita harus mengajak komikus profesional. Komik Braille memang ada. Membuat gambarnya dengan drawing line. Tapi rasanya belum familiar.

  2. Kalau ada dananya kenapa nggak kita buat sinetron/film tentang penyandang disabilitas? Tapi tetap kita yang harus mengarahkan. Banyak film/sinetron yang di dalamnya ada tokoh disabilitas, tapi itu tidak berdasakan penelitian dan tak ada masukan dari kita. Makanya ceritanya asal. Dan tentu saja tidak mendidik. Atau kita buat komik. Biasanya remaja kan suka baca komik. Semakin banyak informasi tentang penyandang disabilitas, maka perubahan akan lebih cepat terwujud.

    1. komik sepertinya media yang paling visible. Tapi tentu bukan kita yang membuatnya. maka dari itu, menurut saya kita perlu untuk mengajak masyarakat umum agar ikut terlibat dengan apa yang kita lakukan. Mungkin awalnya hanyaj adi penonton. Tapi apabila engagement dilakukan secara intentif, lambat laun mereka juga dapat ikut bergerak untuk disabilitas

      1. oiya, ada yg pernah baca komik braille? komik braille keberadaannya cukup familiar di kalangan tunanetra atau gak ya? aku kok baru tau belum lama ini ya

    1. jadi yang perlu diubah bukan hanya persepsi masyarakat umum, tapi juga di kalangan disabilitas sendiri. itu sebabnya tantangan di isu ini cukup tinggi

        1. apalagi di daerah ya. stigma itu masih sebegitu kentalnya. ya cara satu-satunya hanya bisa dilawan dengan informasi. Informasi itu darI MANA? ya dari kita-kita sendiri. Kalo bukan kita, mau siapa lagi? Pejabat biasanya cuma peduli sama disabilitas kalo udah dekat-dekat pemilu. Setelah itu, “sudah lupa tuh”b

          1. betul banget mas. kita harus merubahnya ya. terkadang ada segelintir tunantra yang justru berbuat kurang baik yg pada akhirnya membuat stigma masyarakat makin kental. temenku yg di UNY cerita, dia sering dikira pengemis di Jogja, kayak di bis, di malioboro dan beberapa titik lain….padahal dia pake baju rapi mas, tapi ternyata di jogja sana pengemis tunanetra berpakaian rapi. karena sering dianggap pengemis, akhirnya temenku kalo pergi ke malioboro dan tempat-tempat lain gak pernah nyapa tunet, meskipun dia tabrakan karena dia takut orang awas mengganggap dia adalah kawanan pengemis itu ehehehe.

            1. ya itulah stigma. Stigma jadi bagian dari budaya. Budaya hanya dapat diubah sedikit demi sedikit. Seperti tetesan air di atas batu padas. jalannya lambat, tapi suatu saat juga akan jebol.

  3. Seperti halnya di sekolah/perguruan tinggi. Tunanetra harus membayar sama dengan teman-temannya yang non tunanetra, tapi mereka tidak dapat apa yang mereka butuhkan. Tetap mereka harus berjuang sendiri untuk mendapatkan kebutuhannya. Tapi tunanetra hendaknya jangan menyerah. Kita memang harus tetap berjuang untuk memenuhi hak-hak kita. Tapi kenyataan yang ada harus tetap dihadapi. Jangan sampai misalnya, karena sekolah umum belum bisa menyediakan kebutuhan khusus untuk belajar tunanetra jadi tidak mau bersekolah di sekolah umum dan memilih tetap bersekolah di slb. Inilah yang sekarang sedang terjadi.

    1. Setuju mas. sebaba apa yang dilakukan oleh tunanetra saat ini hakikatnya bukan hanya untuk dirinya saja, tapi juga untuk teman-teman senasib di kemudian hari. Tiap hari harus ada langkah maju meski selangkah

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *