Jakarta – Menyimak kasus perlakuan diskriminatif yang terjadi pada pengguna kursi roda Cucu Saidah oleh maskapai Garuda Indonesia, ada satu hal menarik yang perlu dibahas. Pada kejadian tersebut, Teh Cucu, panggilan akrabnya, merasa didiskriminasi dengan diharuskannya dirinya oleh pihak maskapai untuk menandatangani surat keterangan orang sakit. Namun di samping itu, satu hal yang lebih membuat beliau tersinggung adalah kondisi kursi roda miliknya yang menjadi rusak selepas turun dari pesawat.
Mungkin bagi orang awam atau juga maskapai penerbangan tersebut, kursi roda yang sedikit rusak adalah hal biasa. “Toh hanya kursi roda, berapa sih harganya?”, mungkin itu sekilas yang ada di benak mereka. Bahkan menurut Teh Cucu, kejadian ini sudah pernah terjadi sebelumnya dan pihak maskapai terkesan tidak serius dalam menanganinya
Namun bagi seorang penyandang disabilitas daksa, keberadaan kursi roda teramat penting, bahkan seperti bagian tubuh yang tak terpisahkan. Bayangkan jika Anda bepergian dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kaki. Tak beda seperti itu pula perasaan seorang penyandang disabilitas daksa pada kursi roda yang dimilikinya. Dengan kursi roda itu mereka bisa berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Di atas kursi roda itu mereka belajar, makan, beraktivitas dan membangun cita-cita mereka. Kursi roda itu tak ubahnya seperti kaki yang Anda miliki saat ini. Di atas kaki yang berupa kursi roda tersebut, mereka dapat berdiri dengan mandiri dan memiliki harga diri.
Hal ini serupa dengan ketika Anda belajar berjalan. Pengguna kursi roda pun tidak serta merta dapat ahli menggunakannya ketika baru diperkenalkan. Perlu proses merangkak, tertatih, berjalan, hingga dapat berlari kencang. Mereka pun kurang lebih sama. Ada proses untuk membiasakan diri mengendarai kursi roda, termasuk melatih kekuatan tangan apabila yang digunakan adalah kursi roda manual. Apabila sudah terbiasa, mereka pun dapat berlari dengan kursi roda itu, seperti Anda berlari dengan kaki Anda.
Sayang, masih banyak orang belum berempati akan hal tersebut. Masih banyak yang melihat kursi roda sekedar alat bantu bagi penyandang disabilitas daksa. Ketika membantu seorang pengguna kursi roda untuk menaiki tangga berundak, kadang orang yang membantu kurang tepat memegang bagian dari kursi roda tersebut. Dampaknya dapat menyebabkan rasa takut jatuh, padahal dia berada di kursi roda yang biasa dipakai. Sederhananya, coba rasakan Anda duduk di atas kursi roda, lalu pasrahkan pada orang yang mengangkat-angkat kursi roda Anda bukan pada posisi yang nyaman.
Selain itu, masih ada pula yang menganggap kursi roda seperti barang belaka dan boleh diletakkan di sembarang tempat, sehingga kerap terjadi kerusakan pada kursi roda yang dititipkan kepada petugas pesawat. Karena masih dilihat sebagai barang, mereka tak ambil pusing untuk meletakkan kursi roda di bagasi pesawat. Padahal, kursi roda adalah alat yang amat penting bagi seorang penyandang disabilitas daksa dan seharusnya tak boleh dijauhkan dari penggunanya. Seandainya mereka berpikir bahwa kursi roda itu tak ubahnya kaki bagi penyandang disabilitas daksa, tentu mereka akan berhati-hati dalam menjaganya sebagaimana mereka menjaga kaki mereka sendiri.
Mari lebih menggunakan empati dalam memandang penyandang disabilitas. Seorang tunadaksa dengan kursi rodanya itu bagaikan kaki untuk Anda. Seorang tunanetra dengan tongkat putihnya tak ubahnya mata penuntun jalan untuk Anda. Sedangkan tunarungu dan alat bantu dengarnya tak beda dengan sepasang telinga yang memanjakan Anda dengan indahnya suara dunia. Dengan empati, penyandang disabilitas tak perlu dipandang dengan iba, akan tetapi hargailah mereka seperti Anda menghargai diri sendiri. (DPM)
Editor: Muhammad Yesa Aravena
betul banget mas, walaupun memakai kursi roda mereka juga manusia…