Lagi-lagi karena Ibu

My Motherhoor
My Motherhood

Sendu sekali kutatap wajahmu kala itu. Tanganmu yang selama ini membelai lembut tubuhku, kini sedang meminta memohon. Matamu yang selama ini menghangatkanku, kini sedang berlinang. Mulutmu yang selalu sabar menasehatiku, kini sarat karena berdoa kepada Rabb-mu. Tak henti pengharapanmu sampai disitu, setelah kau usap wajahmu yang basah,beranjaklah kau mengambil Al-Qur’an. Kau bacakan dengan lembut, seakan dengan itu Allah akan mendengar segala jerit hatimu, mengabulkan setiap bait doamu.

Begitulah kini hari-hariku berisi pemandangan syahdu dikala dhuha. Kau selalu bilang,ada namaku di setiap doamu. Lagi-lagi kau yang tak henti mengajariku ini itu. dari mulai cara memegang sendok, berjalan, bertata-krama. Namun,kau tak pernah menuntutku untuk jadi ini itu,satu yang ibu haramkan: kalau aku tumbuh sepertimu. “kalo teteh udah gede kaya ibu, itu namanya kemunduran. Ibu kayak gini berkat pelajaran yang ibu dapet seiring berjalannya waktu,nenek sama kakek gak pernah mengarahkan. Kalo teteh udah kami tuntun, jadi harus jauh lebih baik dari ibu. Itu yang selalu menyesakkan dadaku, bahkan aku belum punya cita-cita yang pasti untuk masa depanku, aku takut mengecewakanmu.

Kau bukan dosen,bukan ustadzah,seperti ibu lainnya. Kau hanya sarjana S1 yang berhenti menjadi guru TK, dan memilih untuk mendidik sendiri anak-anaknya. Namun itulah yang membuatmu istimewa, mengajarkan pada kami apalah artinya materi jika bandingannya adalah ibu yang sejati, yang dengan tangannya lah semua kebutuhan kami tercukupi, seakan tak rela kami tumbuh dengan tangan orang lain. Kau bukan seorang keturunan ningrat,kau hanya ibu rumah tangga yang rela melepas bisnis dengan teman-temanmu,demi mengabdi pada ayah.Dan itulah yang membuatmu sempurna, lagi-lagi kau ajarkan aku menjadi istri yang berbakti.

Pagi itu bercerita tak ada habis-habisnya. Tentang kehidupan keluarga besarmu , tentang masa kecilmu yang penuh dengan tekanan, saat bertemu pertama kali dengan ayah. Hingga kau bercerita tentang cita-cita. Kau yang ingin menjadi ahli ekonomi dan kakek yang memaksa harus menjadi guru. Belakangan ini, kau baru bersyukur bahwa pendidikan guru itu, bukan hanya untuk seorang guru, namun juga seorang ibu. Detik itu aku melihat kau yang sebenarnya. Kau yang ternyata selalu pura-pura kuat. Kau yang ternyata sering menahan sakit. Kau yang ternyata menyimpan harapan besar padaku. Me-nyim-pan ha-ra-pan be-sar pa-da-ku. Aku merasa menjadi orang ter-tidakpeduli sedunia, bahwa mana mungkin orang tua tak menginginkan sesuatu dari anaknya, sekalipun sering kali mereka bilang ‘liat kamu sukses, ibu bahagia, nak’. Namun ada yang lain dari itu. kau ingin aku menjadi penerusmu: menjadi seorang GURU.

Mulailah hari ini aku bercita-cita menjadi guru. Guru tak perlu pengajar formal di sekolah,bukan? Guru adalah yang senantiasa memberi pelajaran dalam kehidupan, sepertimu ibu.

Last Updated on 7 tahun by Redaksi

4 komentar

  1. haikak, selamat datang dant erima kasih sudah ikut partisipasi di Lomba Artikel Inspiratif #Kartunet 2015. Silakan inspirasi ini disebar ya via social media untuk jadi Artikel Terfavorit 🙂

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *