Langit Senja Bagian 17

Aku langsung menjatuhkan diri ke atas trotoar terdekat yang bisa kucapai. Napasku sudah habis setelah badanku dipaksa berlari mengelilingi stadion Manahan sebanyak satu kali untuk pemanasan lalu dilanjutkan dengan lomba lari jarak pendek. Lagi.

“Oksigen mana oksigen?” tanya Ei yang baru aja ikut menjatuhkan diri di sisiku.

“Badan cungkring gitu…” Aku menggantung ucapanku, terengah-engah. “Masak lari gitu aja….”

“Heh, udah. Nggak usah komen. Napas tuh dibenerin dulu!” bentak Ei, sama sekali tidak terlihat kehabisan napas. Dia melepas ikatan rambutnya, merapikannya, lalu mengikatnya lagi.

Aku menurut, mengambil napas panjang-panjang, berusaha menenangkan kerja jantung dan paru-paruku yang sepertinya panik setelah kupaksa berlari tadi.

“Hadeeeeh… Ternyata lebih gampang lari dari kenyataan daripada lari jarak pendek kayak gini,” keluh Tika yang adalah manusia terakhir yang menyelesaikan larinya. Dia terengah-engah, sama parahnya denganku tadi.

Ei melirikku. Aku tahu dia berusaha mengaitkan kata Tika berusan denganku. Terserah. Aku tak peduli. Aku hanya tertawa, lebih milih menanggapi Tika, mengikuti arus, menertawakan kata-katanya barusan.

“Baiklah. Pelajaran hari ini kita tutup dulu. Sampai ketemu minggu depan.”

Murid-murid perempuan yang tadinya berjatuhan di sekitarku mulai berdiri dan meninggalkan tempat olah raga. Hampir semuanya. Aku masih bertahan, bukan karena napasku belum normal tapi karena kedua mataku tidak mau diajak beralih dari rombongan murid laki-laki yang sedang pemanasan tak jauh dari tempatku duduk.

Aku langsung berdiri. Entahlah. Aku sama sekali tidak bisa ngontrol badanku. Ada kekhawatiran super besar waktu aku tidak bisa menemukan Senja di antara mereka. Pikiran buruk langsung bermunculan di kepalaku; ada sesuatu dengan Senja.

Getaran dari saku celana menyadarkanku. Tanpa mengeceknya pun aku udah tahu. Mas Awan. Dia janji menjemputku pagi ini, mengantarku sarapan, lalu kembali mengantarku ke sekolah karena pagi ini dia tidak ada kuliah. Aku akhirnya memalingkan pandangan dari rombongan laki-laki itu, ganti memerhatikan layar ponselku.

Mas Awan: aku di dekat pintu masuk utara.

Aku menekan tombol pengunci layar setelah membalasnya, lalu memasukkan ponsel kembali ke dalam saku celana.

“Senja kenapa ya, Ta? Kok nggak masuk lagi?” Ei ternyata memerhatikan hal yang sama.

“Pulang nggak?” tanyaku, tak mempedulikan pertanyaan Ei.

“Ta, seriusan kamu nggak mau peduli sama Senja?” tanya Ei. Dia belum juga berdiri, hanya mendongak waktu bicara padaku.

“Ei, aku capek bahas ini terus,” kataku. “Kamu mau pulang nggak? Kalau nggak, aku pulang duluan.”

Ei bergeming. Dia hanya diam memandangiku, sama sekali tidak berusaha berdiri atau menyusulku. Ya sudahlah. Aku berbalik tanpa menunggu jawaban dari Ei.

“Bubur ayam?” tanya Mas Awan sambil menyerahkan helm padaku.

“Ayuk,” sambutku.

Warung bubur ayam langganan kami pagi ini tidak terlalu ramai. Mungkin karena memang bukan hari libur. Biasanya kalau hari libur, warung ini penuh sesak.

“Aku udah cariin info bimbelnya. Kamu mau ikut bimbel apa mau les privat di rumah?” tanya Mas Awan setelah memesan makanan. Dia menjatuhkan diri di sisiku.

“Les?” tanyaku.

“Iya. Ayah mau kamu ikut les tambahan.”

“Kenapa nggak bilang sama aku sebelumnya?” tanyaku.

“Kita pernah bahas ini.”

Ah, iya. Kami memang pernah membahasnya. Tapi, kupikir waktu itu hanya obrolan sepintas lalu. Lagipula waktu itu aku juga bilang kalau aku tak ingin les. Mengapa akhirnya menjadi seperti ini?

“Ini buat kebaikan kamu juga. Biar kamu siap ngadepin ujian. Lagian, nilai kamu semester kemaren….”

“Aku laper.” Aku memotong kata-kata Mas Awan dengan cepat. Aku tidak mau mendengar lanjutan kalimat itu.

“Ya udah. Makan dulu aja,” katanya sebelum kemudian membiarkan kami makan dalam diam.

Aku menghela napas, melepaskan kesal, benar-benar tak mengatakan apa-apa. Aku menghabiskan sisa pagiku dengan diam. Mas Awan pasti tahu perasaanku sedang tak enak. Dia membiarkanku diam, tidak mengajakku mengobrol apa-apa bahkan sampai menurunkanku di depan sekolah.

“Nanti siang ayah yang jemput, kan?” tanyanya.

“Iya.”

“Kalau udah sampe rumah, kabarin. I love you.”

Aku mengangguk lalu bergegas berbalik dan bersiap memasuki halaman sekolah.

Lagi-lagi, langkahku terhenti di pintu dan kedua mataku melihat meja pojok depan. Kosong. Meja itu masih saja kosong dan aku masih saja peduli.

“Rekta.”

Aku menghentikan langkah di dekat Eko. “Apa, Ko?” tanyaku, mempertanyakan maksud panggilannya.

Eko tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya menunjukkan selembar kertas kepadaku. Senja. Sakit.

“Sakit?” tanya Ei yang tiba-tiba sudah ada di belakangku, ikut melongok, melihat surat keterangan sakit yang ditunjukkan Eko. “Ya udah. Ntar siang kita jengukin aja.”

Aku tidak berkomentar, memilih untuk diam lalu menyeret langkah ke satu-satunya meja yang pagi ini masih kosong. Dan seharian inipun rasanya juga kosong. Tidak dadaku, tidak otakku, sama saja. Tidak ada pelajaran yang bisa terserap, hanya sekedar lewat saja. Untungnya, entah karena apa, Ei tak terlalu banyak bertanya. Mungkin dia tahu kalau aku sedang tak ingin banyak bicara.

“Jadi mau jengukin Senja?” tanya Eko begitu guru yang mengajar di jam terakhir melangkah keluar kelas.

Baca:  Ferdi Story (15-selesai)

Ei mengangguk ke arah Eko lalu menoleh padaku. “Habis ini mau ke mana?” tanyanya.

“Nggak ke mana-mana,” jawabku.

“Ikut, yuk!” ajaknya.

Aku ingin ikut. Ingin sekali ikut. Tapi mungkin ada baiknya aku tidak ikut. Arik bilang akan jauh lebih baik kalau aku menjauh dari Senja. Jadi sebaiknya aku tidak ikut. Sebaiknya aku benar-benar mulai menghilang saja dari kehidupan dia. Tapi… Tapi aku tak bisa. Aku khawatir setengah mati. Aku ingin tahu keadaannya. Aku harus melihat dengan mata kepalaku sendiri kalau dia baik-baik saja. Ah, bahkan setelah semuanya, aku masih saja tidak bisa untuk tak peduli padanya, masih saja kangen padanya.

“Ta?” Ei mempertanyakan keputusanku.

“Yuk.” Jawaban itu yang akhirnya keluar dari mulutku.

Aku berdiri, mengikuti Eko dan Ei keluar dari kelas. Ei menggandeng tanganku, meremas tanganku di dalam genggamannya. Dia tersenyum sewaktu aku menatapnya. Dengan cepat aku membebaskan tanganku dari genggaman Ei.

“Senja akhir-akhir ini berubah, ya?” kata Ei.

“Jadi pendiam dia,” sambung Eko. “Mungkin lagi ada masalah di rumah.”

Ei melirikku. Aku menghela napas, pura-pura tak melihatnya. Aku juga berpura-pura tak mendengarkan percakapan mereka. Tidak ingin menanggapi.

“Dia nggak pernah cerita apa-apa, Ko?”

“Nggak.”

“Kamu juga nggak nanya?”

“Nggak,” jawab Eko. Pendek, seperlunya, seperti biasa.

Aku naik ke boncengan motor Ei. Gadis itu kemudian melajukan motornya pelan membelah kemacetan jalan depan sekolah. Setiap jam pulang sekolah, jalan ini memang selalu macet.

“Belok situ, Ei,” kataku, menunjuk gang kedua setelah pertigaan. “Itu, yang ada pohon matoa.”

Ei menghentikan motor di depan rumah Senja. Eko menghentikan motor di belakang kami. Pintu depan rumah itu terbuka, seperti saat aku pertama kali kemari dulu.

“Assalamu’alaikum.” Eko berdiri paling depan, paling dekat dengan pintu. Dia tersenyum sewaktu umi keluar dari dalam rumah.

“Eh, Rekta sama teman-teman.” Umi langsung mengenaliku.

“Iya, Tante,” sapaku. Aku buru-buru mendekat dan mencium tangannya. “Ini Dewi sama Eko.” Aku memperkenalkan Ei dan Eko yang juga langsung menyalami Umi.

“Ayo masuk.” Umi mempersilakan kami masuk ke ruang tamu dan ikut duduk bersama kami.

“Senja sakit apa, Tante?” tanya Ei.

“Cuma lagi nggak enak badan. Tapi Senja-nya lagi istirahat,” kata umi. “Kalian mau minum apa?”

“Nggak usah repot-repot, Tante,” jawab Ei cepat.

Umi tertawa. “Nggak repot, kok!” katanya sambil berdiri. “Rekta, bantuin umi sebentar, yuk!”

Semua mata langsung memandangku. Aku pura-pura saja tidak tahu. Aku berdiri, mengikuti umi ke dapur, membantunya menyiapkan minuman.

“Senja akhir-akhir ini sering sakit ya, Tan?” tanyaku.

Umi tersenyum. Dia menyerahkan gelas padaku. “Senja dari kecil memang sering sakit,” katanya. Umi lantas mengeluarkan botol sirup dari dalam kulkas. “Rekta kok lama nggak main ke sini?”

Sepertinya umi belum tahu tentang aku dan Senja. Sikapnya tidak berubah, masih sama seperti waktu aku masih sering datang ke sini dulu.

“Banyak tugas, ya?” tanyanya, menjawab pertanyaannya sendiri, seolah tahu aku tak bisa menjawabnya. Aku menganggukkan kepalaku.

Ah, keadaan ini benar-benar menyiksaku. Aku lebih memilih umi tahu semuanya, marah kepadaku, dan tidak mempersilakan aku masuk. Lebih baik umi mengusirku, memintaku menjauhi Senja. Itu lebih baik daripada seperti ini, membuatku semakin merasa bersalah.

“Arik belum pulang, Tan?” Aku mengaduk air sirup di dalam gelas lalu menempatkannya di baki.

“Itulah. Akhir-akhir ini Arik pulangnya malem terus. Setiap kali sampai di rumah langsung masuk ke dalam kamar. Senjanya sekarang juga suka ngurung di kamar. Umi jadi bingung. Setiap kali umi tanya, pasti mereka bilangnya nggak ada apa-apa. Umi tahu pasti ada apa-apa. Tapi umi nggak bisa melakukan apa-apa.”

Aku menatap umi. Wanita itu tersenyum padaku.

“Bisa nggak umi minta tolong Rekta buat ngomong ke Senja? Mungkin kalau Rekta yang ngomong, dia mau ngejelasin. Umi ini khawatir.” Kedua mata umi mulai berkaca-kaca. “Umi khawatir sama kondisi Senja.”

Aku masih menatapnya.

“Rekta, tolong umi, ya? Tolong bicara sama Senja, ya?”

Inginku, aku bilang tidak. Hak apa yang aku punya untuk berbicara pada Senja sekarang? Tapi tatapan mata umi mengingatkanku pada mamah, sesuatu yang tak akan pernah bisa aku tolak.

“Saya coba ya, Tan?” kataku.

“Makasih ya, Sayang.” Umi mengelus punggungku.

Aku mengangkat baki berisi gelas itu ke ruang tamu. Waktu aku sampai di sana, tempat itu kosong. Ei dan Eko tak ada di sana. Aku meletakkan baki di atas meja ruang tamu. Ada suara Eko dan Senja di dalam kamar. Aku menyusul mereka, mendatangi pintu kamar yang terbuka itu.

Langkahku langsung terhenti di pintu. Kedua mataku tak bisa lepas dari Senja yang sekarang sedang mengobrol sama Eko. Tak bisa lepas dari luka memar yang ada di pelipis dan pipi kirinya. Lalu kepalaku lagi-lagi dipenuhin kata-kata Arik kalau semua ini gara-gara aku. Senja seperti ini gara-gara aku.

“Sini, Ta!” Ei memberiku kode untuk masuk dan duduk di kursi di dekatnya. Pastinya dia bisa membaca reaksiku waktu melihat kondisi Senja barusan.

Aku mendatangi Ei, duduk di sebelahnya.

“Rekta.” Senja tersenyum dengan kedua mata terpejam.

“Hai, Ja.”

Sudah. Hanya sampai di situ. Senja kemudian lebih banyak mengobrol dengan Eko.

“Ngomong-ngomong, itu muka kenapa, Ja?” tanya Ei. “Habis ikut tawuran?”

Senja tertawa. “Iya, Dew. Kan jagoan,” katanya.

“Jagoan kok gitu aja nggak masuk sekolah. Jagoan apaan?” cibir Ei.

Senja tertawa lagi. “Kemaren jatuh,” jawabnya kemudian.

“Ooh. Kirain kamu dipukuli orang,” kata Ei lagi.

Aku langsung menoleh ke arahnya saat Ei mengatakan hal itu karena raut wajah Senja langsung berubah. Aku bisa melihatnya walaupun dia berusaha menutupinya dengan tawa. Tapi Ei cuek-cuek saja. Dia malah menyikutku dan menunjuk ke arah meja belajar Senja.

Aku mengikuti arah yang dia tunjuk dan menemukan kupu-kupu kertas oranye di sana. Kupu-kupu kertas oranye yang aku buat di CFD waktu itu. Senja masih menyimpannya. Aku melirik Ei, dia sedang sibuk dengan ponselnya, menuliskan sesuatu di sana. Tak lama dia menyerahkan ponselnya padaku.

Baca:  Rugald dan Raja Tikus

Kalau kayak gini? Kamu masih mau bilang kalau kamu nggak peduli?

Ponsel itu aku kembalikan ke Ei tanpa aku jawab, membuatnya hanya bisa menghela napas.

“Hari Senin udah masuk, Ja?” tanya Eko.

“Tergantung mood, Ko. Kalau pengen masuk ya masuk.”

“Heh, jangan gila! Udah mau mulai UTS lagi!” kata Ei.

“Kan bisa ikut susulan.” Senja ngeyel. “Besok juga udah masuk, kok,” katanya. “Kalau mood.”

“Terserahlah,” kata Eko. “Yaudah, Ja. Kita pamitan dulu, ya?” Eko menepuk bahu Senja.

“Kok buru-buru, Ko?”

“Ah Senja nih. Nggak ngerti banget. Si Eko kan mau malem Jumatan,” kata Ei.

Eko menggeleng. “Nggak, kok,” jawabnya polos.

“Halah, ngaku aja, Ko,” goda Ei. “Kamu kan mau malem Jumatan sama siapa itu? Bambang?” kata Ei lagi sambil tertawa.

Senja tertawa.

Ei dan Eko salah. Senja tidak berubah. Dia baik-baik saja. Dia akan baik-baik saja.

“Minum dulu.” Umi berdiri di pintu kamar.

“Iya, Tante.” Ei berdiri lalu mendahului kami ke ruang tamu.

Aku ikut berdiri, berjalan di belakang Senja dan Eko ke ruang tamu.

“Ei, ayah nanti mau jemput ke sini. Aku nunggu jemputan aja nggak papa, kan?” laporku pada Ei, membuat alasan untuk tinggal lebih lama di sini.

“Kita duluan nggak papa?” tanya Ei. Aku mengangguk.

Mereka lantas berpamitan dan meninggalkanku setelah menghabiskan minumannya. Senja juga tak berkomentar apa-apa.

“Saya bawa aja, Tan.” Aku mengambil baki berisi gelas kosong yang hampir diangkat umi. Umi mengalah, memberikannya padaku.

Umi mengikutiku ke dapur. “Rekta, maaf Umi udah ngerepotin.”

“Nggak papa, Tante.” Aku meletakkan gelas-gelas itu di tempat cuci piring.

“Udah, ditinggal di situ aja. Nanti aja nyucinya.”

Aku menurut, lalu meninggalkan umi menuju pintu kamar Senja yang dibiarkan terbuka. Senja sedang duduk di atas tempat tidurnya, bersandar ke dinding. Sebuah buku terbuka di pangkuannya.

Jari-jarinya yang sedang menjelajahi huruf-huruf braille itu tiba-tiba berhenti.

“Apa, Rekta?” tanyanya.

Apa sekarang? Aku tidak tahu mau bilang apa. Aku bahkan tidak berani menatapnya. Jadi aku hanya berdiri diam, bersandar di pintu. Dia menungguku mengatakan sesuatu. Aku juga menunggu, menunggu diriku menemukan apapun untuk kukatakan.

Buku yang ada di pangkuannya ditutup. Senja berdiri, berjalan ke rak buku yang ada di depanku. Jarinya meraba huruf braille yang ada di sampul buku-buku itu, mencari sesuatu.

“Gimana kabar kalian?” tanya Senja.

“Baik.” Aku masih bersandar di pintu, tak berani bergerak.

“Umi yang minta kamu ke sini?” tanyanya.

“Iya,” jawabku jujur. “Umi khawatir sama kamu, Ja.”

“Kamu?”

Jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Bukan jawaban itu yang aku harap akan aku dapatkan darinya. Bukan jawaban apapun.

Aku menarik napas panjang, napas terpanjang yang pernah aku ambil.

“Ja…” Aku menggantung kata-kataku.

Otakku kembali berhenti bekerja. Dia sama sekali tak bisa diajak menemukan satu kata, satu kata saja untuk aku ucapkan. Satu kata saja selain namanya.

Dadaku lagi-lagi terasa sakit. Manusia ini, aku benar-benar khawatir padanya. Aku benar-benar kangen padanya. Aku benar-benar ingin selalu bersamanya. Aku benar-benar ingin dia selalu menggenggam lenganku. Aku benar-benar butuh dia untuk membuatku tersenyum, membuat hatiku tersenyum, membuatku tertawa. Aku benar-benar butuh dia.

Senja masih di sana, dengan posisi yang sama dan aku tak bisa lagi menahan semua ini. Tubuhku bergerak dengan cepat mendekatinya tanpa bisa aku kontrol. Yang aku tahu, aku sudah memeluk tubuhnya dari belakang dengan erat.

Tangan Senja yang tadinya ada di susunan buku-buku itu, perlahan bergerak dan menindih tanganku yang melingkar di dadanya. Aku merasakan helaan napasnya. Aku mendengar detak jantungnya. Aku merasakan dia setelah…. rasanya seperti setelah selamanya.

Untuk waktu yang cukup lama, dia tidak mengatakan apa-apa. Tidak juga melakukan apa-apa. Dia hanya diam, menggenggam tanganku yang masih melingkar di tubuhnya.

“Maaf,” bisikku. Aku mulai melepaskan pelukanku perlahan.

Senja berbalik. Dia meletakkan kedua tangannya di pipiku tapi tidak mengatakan apa-apa. Hanya itu. Cukup itu yang dibutuhkan untuk membuat air mataku menetes.

“Maaf, Ja. Aku… aku sayang kamu, Ja,” bisikku. Air mataku mulai menetes satu-satu. “Aku sayang banget sama kamu.”

“Tapi?” Dia melanjutkan ucapanku dengan pertanyaan itu. Jemarinya mulai berusaha menghapusi air mataku yang menetes.

“Aku nggak bisa, Ja,” kataku cepat.

“Terus?” tuntutnya.

“Ja, please. Kamu tahu kamu luar biasa kuat. Kamu jauh lebih kuat dari mas Awan. Kamu pasti bakal nemuin cewek yang lebih baik dari aku.” Aku semakin terisak. “Aku nggak bisa ninggalin mas Awan, Ja. Dia butuh aku,” lanjutku pelan.

Senja menghela napas, melepaskan tangannya. “Kamu bahagia sama dia?”

Aku membisu, diam, menatapnya. Wajah itu begitu dingin, tak ada emosi di sana.

“Kamu bahagia?” Senja mengulangi pertanyaannya.

Aku masih tetap tak bisa menjawabnya.

“Itu nggak penting, Ja,” kataku. Akhirnya.

“Itu penting buat aku, Rekta. Aku pengen kamu bahagia,” katanya. “Ta, kita nggak tau apa besok kita ini masih hidup. Apa kamu nggak pengen sekali aja ngerasain bahagia?”

Aku pernah merasakan bahagia itu. Pernah. Sewaktu aku pertama kali melihatnya, sewaktu dia pertama kali menggenggam tanganku, berjalan bersamaku, tertawa bersamaku. Pernah. Bersama dia yang sekarang berdiri di hadapanku. Dan kurasa, itu sudah lebih dari cukup. Seharusnya sudah lebih dari cukup.

“Kamu inget kamu pernah nanya sama aku apa aku bakal perjuangin kalau cewek yang aku cintai direbut orang?” tanyanya.

“Iya.”

“Ya, aku memang nggak akan perjuangin dia. Nggak akan. Nggak selama dia memang bahagia buat ninggalin aku.” Dia menghela napas. “Tapi kamu nggak bahagia, Ta. Aku nggak rela kalau kamu nggak bahagia. Aku nggak bisa bahagia kalau kamu nggak. Aku nggak bisa tenang kalau kamu nggak bahagia. Makanya waktu itu aku bilang, aku nggak bisa ngelepas kamu kayak gini. Aku nggak bisa ngelepas kamu kalau kamu nggak bahagia.”

“Aku nggak mau egois, Ja,” kataku terisak. “Aku nggak mau aku bahagia tapi aku menyakitin mas Awan.”

Baca:  Kisah Cinta Kakman #1

Senja menghela napas. “Mas Awan itu sebenernya cuma alesan kamu. Kamu itu penakut. Kamu takut memperjuangkan kebahagiaan kamu,” katanya.

Dia bilang aku penakut. Sebagian diriku tidak terima dia mengatakan hal itu. Dia tidak memahami posisiku.

“Aku bukan penakut,” bisikku.

“Lalu apa namanya? Apa namanya orang yang nggak berbuat apa-apa dan membiarkan dirinya tersakiti?” tanyanya. “Ta, ada perbedaan besar antara nggak menjadi egois dan melakukan bunuh diri.”

Kedua tangan Senja memegang pipiku.

“Aku nggak bisa berhenti mikirin kamu selama aku belum bisa bikin kamu bahagia,” katanya. “Tapi aku nggak bisa terus ada di sisi kamu. Kamu harus bisa berjuang sendiri. Siapa lagi yang bakal kamu arepin buat bikin kamu bahagia kalau bukan kamu sendiri?”

Kata-kata itu lagi. Dia mengulangi kata-kata itu lagi. Tapi entah bagaimana, kata-kata itu ternyata masih juga menembus dadaku, menyakitiku, menyakiti bagian diriku yang sudah melakukan begitu banyak kebodohan, yang sudah salah memahami semua kata-katanya dulu.

“Aku bakal lepasin kamu, Rekta. Tapi kamu kudu janji sama aku. Janji kamu bakal bahagia. Biar aku bisa tenang ngelepas kamu. Kamu harus bahagia,” kata Senja. “Janji kamu bakal berjuang buat bahagia.” Dia memejamkan kedua matanya.

Aku tak sanggup mengeluarkan sepatah kata-pun. Aku merasakan tubuhku ditarik masuk ke dalam pelukannya. Dia memelukku erat sekali.

“Janji kamu bakal bahagia,” bisiknya.

***

Getaran dari ponsel yang kusimpan di saku rok membuatku bergegas merogohkan tangan dan mengeluarkan benda itu dari sana.

“Udah sampe rumah?” tanya Mas Awan begitu aku menerima panggilannya.

“Belum,” kataku.

“Ayah belum jemput?” Ada nada kekhawatiran di dalam suara.

“Belum. Ayah jam setengah tiga baru bisa dari rumah sakit.”

“Kamu sama siapa di sekolah?”

“Sendiri,” jawabku. Paling tidak, bukan aku yang mengatakan bahwa aku masih di sekolah.

Ada helaan napas di sana. “Ya udah. Ntar kalau udah nyampe rumah kasih kabar, ya?”

“Iya.”

“I love you.”

Aku menghela napas. “Me, too,” jawabku sebelum mematikan sambungan dan kembali memasukkan ponsel ke dalam saku rok.

Sekali lagi aku mengamati wajahku di cermin. Kedua mataku masih merah sisa tangis barusan, benar-benar tidak bisa disembunyikan. Berulang kali aku membasuh wajah, bekas tangis itu masih saja ada di sana. Ah, ya sudahlah. Mau bagaimana lagi? Aku akhirnya keluar dari kamar mandi.

Umi menyambutku di luar kamar mandi. Beliau tersenyum.

“Maafin Umi ya, Rekta?” katanya. Beliau sudah bersiap memelukku tapi aku berusaha menghindar. Aku tahu, kalau aku membiarkan umi memelukku, sudah pasti tangisku akan pecah lagi. “Ya udah. Umi ngerti, kok,” kata umi sambil tersenyum.

Aku menarik napas panjang sebelum tersenyum lalu melangkah mendahului umi ke ruang tamu. Ponselku kembali bergetar, panggilan dari ayah. Aku memang sempat mengirimkan pesan singkat padanya sewaktu akan ke rumah Senja tadi.

“Ya, Ayah?” sapaku begitu menekan tombol terima.

“Ayah baru mau keluar dari rumah sakit. Rumahnya di sebelah mana? Ayah jemput ke situ aja.”

“Pertigaan dekat sekolah itu ke selatan, nanti pertigaan kedua belok kanan. Rumahnya nomor tiga, kanan jalan.”

“Ya udah. Tunggu di luar ya?”

“Iya.” Aku kemudian mematikan sambungan.

“Sudah dijemput?” Senja berdiri di pintu kamarnya.

“Ayah masih dari rumah sakit. Baru mau ke sini.” Aku memakai jaket, memasukkan ponsel ke sakunya, lalu menggendong ransel. “Aku mau nunggu ayah di teras aja.”

“Ya udah. Aku temenin.” Senja berjalan ke pintu, mendahuluiku, lalu duduk di kursi teras yang paling dekat dengan pintu.

Aku menyusulnya, duduk di kursi kosong sebelahnya, terpisah oleh meja kecil. Yang kami lakukan berikutnya adalah diam. Aku benar-benar sudah tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Rasanya jadi rikuh, aneh. Dia juga hanya diam, tak mengajakku mengobrol, tak mengatakan apa-apa. Sepertinya semua yang perlu kami bicarakan sudah benar-benar kami bicarakan. Semuanya. Sepertinya semua masalah di antara kami benar-benar sudah selesai.

“Rekta?” Senja menoleh padaku, membuatku buru-buru membuang muka. “Jemputanmu?” tanya Senja.

“Eh, iya.” Aku bergegas berdiri. “Aku pulang dulu, Ja,” kataku. Aku melihat ayah melepas helm, lalu berjalan mendatangi kami.

Senja berdiri, tahu ayah mendatangi kami.

“Ayah, ini Senja.” Aku memperkenalkan keduanya.

“Pak,” sapa Senja seraya mengulurkan tangan yang dengan cepat disambut ayah. Aku bisa melihat keterkejutan di wajah ayah waktu beliau tahu Senja tidak bisa melihat.

“Ya.” Hanya itu yang dikatakan ayah sebelum berpaling padaku.

Untuk sesaat, ayah diam memandangiku, ke kedua mataku.

“Pulang?” tanya ayah kemudian.

Untunglah ayah tidak menanyakan apa-apa tentang kedua mataku yang pasti masih merah dan mungkin sudah mulai bengkak.

“Iya.” Aku berpaling pada Senja. “Aku pulang ya, Ja. Tolong pamitin sama umi.”

“Iya.” Senja tersenyum. “Hati-hati.”

Senja masih ada di teras rumahnya saat aku menoleh untuk yang terakhir kalinya. Dia melambaikan tangan begitu mesin motor ayah menyala. Senyumannya adalah hal yang tak bisa untuk tak kulihat. Senyumnya menenangkanku, membuat aku yakin bahwa dia tidak apa-apa dan aku bisa melangkah pergi dengan tenang.

Aku kemudian mengikuti langkah ayah ke motor yang terparkir di luar pagar. Ayah tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya diam. Aku tahu ayah pasti marah karena aku hanya memberikan kabar bahwa akan ke rumah Senja. Hanya itu, bahkan tanpa menunggu persetujuannya. Aku tahu ada yang ingin ayah tanyakan padaku. Tapi, ayah hanya diam. Bahkan sampai ayah menghentikan motor di depan rumah, beliau sama sekali tidak mengatakan apa-apa.

Aku melompat turun dari boncengan ayah, membukakan pintu pagar, lalu mendahuluinya memasuki rumah setelah membuka pintu depan.

“Dek,” panggil ayah.

Aku urung menaiki tangga, menghentikan langkahku di anak tangga pertama dan berbalik ke arahnya.

“Ya, Yah?” tanyaku.

Untuk sesaat, ayah hanya diam menatapku sebelum kemudian kata-kata itu meluncur.

“Ayah udah dapet guru les privat buat kamu. Besok mulai. Pulang sekolah.”

Aku tidak membantah, hanya mengangguk seperti biasanya. Bukannya ini bagus? Paling tidak aku akan memiliki banyak alasan untuk bisa melupakan Senja dan membunuhi waktu.

Bersambung

Bagikan artikel ini
fmahardini
fmahardini

A Pluviophile who writes fictional stories about random things.

Articles: 19

2 Comments

Leave a Reply