Langit Senja Bagian 5

“Eiiii!!” jeritku senang sewaktu melihat gadis itu turun dari motornya.

“Woi, lebaaiiiii,” balasnya. Dia berjalan cepat ke arahku. “Aku dapet gosip. Katanya kemaren ada yang dapet temen semeja baru, ya?” godanya.

Aku meliriknya. “Maksudnya?”

“Terus terus, katanya pulang sekolah ada yang jalan bareng, ya? Waah.. pantesan pagi ini ceria banget.”

Dengan cepat sebelah tanganku bergerak, berusaha mencubit pinggangnya. Tapi gerakan Ei lebih cepat. Dia berhasil menghindar.

“Monyet!” umpatku.

“Ngapain kalian kemaren?”

“Aku kan cuma bantuin dia orientasi doang. Dia minta tolong ya aku bantuin.”

“Orientasi?” tanya Ei heran.

“Iya. Kenapa emang? Kok heran gitu?”

Sesaat Ei terlihat bingung, tapi kemudian dia tersenyum.

“Kenapa? Kasih tau, dong!” kataku. Aku tahu dia tahu sesuatu.

“Ogah.” Ei melangkah cepat meninggalkanku masuk ke dalam kelas.

Ada senyum kemenangan di wajah Ei. Dia meletakkan tasnya di meja kosong tepat di belakang meja Senja. Mampus! Dia sepertinya sengaja melakukan itu. Padahal bangku favorit kami yang ada di belakang masih kosong.

“Monyet!!” umpatku tanpa suara dari pintu kelas.

Ei nyengir. Dia menunjuk-nunjuk Senja yang seperti biasa sedang larut di dunianya sendiri.

Geregetan, aku melangkah mendatangi meja yang dipilih Ei.

“Rekta.”

Langkahku terhenti sebelum sampai di meja. Senja memanggil namaku. Dia tersenyum lalu membuka earphone yang tadi menyumpal telinganya.

“Hai, Ja,” balasku sambil sekuat tenaga menjaga agar bunyi detakan jantungku tidak sampai terdengar keluar.

“Kok Rekta doang yang disapain? Nggak adil, nih!” Ei melirik jahil ke arahku. Manusia ini sepertinya memang benar-benar minta digigit.

Senja tertawa. “Dew.”

“Udah. Nggak usah. Emang cuma Rekta kok yang penting!”

Aku meletakkan tas di meja kosong sebelah Ei. Gadis itu masih mengulum senyum kemenangannya. Menyebalkan.

“PR Biologi-nya udah dikerjain, Ta?” tanya Senja.

“Mulai. Nggak usah diungkit-ungkit napa?”

Ei dan Senja tertawa, menertawakanku, mengulangi insiden kebodohanku minggu lalu.

“Kompak ya kalian? Bagus!”

“Eh, hari ini ekskul dimulai ya katanya?” tanya Ei, tiba-tiba mengubah topik, mengabaikan kemanyunanku.

“Katanya sih gitu. Kamu ikut ekskul apa, Dew?” tanya Senja.

“Nggak ikut. Hehehehe.. Nggak tertarik.”

“Bukannya wajib, ya?” tanyaku.

“Kamu ikut Klub Bahasa Inggris kan, Ja?” Ei tidak menanggapiku lagi.

“Iya.” Senja menjawabnya.

Right. I’m invisible now.

“Tata juga,” balas Ei.

Eh, loh kok aku dibawa-bawa? Aku menoleh pada Ei, menunjuk ujung hidungku sendiri. Dia menjulurkan lidahnya.

“Kamu ikut bahasa Inggris juga, Ta? Nanti sore kan jadwalnya?” tanya Senja.

“Iya,” jawabku.

Aku sudah sangat siap untuk menyembelih makhluk bernama Dewi Purnama sekarang. Sialnya, bel tanda mulai pelajaran berbunyi. Menyebalkan. Padahal aku ingin sekali membantai manusia kerempeng yang sedari tadi terus-menerus tersenyum penuh kemenangan itu.

***

Hari ini adalah hari kedua selama seumur hidupku di sekolah yang aku lewati dengan penuh ketenangan. Maksudnya, aku tidak ribut, tidak sibuk mengobrol ini itu dengan Ei. Bagaimana akan bisa ribut jika mejaku dan meja guru hanya dipisahkan oleh meja Senja. Well, oke. Aku mengaku. Alasan sebenarnya adalah karena seharian ini yang bisa aku lakukan hanya memandangi Senja.

“Ta, kamu mau pulang dulu sebelum ekskul?” tanya Ei. Dia sudah berdiri dan menggendong tasnya.

“Nggak ah, Ei. Nanggung. Satu setengah jam lagi kan ekskulnya mulai.”

“Yowes. Aku pulang, ya?”

Aku menggangguk. “Pulang aja.”

“Ja, Ko, duluan, ya?” Ei kemudian berjalan cepat keluar kelas.

“Iya, Dew,” jawab Eko dan Senja hampir bersamaan. Mereka sudah berdiri, siap keluar kelas.

“Nggak pulang?” tanya Senja. Dia sudah bersiap pergi bersama Eko.

“Nggak ah, Ja. Habis ini cari makan terus nungguin aja sampe jam tiga.”

“Mau makan di mana?”

“Tau. Kalau nggak ada ya makannya ntar aja habis ekskul sekalian.”

“Ke rumahku aja, yuk. Deket kok. Masih sempet buat makan sama istirahat bentar.”

“Iya, Ta. Jam segini kan kantin udah tutup juga.” Eko ikut berkomentar

“Rekta?” panggil Senja.

Hmm, tapi sepertinya tidak ada salahnya juga ke rumah Senja. Lumayan bisa istirahat sebentar.

“Boleh, deh.” Aku berdiri, menggendong tas ranselku lalu melangkah bersama Senja dan Eko.

Tidak ada pembicaraan yang kami lakukan selama berjalan bersama. Eko memang terkenal pendiam, hanya menjawab jika ditanya. Sedangkan aku, aku ini tipe orang yang sering bingung untuk memulai percakapan. Kali ini Senja yang membuatku heran. Dia biasanya bisa memulai percakapan. Tapi kali ini dia juga hanya diam.

“Kamu sama Rekta kan, Ja?” tanya Eko sewaktu kami menghentikan langkah di dekat gerbang sekolah.

“Iya, Ko.” Dia melepaskan genggamannya di lengan kiri Eko. “Makasih, ya?”

“Iya, Ja. Sama-sama. Aku duluan.”

“Yup. Hati-hati, Ko.” Aku mendekati Senja dan memberikan tanganku padanya.

“Kamu cepat belajar, ya?” katanya.

“Makasih,” kataku. “Yuk.”

Dia menggenggam lengan kananku, sama seperti kemarin, dan kami mulai melangkah, menyeberangi jalan depan sekolah lalu berbelok di pertigaan depan sekolah.

“Kamu berapa bersaudara, Rekta?” tanya Senja.

“Anak tunggal.”

Senja lantas bercerita tentang keluarganya. Tentang ayahnya yang pindah tugas ke Solo tahun ini, tentang ibunya yang suka memasak, dan saudara kembarnya yang suka membaca novel fantasi.

“Kamu kembar?” tanyaku.

“Iya.”

“Kok nggak satu sekolah?”

“Nggak. Aku yang nggak mau satu sekolah sama dia. Bosen.”

Aku tertawa mendengar jawabannya. “Siapa namanya?”

“Arik.”

“Arik? Cowok juga?” tanyaku.

“Cewek. Namanya Matahari Jingga.”

“Satu keluarga namanya unik semua, ya?” komentarku. Senja tertawa. “Kalian deket?” tanyaku lagi.

Kepala Senja terangguk. “Yah, standar, lah,” jawabnya. “Kita saling ngebutuhin.”

“Yang di buku bicara kamu itu suara dia?” tebakku.

“Iya. Dia yang paling rajin bacain.”

Aku memandanginya, suka sekali dengan senyumannya. Tapi sampai sekarang aku masih merasa heran. Sebenarnya, apa yang istimewa dari manusia ini? Bagaimana dia bisa menarikku dengan begitu kuatnya?

Baca:  Dongeng Gemericik Suara Hati (22)

“Kita belok kanan di pertigaan depan itu, yang ada gapura merahnya.”

“Eh, iya.”

“Kenapa? Kok kaya kaget?” Senja bertanya sambil mengajakku menyeberang jalan.

“Nggak. Kaget apa?” tanyaku, berbohong.

Senja hanya tersenyum menanggapiku, tak menuntut penjelasan apa-apa lagi.

“Yak, sampailah kita.” Senja menghentikan langkah, melepaskan genggaman tangannya di lenganku.

Aku ikut menghentikan langkah, hanya mematung memandangi Senja membuka pintu pagar. Bagaimana dia bisa tahu kalau kami sudah sampai? Sepanjang perjalanan tadi dia sama sekali tak bertanya kami sampai di mana atau apapun yang kupikir perlu dia ketahui untuk memberi petunjuk kami sampai di mana.

“Kok bengong? Ayo masuk,” ajaknya. Senja sudah ada di halaman rumahnya.

“Iya.” Aku melangkah masuk ke halaman, sesaat menunggunya saat menutup pagar, lalu mengikutinya ke teras.

Rumah itu kecil dengan halaman depan yang juga kecil dan pagar dari tanaman. Tapi sepertinya nyaman sekali, apalagi bagian terasnya yang terlindungi bayangan pohon matoa.

“Masuk?” ajaknya lagi setelah melepaskan sepatu dan meletakkannya ke dalam lemari rak yang ada di teras.

Aku menurut, mengikuti Senja memasuki rumah setelah melepas sepatuku juga.

“Eh sudah pulang….,” sambut seorang wanita yang sedang bekerja dengan mesin jahitnya di ruang tamu. Beliau berdiri, meninggalkan pekerjaannya, menyambutku dan Senja.

“Mi, ini Rekta, teman Senja.”

“Oh, ini yang namanya Rekta? Cantik, ya?” katanya.

Loh, kok begitu sambutannya?

Aku melirik Senja. Dia tersenyum malu. Sepertinya dia juga tidak menyangka ibunya akan mengatakan hal itu.

“Iya, Tante.” Aku menyalaminya dan mencium sebelah tangannya.

“Pokoknya dari kemarin itu Rekta terus yang diceritain.”

“Umi nih, buka rahasia,” protes Senja. “Aku ke kamar bentar, ya?” Dia lalu melangkah masuk ke dalam kamar pertama yang menghadap ke ruang tamu.

Ada raut malu di wajah Senja tadi. Tapi aku suka. Bukannya jika seperti itu artinya dia juga menganggapku istimewa?

“Duduk dulu,” kata Umi. “Ditinggal sebentar, ya?” Umi lantas masuk ke bagian belakang rumah.

Ruang tamu itu, sama dengan rumahnya, tidak terlalu besar. Hanya ada satu set sofa, televisi, dan raknya di salah satu sudut. Lalu di bagian lainnya ada mesin jahit dan sebuah meja yang di atasnya ada peralatan jahit. Sederhana. Tapi ada satu hal yang menarik perhatianku. Salah satu dinding ruangan itu dijadikan kolase yang penuh dengan foto. Ada foto Senja waktu kecil. Dia memakai kacamata tebal sekali. Menggemaskan. Foto-foto itu sepertinya lebih banyak diambil tanpa pemberitahuan. Hampir di semua foto, obyeknya tertawa lepas, atau sedang bercanda.

“Lucu ya fotonya Senja?” tanya umi waktu kembali ke ruang tamu.

“Iya, Tante.” Aku kembali mengamati foto-foto itu.

Umi lantas masuk ke kamar Senja. Tak lama, Umi keluar lagi. “Mau minum apa?” tanyanya.

“Eh, nggak usah repot-repot, Tante,” kataku.

Umi tersenyum, menarik sebelah tanganku.”Nah, biar nggak repot, kamu ikut ke dapur,” katanya.

“Eh?” tanyaku bingung. Tapi aku menurut sewaktu umi menarikku masuk ke bagian rumah lebih dalam, mengajakku ke dapur.

“Kalau mau sirup, air dingin, atau es, ada di kulkas. Gelasnya ada di lemari atas.” Umi menunjuk lemari rak yang ada di kitchen set bagian atas.

Aku tahu sekarang dari mana watak keterbukaan Senja berasal. Umi sama sekali tak terlihat menganggapku orang asing. Umi sangat terbuka menyambutku padahal baru hari ini aku bertemu dengannya.

“Loh, kok malah ngelamun?”

“Saya minum air putih aja, Tante.” Aku melangkah ke arah Umi, meraih gelas dari dalam lemari dan mengisinya dengan air dari dispenser.

“Ya udah. Sekalian bantu umi nyiapin makan siang, ya? Kamu belum makan, kan?” Umi membuka tudung saji yang ada di atas meja makan. “Tolong ambil piring di rak situ, Sayang.” Umi menunjuk rak piring di belakangku.

Aku meneguk habis isi gelasku lalu mengambil tiga buah piring, menyerahkannya pada Umi yang kemudian menyusun piring-piring itu di atas meja makan, mengisi salah satunya dengan nasi. Di atas meja sudah ada sayur bayam, tempe goreng, dan sambal tomat. Masakan sederhana yang menggoda.

Umi kembali ke rak, mengambil mangkok kecil lalu mengisinya dengan sayur bayam dan meletakkannya di dekat piring yang sudah diisinya nasi.

“Rekta, ambil nasi sendiri, ya?”

“Iya, Tante.” Aku mengambil piringku dan mengambil nasi dari magicom yang ada di dekat meja makan, lalu meletakkannya di meja.

“Tunggu dulu, ya? Umi panggilin Senja dulu.” Umi lantas meninggalkanku.

Senja masuk ke ruang makan tak lama kemudian. Dia, tanpa kesulitan, duduk di kursi yang ada di sisiku.

“Sori ya lama.”

“Nggak papa.” Aku meneguk lagi air di gelasku lantas diam menatapnya.

“Kenapa, Rekta?” tanya Senja. Dia menoleh, menatapku.

Aku tersedak, kaget dengan degupan jantungku sendiri yang tiba-tiba menjadi cepat.

“Kamu nggak pa-pa?” Senja terlihat khawatir.

“Nggak pa-pa, Ja,” jawabku sambil terbatuk-batuk.

Aku berbohong. Aku bukan tak apa-apa. Ada begitu banyak pertanyaan yang memenuhi kepalaku sekarang. Sayangnya aku tak punya cukup keberanian dan merasa tidak memiliki cukup hak untuk tahu semua hal yang ingin aku tanyakan itu.

“Kenapa, Rekta? Ada yang pengen kamu tanyain ke aku?”

Apa aku ini benar-benar tipe manusia yang begitu mudah ditebak? Mengapa sepertinya Ei dan Senja selalu bisa melihat isi kepalaku? Atau jangan-jangan dua orang ini memang memiliki kemampuan khusus untuk bisa mendengar pikiran orang.

“Rekta?” Senja tersenyum ke arahku.

“Nggak, Ja.” Aku membersihkan tenggorokanku. “Makan, yuk!” ajakku.

Senja tidak bergerak. Dia masih melihat ke arahku dan tersenyum. “Waktu itu nggak bisa kembali. Jangan nyia-nyiain kesempatan.”

“Maksudnya?”

“Rekta, kamu orangnya selalu setertutup ini?” tanyanya.

Tunggu, dia mengembalikan pertanyaanku padanya hari itu.

“Emangnya aku tertutup? Ngaco!”

“Kamu nggak capek nyimpen semua pertanyaan itu sendiri di dalam kepala kamu? Nggak penuh?”

Sumpah, rasanya seperti tertampar. Pertanyaan itu benar-benar menohokku. Bahkan Ei yang sudah aku kenal sejak hampir empat tahun yang lalu, tidak pernah mempertanyakan hal itu padaku. Tapi, Senja, tanpa terlihat sungkan sama sekali, berani mempertanyakan hal itu?

“Rekta, kita nggak akan pernah tahu apa besok hari kita ini masih ada apa nggak. Kalau semuanya cuma kamu simpen sendiri, ntar jadi hantu penasaran gimana?”

Aku memaksakan sebuah tawa. “Biar. Biar bisa gentayangan gangguin kamu. Udah ah. Laper!”

Senja tersenyum dan mengangkat bahunya. Dia kemudian mulai makan.

“Umi nggak makan, Ja?”

“Umi sudah duluan nemenin bapak tadi sebelum kita pulang. Bapak setiap istirahat makan siang pasti pulang.”

Aku mengangguk-angguk sambil menikmati makan siangku dan menikmati momen ini. Aku sebelumnya belum pernah ingin berlama-lama mengunyah makanan di dalam mulutku. Tapi, sekarang aku tidak ingin terlalu cepat menelan makananku. Aku ingin berlama-lama duduk di sisinya seperti ini, melihat dia seperti ini.

“Ja, jangan lupa besok.” Umi masuk ke ruang makan.

“Iya, Mi. Nggak lupa, kok,” jawab Senja sebelum meneguk isi gelasnya.

Baca:  Ceritaku (4-4)

Aku mengamati umi masuk ke dalam kamar yang ada di dekat ruang makan, lalu keluar lagi dengan sebuah kotak kaleng di tangan. Sepertinya umi merasa sedang aku amati. Beliau menghentikan langkah, melihatku dan tersenyum.

“Rekta, besok kita ada urusan keluarga seharian. Jadi besok Senja nggak masuk sekolah dulu. Nggak papa kan?” Umi meletakkan tangannya di bahuku.

“Lah, kok bilang ke saya, Tan?” tanyaku heran.

“Ya siapa tau besok kalau aku nggak masuk trus kamu kangen.” Senja ikut menimpali.

“Ngimpi!” balasku.

Umi dan Senja tertawa.

“Umi aneh juga ah. Kenapa bilang ke Rekta.” Senja ganti memrotes Uminya.

“Ya nggak pa-pa. Suka-suka umi.” Umi melangkah meninggalkan kami, lalu tak lama suara mesin jahitnya kembali terdengar.

Aku dan Senja hanya saling diam. Aku tidak tahu apa yang harus dibahas. Dia, aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya. Tapi dia hanya diam menghabiskan makan siangnya.

“Umi itu ya umi,” katanya lama kemudian setelah menghabiskan makanannya. “Umi akan mengatakan apa pun pada setiap orang yang dia sukai. Kalau umi sudah bisa cerita ke kamu kayak gitu, berarti umi suka sama kamu, merasa cocok sama kamu.”

Aku yakin wajahku memerah sekarang. Ada rasa senang yang menguasai hatiku sewaktu mendengar kata-kata Senja barusan. Aku menatapnya dan entah mendapat keberanian dari mana, pertanyaan yang selama ini ada di kepalaku akhirnya terucap.

“Ja, aku boleh nanya sesuatu nggak sama kamu?”

“Tanya aja, Rekta.”

Aku membersihkan tenggorokanku. “Kamu… Kamu bener-bener nggak bisa ngeliat?”

“Nggak juga.” Senja memainkan jarinya di bibir gelas. “Kamu pernah liat lewat jendela yang kacanya udah buram, kan? Nah, kayak gitu. Tambahin jendela itu kamu siram pakai cat warna item jadi cuman ada beberapa bagian kecil yang masih bisa dimasukin cahaya soalnya yang lain secara nggak rata ketutup cat item.”

Aku tak bisa mengalihkan pandangan darinya, manusia yang terlihat begitu ringan menjelaskan hal itu padaku.

“Sori, Ja.”

Senja tersenyum. “Nggak pa-pa, Rekta. Santai aja. Kamu bukan orang pertama yang nanya.”

“Kamu pasti udah bosan ya jawabnya?” tanyaku.

“Nggak juga sih. Ini pertama kalinya aku beneran jelasin ke orang. Biasanya aku cuman iyain aja pertanyaan kayak gitu.”

Lalu tak ada yang berbicara lagi. Rikuh. Tapi entah mengapa, tetap saja aku tak bisa berhenti memandangi dia.

“Udah selesai?” tanyaku lumayan lama kemudian. Senja mengangguk. “Aku ambil piringnya, yak?”

“Boleh.” Senja tersenyum. “Banget.”

Aku mengambil piring kosong dari hadapan Senja, menumpuknya dengan piringku, lalu membawanya ke bak cuci piring di dapur.

“Butuh bantuan?” Senja tiba-tiba sudah ada di sebelahku. “Ini biasanya kerjaanku” katanya. “Tapi mumpung ada kamu, ya syukur deh. Lumayan bisa bebas tugas hari ini.”

“Oh, gitu? Pantesan keliatan seneng banget,” kataku sambil membilas piring-piring kotor itu. “Tau gitu tadi nggak aku cuciin.”

Senja tertawa. Dia lalu bercerita tentang masa kecilnya di Sumatra sewaktu dia masih bisa melihat. Tentang asiknya bermain sepak bola di lapangan komplek trans. Tentang cantiknya pemandangan sore hari yang biasa dia lihat setiap kali selesai bermain sepak bola. Tentang langit senja yang dulu tak pernah dia lewatkan. Aku senang, ternyata kami menyukai hal yang sama.

“Kamu lahirnya sore, Ja?” Aku mematikan keran air dan mengeringkan tanganku dengan lap.

“Nggak. Aku lahir pagi, kok.”

“Tapi kok nama kamu Senja?”

Dia tertawa. “Iya, sore. Sama kayak kamu.”

“Kok tau?”

“Rekta Adisty, merah matahari. Matahari merah, matahari sore.”

Detak jantungku kembali tak terkontrol waktu aku menyadari bahwa sepanjang pembicaraan tadi dia menatapku.

“Kamu nyelidikin aku?” tanyaku, mencoba menenangkan diriku sendiri.

“Iya.” Dia menjawabnya dengan polos.

Seperti anak kecil, aku kegirangan mendengar jawaban Senja. Tak peduli walaupun mungkin dia hanya bercanda dengan jawabannya tadi.

Hari ini benar-benar luar biasa. Begitu banyak kejutan, yang membuatku khawatir, membuatku takjub, dan membuatku senang.

“Aku bisa liat kamu berdiri di sini.” Senja tersenyum, menatapku. “Aku seneng bisa liat kamu berdiri di sini, di deketku.” Senja tersenyum menatapku.

Aku membeku, benar-benar membeku. Jantungku semakin cepat berdetak. Napasku semakin habis. Dadaku semakin sesak. Tapi, inginku, waktu tak perlu berlalu. Biar seperti ini dulu, dengan dia menatapku, seolah-olah juga tak ingin melepaskan momen ini.

***

Mas Awan melambaikan tangan sewaktu aku sampai di gerbang. Aku membalas lambaiannya dengan senyumanku. Dengan cepat aku mendatangi mas Awan. “Lama nunggunya?” tanyaku.

Dia tersenyum. “Nggak. Baru dateng, kok. Gimana ekskulnya? ” Dia mengancingkan helm yang baru saja aku pakai.

“Asik. Seru.”

“Capek nggak, Dek?”

“Nggak. Kenapa, Mas?”

“Mampir ke Solo Square bentar, ya? Pengen ke Gramed tar sekalian makan.”

“Oke.” Aku naik ke boncengannya.

Motor yang kami naiki mulai melaju. Aku tersenyum dan menyentuh lengan kananku sewaktu kami melewati pertigaan dekat sekolah, tempat di mana Senja selalu menggenggamnya. Bahkan hanya dengan melihat jalan itu, tempat yang tadi siang kulewati bersamanya itu saja, rasa aneh itu muncul di dadaku. Dan sekarang aku sudah ingin melihatnya lagi.

“Senja ikut ekskul Bahasa Inggris juga?” tanya Mas Awan di atas motor.

“Iya,” jawabku pendek. Sama seperti biasanya, aku tidak terlalu suka Mas Awan membicarakan soal Senja.

Mas Awan tak banyak bertanya lagi. Kami tidak berbicara lagi. Dia, seperti biasanya, sesekali menarik tanganku, mengencangkan tanganku di pinggangnya. Dia membelokkan motor di jalur lambat depan Solo Square yang dijadikan lahan parkir lalu memarkirkan motor di sana.

“Ke Gramed dulu baru makan, ya?” katanya.

“Oke, Bos!” jawabku.

Dia tertawa, menggandeng tanganku masuk ke dalam bangunan mall yang setiap hari selalu ramai itu. Setelah melewati dua kali eskalator, akhirnya kami sampai di toko buku.

“Mas, aku liat-liat novel, ya?” kataku waktu menitipkan tas.

“Oh, ya udah. Aku ke bagian kesehatan, ya?”

Kami berpisah di sini. Dia berjalan cepat ke rak buku-buku kesehatan lalu larut di dalamnya. Aku menuju jajaran novel, berharap sudah ada novel fantasi baru yang keluar sekarang. Terakhir kali kemari, aku tidak menemukan buku baru yang menarik.

“Aduh!” Aku langsung menghentikan langkah dan memegangi hidungku.

“Sori.. sori…” Seorang gadis yang sikunya secara tidak sengaja baru saja mengenai hidungku terlihat panik.

“Iya, nggak pa-pa.” Aku masih mengelus-elus hidungku.

“Ini tadi bukunya rada sulit dicabut, jadi aku tarik kuat-kuat. Aku nggak liat kamu ada di belakang. Sori,” jelasnya panjang lebar.

“Iya, nggak papa. Ya cuma ini…” Aku menggantung kata-kataku.

Dia terlihat khawatir, menungguku menyelesaikan ucapan.

“Hidungku jadi nambah pesek,” kataku sambil menahan tawa.

“Aish.” Dia mendorongku pelan lantas tertawa.

Deg! Bentuk susunan gigi itu, wajah itu, mirip sekali dengan Senja.

“Kenapa? Ada bayam di gigiku?” Dia bingung aku menatapnya.

“Ah, nggak. Nggak pa-pa.”

Kenapa sih semua hal sepertinya mengingatkanku pada Senja?

Baca:  Tunanetra Rawan Bullying

Aku sudah hampir melanjutkan perburuanku sewaktu kedua mataku menangkap anting yang tergantung di kedua telinga gadis itu. Bentuknya matahari.

“Anting kamu lucu,” komentarku tanpa bisa aku tahan.

“Thanks.” Dia tersenyum dan senyuman itu semakin melebar. “Kamu… Rekta?” tebaknya.

“Iya. Kok tau?” tanyaku heran.

“Itu.” Dia menunjuk papan nama yang ada di dadaku.

Aku menundukkan kepala dengan lunglai, merasa bodoh dengan pertanyaanku. Dia tergelak. Lalu tiba-tiba dia mengulurkan tangannya yang pastinya kuterima dengan dengan bingung.

“Arik,” katanya waktu aku menerima uluran tangannya.

Aku langsung ingat namanya. “Sodaranya Senja?”

“Iya,” katanya.

“Senja sering nyeritain kamu,” kataku.

“Masak? Tumben.” Dia tertawa. “Wah, dunia sempit banget, ya? Dia juga sering nyeritain kamu.” Senyuman tak pernah lepas dari wajahnya semenjak tadi.

“Cerita apa dia?” tanyaku.

“Maaf, saya sudah disumpah untuk tidak membocorkan rahasia.” Arik membuat kode menutup mulut.

“Hadeh.” Aku memutar bola mataku, membuat dia tertawa. “Cari buku apa?”

“Liat-liat aja, sih. Tadi habis bimbel, mau pulang masih males. Jadi jalan dulu. Baru pulang juga?”

“Iya. Habis ekskul tadi langsung ke sini.”

“Hoooo.” Arik mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Eh, kok?” tanyaku sambil menunjuk lengan seragam putih abu-abunya yang dipasangi tanda kelas. Ada tiga garis hitam di sana. Artinya dia sekarang kelas dua belas.

Sepertinya Arik paham dengan apa yang sebenarnya ingin kutanyakan. “He em.” Arik tak menatapku waktu menjawab. Kedua matanya terpaku pada sampul sebuah novel yang ada di tangannya. Mungkin karena kemudian tak ada respon dariku, dia mengangkat wajahnya, lalu tersenyum. “Senja pasti belum cerita kalau dia pernah berhenti sekolah dua tahun?” katanya.

Aku menggeleng.

“Ya udah. Gitu. Aku udah bilang.” Arik menarik ujung-ujung bibirnya ke atas lagi. Dia lantas melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. “Udah mau magrib.”

“Kenapa emang?” tanyaku.

“Yah, siap-siap diamuk aja sama Senja.”

“Kenapa diamuk?” tanyaku bingung.

“Tadi nggak bilang mau mampir ke mana-mana soalnya.”

“Dia galak, Rik?”

Arik cengengesan. “Nggak sih. Nggak pernah marah dia. Tapi kalau ngomong, jleb banget.”

Tangan Arik buru-buru merogoh saku celana jins-nya sewaktu terdengar suara lagu Korea yang lumayan ribut dari sana. Dia mengeluarkan ponselnya.

“Baru diomongin,” katanya sambil cengengesan. Dia menunjukkan layar telponnya padaku.

Jelek calling…

“Ya, Ja?” Arik memasang tampang pasrah. “Di toko buku.” Dia diam sebentar. “Iya, sebentar lagi pulang.” Arik menjauhkan telpon dari telinganya dan berpura-pura tak tahan dengan suara Senja.

Aku tertawa melihatnya. Ah, aku jadi ingin mendengar suara Senja juga sekarang.

“Iya.” Arik menghela napas lega dan menutup telponnya. “Tuh, kan?” Dia memasukkan ponselnya ke dalam saku. “Mentang-mentang dia lahir duluan, jadi sering sok tua dia,” katanya sambil tertawa.

“Jadi, mau pulang ini?” tanyaku sambil mengambil sebuah buku bergambar peri.

“Nggak sekarang. Bentar lagi, nanggung.” Dia membolak-balik sebuah novel bersampul ungu. “Yah, tetralogi,” katanya sambil meletakkan buku itu lagi.

Aku melirik buku yang dia lihat tadi. “Aku punya koleksi lengkapnya, Rik. Mau?”

Senyuman lebar langsung kembali tampak di wajah Arik. Dia cepat-cepat mengangguk. “Boleh?” tanyanya.

“Bolehlaah. Tapi kasih tau dulu, Senja suka cerita apa tentang aku?”

Arik memajukan bibir bawahnya. “Hmm, ternyata ada maunya. Nggak usah minjemin deh kalau gitu.”

“Hahahaha.” Aku tertawa. “Becandaaaa. Tenaaang. Aku nggak bakal minta apa-apa soalnya kamu udah disumpah. Kasian kamunya. Besok deh aku titipin Senja.” Aku langsung ingat, tadi umi bilang kalau besok Senja tak bisa masuk sekolah. “Eh, lusa ya? Kan besok kamu ada acara keluarga.”

“Acara keluarga?” Arik bertanya dengan heran.

“Iya, kan? Tadi siang aku sempet ke rumah, ketemu umi. Terus umi bilang kalau besok Senja nggak masuk sekolah soalnya ada acara keluarga.”

“Ini tanggal berapa, sih?” Arik mengecek ponselnya. “Oh, iya. Besok.” Dia manggut-manggut. “Eh, Ta. Kalau sama Senja kudu nyiapin hati yang sabaaaaar banget.”

“Kenapa emang?” Aku mengambil sebuah buku bersampul hitam dan membaca-baca sinopsisnya.

“Yah, dia itu kalau ngomong apa adanya. Apa yang ada di pikiran dia, ya itu yang bakal dia omongin. Kadang kayak nggak dipikirin dulu kalau ngomong. Banyak yang nggak tahan temenan sama dia.”

Aku tertawa, teringat beberapa momen jleb-ku bersamanya. Aku sepakat dengan Arik untuk yang satu ini.

“Udah ngerasain,” kataku.

“Oh, ya? Wah, kamu hebat dong, ya? Masih bisa bertahan temenan sama Senja. Ya moga-moga seterusnya tahan, deh. Moga-moga awet sampe kakek nenek. Aamiin.”

“He?” tanyaku.

Dia kemudian tertawa. “Diaminin dong! Kan jarang ada yang bisa tahan sama cowok nyebelin kayak Senja.”

“Dasar adik durhaka. Kakaknya sendiri diomongin. Tar aku bilangin Senja.”

“Bilangin aja. Emang kenyataannya gitu, kok! Aku udah sering bilang sendiri ke dia. Tapi ya nggak ngefek juga kayaknya.” Dia meraih buku bergambar gadis bersayap dan membaca sinopsisnya.

Aku tertawa lagi.

Buku bergambar gadis bersayap itu dia kembalikan ke tumpukan. Arik berpaling padaku.

“Kayaknya aku kudu pulang deh, Ta,” katanya.

Suara lagu Korea dari dalam saku roknya membuatku urung mempertanyakan alasannya. Aku hanya tersenyum sewaktu dia menunjukkan layar ponselnya dan lagi-lagi ada nama yang sama di sana.

“Sori ya? Aku duluan,” katanya.

Aku mengangguk.

“Maenlah ke rumah. Siapa tahu bisa tukeran buku kita. Bye!” Arik meninggalkanku sambil menerima panggilan telpon itu. “Iya iya. Ini aku pulang. Bawel!”

Aku masih bisa mendengar suaranya dan hanya bisa tertawa melihat gadis itu berjalan dengan kesal ke tempat penitipan tas.

“Dapet bukunya?”

Aku menoleh. Mas Awan tiba-tiba ada di belakangku dengan sebelah tangan menjinjing tas warna hitam yang aku yakin sudah penuh dengan buku.

“Nggak nyari apa-apa, kok. Cuma liat-liat,” jawabku. “Dapet bukunya?” Aku kemudian balik bertanya.

“Dapet. Tapi ada yang nggak ada, sih.” Dia menunjukkan isi tas hitamnya. “Masih mau liat-liat buku?” tanyanya.

Aku menggeleng.

“Ya udah. Makan, yuk! Laper.” Dia menggandeng tanganku ke kasir.

Toko buku ini sepertinya memang tak pernah sepi. Tapi untungnya antrian di kasir tak terlalu panjang. Aku paling malas mengantri panjang.

“Mau makan apa habis ini?” tanya Mas Awan. Dia masih memegangi tanganku sewaktu mengantri di kasir.

“Terserah.”

“Seafood mau nggak?”

“Boleh,” jawabku.

Mas Awan mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kamu itu kok suka banget baca novel fantasi, sih?” tanyanya tiba-tiba.

“Kenapa emang?”

“Ya nggak papa sih. Cuma kan itu fantasi.. fiksi, gitu. Nggak nyata.”

Aku tak mengatakan apa-apa. Aku malas mengomentari ini.

“Baca buku yang bermanfaat dikit gitu. Jangan kayak anak kecil.”

“Iya,” jawabku kemudian. Sama seperti biasanya, malas memperdebatkan sesuatu yang buatku tidak penting. “Mas, aku duluan ke tempat penitipan tas, ya?”

Mas Awan menghela napas. Sepertinya dia tahu aku tidak suka dengan apa yang baru saja kami obrolkan.

“Yaudah sana. ” Dia melepaskan genggamannya.

“Aku tunggu di depan,” pamitku sebelum kemudian meninggalkannya.

Bersambung

Bagikan artikel ini
fmahardini
fmahardini

A Pluviophile who writes fictional stories about random things.

Articles: 8

6 Comments

  1. dari satu sisi, yang dilakukan Rekta sebetulnya bentuk ketidak-setiaan sih. Cuma perselingkuhan yang masih dalam periode halal ini memang ada sensasi tersendiri sih. Biasanya si cewek akan kembali ke pasangan yang definitif-nya, bukan yang berusaha untuk meniup daun.

Leave a Reply