Malam Tanpa Akhir, Kegelapan Abadi Seorang Manusia

Malam memang identik dengan kegelapan yang misterius, dan seringkali dilambangkan sebagai sesuatu yang negatif. Bahkan, sejak awal peradaban manusia sudah tidak terhitung berapa banyak penggunaan lambang ini di dalam legenda, cerita-cerita rakyat, maupun bentuk seni lainnya sebagai periode waktu dimana kejahatan merajalela, baik dalam bentuk fisik maupun nonfisik.

Namun, selain di saat malam hari kegelapan pun bisa saja hadir tanpa pandang bulu; di bawah langit yang cerah, di dalam manisnya sebuah kebahagiaan, atau di dalam relung terdalam hati manusia.

Perlambang itu pulalah yang mengilhami kisah yang baru saja saya baca, berjudul Malam Tanpa Akhir karya novelis legendaris Agatha Christie. Novel ini pertama kali saya baca pada tahun 2008, tepatnya pada tahun ketiga ketunanetraan saya.

Dan, seperti layaknya sebuah foto, video, atau media dokumentasi lainnya novel ini langsung mengambil tempat di ingatan saya sebagai salah satu karya Agatha Christie yang memiliki keunikan tersendiri, berbeda dengan novel-novel karya Agatha yang lainnya.

Karena itulah, di suatu hari pada penghujung tahun 2024 saya kembali tergugah untuk membaca lagi novel tersebut , baik untuk memperbarui kenangan saya sekaligus membandingkan kesan yang saya peroleh dulu dengan sekarang.

Memang, bagi saya karya-karya tulis yang pernah dibaca akan meninggalkan jejak memori yang tidak terlupakan, dan tidak selalu mengenai isi kisahnya. Suasana yang terasa pada saat membaca karya tersebut akan turut teringat, begitu pula dengan orang-orang yang hadir pada saat itu. Tidak terkecuali juga dengan apa yang dipikirkan dan dirasakan.

Maka, tidak heran jika saya menganggap buku sebagai semacam mesin waktu, sehingga pengalaman membaca buku seringkali merupakan kegiatan yang emosional, dimana sebuah kisah bisa saja menimbulkan efek psikologis yang kuat.

Baca:  Refleksi Buku: Guru Sakti Karya Susanto Aji

Hasilnya, saya merasa mendapat kejutan. Banyak warna-warni yang dulu terluput dari perhatian saya, namun kini menampilkan diri dengan jelas, mengisi benak saya dengan konstruksi yang kaya. Memang, waktu yang berlalu selalu membawa perkembangan pada pola pikir seseorang, tidak terkecuali saya.

Kisahnya sendiri dimulai di sebuah desa bernama Kingston Bishop. Ketika itu, seorang pemuda bernama Michael Rogers tidak sengaja membaca papan pengumuman yang mengabarkan bahwa sebuah properti bernama The Towers akan dijual. Didorong keingintahuannya, ia lalu menghadiri pelelangan tersebut, yang tidak dapat dikatakan sukses karena tidak ditemukan pembeli yang cocok.

Sejujurnya, Michael sendiri mempunyai ketertarikan pada properti yang di kalangan penduduk desa populer dengan nama Gypsy’s Acre itu, namun sayangnya ia tidak mungkin membelinya.  Harus diakui, di dalam bidang finansial ia bukanlah seseorang yang sukses, bahkan ia selalu berganti-ganti pekerjaan karena wataknya yang cepat bosan dan selalu ingin berpetualang.

Namun, pada suatu ketika sesuatu yang tidak pernah diduganya pun terjadi, sesuatu yang akan mengubah jalan hidupnya. Ketika itu ia berjalan-jalan di The Towers, yang di balik kesuramannya menyimpan pemandangan yang indah. Di antara pepohonan yang menaungi tempat itu Michael yang akrab dipanggil Mike bertemu seorang gadis yang ternyata memiliki ketertarikan yang sama pada tanah yang sudah lama tidak dihuni itu.

Singkat kata, lama-kelamaan hubungan yang dijalin secara sembunyi-sembunyi itu pun berlanjut kepada pernikahan. Di luar dugaan, istri Mike yang bernama Ellie ternyata seorang miliuner dari Amerika, dan ia pun membeli The Towers, walaupun seorang wanita gipsi tua pernah memperingatkannya untuk tidak mendekati tempat itu.

Dikatakannya bahwa The Towers atau Gypsy’s Acre dulunya adalah tempat tinggal kaum gipsi, yang kemudian terusir dari sana. Ketika itulah mereka mengutuk tempat itu, bahwa siapapun yang tinggal di sana akan mengalami nasib sial.

Sayangnya, peringatan itu kemudian menjadi kenyataan. Dimulai dari teror berupa lemparan batu misterius, yang kemudian berlanjut dengan datangnya ancaman dalam sepucuk surat kaleng, hingga teror beraroma mistik berupa bangkai burung yang ditusuk pisau.  Belum terhitung pula si wanita gipsi yang kerap muncul dan mengulangi peringatannya.

Tak pelak, gangguan yang terus berulang itu pun membuat Ellie lama-kelamaan merasa gelisah, namun ia dan Mike tetap bersikeras tidak mau meninggalkan tempat itu. Namun, keputusan ini berakhir tragis, karena pada suatu hari Ellie ditemukan tewas di suatu tempat di Gypsy’s Acre, dan diperkirakan bahwa kematiannya terjadi akibat jatuh dari kuda. Keterkejutan dan duka pun kontan mengguncang desa, apalagi karena Ellie dan Mike baru saja tinggal di sana. Tak pelak, kisah mengenai kutukan kaum gipsi kembali mengemuka. Namun, Mike yang merasa bahwa Gypsy Acre selalu mengingatkannya pada mendiang istrinya berketetapan hati untuk tetap tinggal di sana.

Baca:  Ultraman, Sang Pahlawan Super Raksasa

Namun, kesialan ternyata tidak berhenti pada kematian Ellie. Sang wanita gipsi yang sebelumnya pergi secara misterius dari pondoknya mendadak ditemukan meninggal di sebuah kawasan pertambangan tidak jauh dari desa. Begitu pula Claudia Hardcastle, wanita yang selama ini berteman baik dengan Ellie. Apakah sebenarnya yang terjadi di balik rentetan kematian ini, dan benarkah bahwa peristiwa itu terjadi karena kutukan yang menghantui Gypsy’s Acre?

Bagi saya, kisah ini memiliki banyak sisi menarik. Hal yang pertama kali saya soroti adalah deskripsi latarnya. Sudah tidak perlu dikatakan lagi, Agatha Christie adalah seorang penulis yang selalu mendeskripsikan setiap unsur dalam kisahnya dengan sangat rinci.

Salah satunya tentu saja adalah latar tempat, dimana saya sebagai pembaca benar-benar merasa seperti diajak berjalan-jalan di Gypsy’s Acre. Gaya penceritaannya pun mengalir dengan manis, menimbulkan berbagai kesan yang lekat dalam ingatan saya.

Meskipun begitu, keistimewaan novel ini tidak hanya terletak pada deskripsi latarnya, melainkan pada penokohan. Terutama adalah karakter Mike Rogers yang cukup unik.

Dan, yang semakin mempertegas keunikan kisah ini adalah sudut pandang yang digunakan penulis, dimana sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang pertama dengan kata ganti “aku”. Penceritanya tidak lain adalah Mike Rogers sendiri, dimana narasi yang digunakan dapat memberitahu dan sekaligus membuat saya bisa membayangkan seperti apa sosok pemuda yang merupakan suami dari korban pertama yang jatuh.

Jujur, sebagai seorang penulis saya merasa kagum dengan narasi ini, dimana Agatha Christie mampu menggambarkan secara rinci apa yang dilakukan, dipikirkan, dan juga dirasakan oleh Mike. Padahal, karakter Mike ini tentulah sangat berbeda dari karakter Agatha sendiri, sebagai imbas dari gendernya yang berbeda.

Selain Mike, tokoh lain yang terkesan unik adalah Ellie. Secara umum, gadis ini adalah tipikal seorang gadis biasa, terlepas dari kekayaannya yang melimpah. Di satu sisi Ellie memiliki semangat untuk memberontak, sebagai imbas dari kehidupannya yang terlalu diatur.

Namun, di sisi lain ia adalah gadis yang baik hati dan pintar, meskipun sifat yang terakhir ini tidak begitu kentara. Keunikannya adalah bahwa ia bersedia untuk mengambil risiko menikah dengan Mike kendati ia tahu bahwa apa yang ada di permukaan tidak sama dengan yang tersembunyi.

Mau tidak mau, tokoh ini membuat saya bertanya-tanya juga. Sudah jelas, ia memiliki keberanian besar. Namun, apa penyebab keberanian itu? Sepertinya bukan sekedar karena cinta.  Mungkin, sedikitnya semangat pemberontakan yang dimiliki Ellie juga mendorongnya mengambil risiko besar dengan menikahi Mike.

Namun, apapun jawabannya, sayang sekali karena hanya Agatha Christie sebagai penulisnya sajalah yang tahu.

Kemudian, ada juga Mrs. Rogers yang merupakan ibu Mike. Terus terang, saya kasihan dengan tokoh ini, dimana ia telah mencurahkan seluruh hidupnya untuk membesarkan Mike yang tentu saja bukan anak yang sesuai harapan. Pasti ia kecewa melihat perilaku Mike, namun itulah keajaiban seorang ibu, dimana ia tetap bersikap penuh perhatian dan tetap berusaha menasihati Mike, kendati ia sendiri tahu bahwa itu tidak akan berpengaruh.

Baca:  Isyarat Mieko, Bicara Hidup Tanpa Suara

Dan, bila membahas tokoh ini, sejujurnya saya sempat merasa heran, terutama pada bagian cerita yang masih terletak relatif awal, yaitu pada saat Mike menemui ibunya. Ketika itu tanggapan sang ibu terkesan datar, bahkan seperti ada nada antipati di dalam interaksi itu. Begitu pula dengan Mike, yang terkesan hanya berbasa-basi saja dengan menemui sang ibu.

Pada mulanya, saya berpikir bahwa kesan itu tercipta karena perbedaan budaya antara saya dan Agatha. Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa budaya Indonesia berbeda dengan Inggris. Namun, seiring berjalannya alur saya mulai memahami karakter Mike, termasuk hubungannya dengan ibunya yang memang kurang baik.

Kemudian, ada juga Rudolf Santanic, arsitek yang membangun Gypsy’s Acre.  Tokoh yang digambarkan tengah sakit parah ini berkarakter cerdas dan idealis. Ia mempunyai cara tersendiri untuk merancang sebuah bangunan, dan tidak peduli dengan protes-protes dari kliennya yang tidak memahami ide sang arsitek.

Dan, pada akhirnya terbuktilah bahwa karya-karya Santanic memang bagus, membuat sang klien yang pada awalnya marah-marah pun mengakui bahwa Santanic lebih mengerti apa sebenarnya yang diinginkan kliennya.

Namun, dalam hubungannya dengan Mike tokoh ini agak misterius dan tidak mudah dipahami, meskipun di akhir cerita saya cukup yakin bahwa peran Rudolf Santanic ini memiliki kemiripan dengan tokoh Mrs. Rogers. Secara tersirat ia sudah berusaha memperingatkan Mike, namun Mike tidak menghiraukannya.

Namun, di samping keunikan-keunikan yang menjadi kekuatan novel yang aslinya berjudul Endless Night ini, tersimpan juga sesuatu yang terasa kurang. Tokoh Claudia Hardcastle terkesan tidak terjelaskan dengan baik, meskipun pada akhirnya hubungan-hubungannya dengan tokoh lain bisa dipahami.

Namun, kemudian saya berpikir bahwa dengan penggunaan sudut pandang orang pertama, pengembangan karakter tokoh lainnya memang menjadi agak terbatas, hanya sepanjang interaksinya dengan tokoh utama saja. Dan bila mempertimbangkan karakter tokoh utama sekaligus pencerita, hal ini tidak mengherankan, karena pada salah satu bagian menjelang akhir cerita Mike memang mengakui bahwa ia tidak suka menulis panjang-panjang.

Jadi, berdasarkan hal-hal itu tidaklah mengherankan bahwa bagi saya Endless Night tidak diragukan lagi adalah referensi yang bagus, kendati pengamatan mengenai karakter-karakter yang berperan di dalamnya tak pelak harus disertai pemahaman mengenai latar budaya dimana para tokoh ini tinggal. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa perbedaan budaya juga akan berpengaruh pada kepribadian suatu tokoh.

 

Subang, 1 Januari 2025

Bagikan artikel ini
Cchrysanova Dewi
Cchrysanova Dewi

Chrysanova Prashelly Dewi adalah alumni Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Subang. Gadis yang mengalami ketunanetraan sejak berusia lima belas tahun ini gemar menulis, membaca, dan mendengarkan musik

Articles: 26

One comment

Leave a Reply