Media dan Eksploitasi Objek Inspirasi

Disadari atau tidak, bangsa ini makin terjerembab dalam jurang kegalauan. Parameternya adalah dengan semakin subur profesi sebagai motivator dan program-program media yang menjual kata “inspirasi”. Dari mulai acara yang secara gamblang mengeksploitasi penderitaan seseorang (biasanya disertai derai tangis) kemudian baru diberikan sumbangan seadanya, hingga program-program dengan rating tinggi yang menghadirkan tamu-tamu inspirasional yang mengundang decak kagum penonton. Beberapa program tersebut tentulah tak perlu disebutkan pada tulisan ini, sebab pasti Anda paling tidak menonton salah satunya.

Biasanya dalam program-program yang dikatakan inspiratif itu, akan didatangkan para narasumber dari berbagai latar belakang. Akan lebih menarik jika mereka punya kekurangan, tapi mampu berprestasi atau berbuat sesuatu bagi orang lain. Tentu efeknya adalah akan menggugah hati orang-orang yang menontonnya dan terlintas kalimat “Jika mereka bisa, mengapa saya yang lebih tidak bisa?”. Ada efek positif bagi pemirsa. Namun, pernahkah difikirkan, adakah dampak yang lebih jangka panjang bagi si narasumber? Atau jangan-jangan mereka hanya jadi “objek” berita sambil lalu?

Satu hal yang biasanya akan diterima oleh narasumber adalah fee sebagai pembicara. Tapi ada pula acara atau yang sifatnya liputan tidak memberi kompensasi untuk waktu yang digunakan. Lalu dampak lainnya adalah  lahirnya “selebritis” baru. Bagi mereka yang dapat memanfaatkan momentum tampil di media, maka dapat memperoleh popularitas personal. Efeknya, dia dapat diundang ke berbagai media atau acara lainnya dan jadi pembicara, atau ada pula yang mendadak bertransformasi jadi motivator. Efek negatifnya, terkadang jadi seleb yang sibuk dengan branding personal, dan meninggalkan komunitas atau masyarakat yang dibangun di belakangnya.

Lebih jauh, media terkadang tak memberikan follow up setelah si narasumber tampil pada programnya. Padahal dengan publisitas yang dilakukan, media dapat berperan untuk mencarikan jejaring atau akses ke pihak-pihak yang dapat mendukung. Bukan hanya menjadikan objek pemberitaan, setelahnya dibiarkan begitu saja. Sekedar menginspirasi orang, tanpa mengajak bergerak untuk mendukung. Karena mereka itu bukan seperti pelaku kriminal yang cukup diambil beritanya tanpa harus bersentuhan. Mereka mau untuk dipublikasi karena ada harapan bahwa media akan membantu apa yang dikerjakan.

Lantas, apa sebetulnya makna “menginspirasi” itu? Kadang inspirasi dimaknai sebagai objek untuk mengambil pelajaran semata. Seperti ketika mengambil sample seorang tunanetra yang di tengah keterbatasannya mau berjuang berjualan kerupuk keliling kampung. Maka perkataan yang sering terucap “dari orang itu, apa yang dapat kita pelajari?”. Cukup sampai di sana, tak ada benefit yang diperoleh bagi sosok yang dijadikan contoh.

Sebaliknya, makna inspirasi yang sesungguhnya adalah ketika merasa terinspirasi, maka katakan “Anda begitu menginspirasi, apa yang dapat saya lakukan untuk mendukung?”. Karena inspirasi datangnya dari hati yang tergugah. Sesuai kodratnya juga manusia sebagai makhluk sosial untuk berbagi dan peduli pada orang yang menginspirasinya. Bukan malah bersikap egois dengan hanya mengambil sesuatu tanpa memberi apa-apa.

Semoga ke depan ada kesadaran dari para produser program “inspiratif” di media elektronik agar tak hanya menempatkan inspirator sebagai objek. Buatlah pula mekanisme bagaimana para tokoh yang dihadirkan juga memperoleh manfaat bagi komunitas atau masyarakat yang dibawa, bukan untuk kepentingan pribadi. Jangan hanya mengejar ratting dengan menghadirkan tokoh yang semakin menderita tapi dapat berbuat sedikit hal, maka akan menguras emosi penonton. Cukup sudah eksploitasi objek inspirasi, karena mereka bukan hewan sirkus yang untuk ditepuki lalu pergi.(DPM)

Last Updated on 8 tahun by Redaksi

Oleh Dimas Prasetyo Muharam

Pemimpin redaksi Kartunet.com. Pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang lalu ini hobi menulis dan betah berlama-lama di depan komputer. Lulus dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia 2012, dan pernah merasakan kuliah singkat 3 bulan di Flinders University, Australia pada musim semi 2013. Mengalami disabilitas penglihatan sejak usia 12 tahun, tapi tak merasa jadi tunanetra selama masih ada free wifi dan promo ojek online. Saat ini juga berstatus PNS Peneliti di Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Kunjungi blog pribadinya di www.dimasmuharam.com.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *