Mendorong Kesukarelawanan dalam Pembangunan Dunia

Kesukarelawanan atau volunterism sejauh ini sering didengar ketika ada kejadian luar biasa seperti bencana alam. Orang-orang yang mau turun ke lapangan untuk membantu para korban bencana biasanya disebut relawan. Mereka bekerja tanpa pamrih dan ikhlas karena memang dorongan hati. Namun, setelah ikut workshop yang diadakan oleh United Nations Volunteer (UNV) di Menara Thamrin, Kamis 4 Juli lalu, makna kata volunteerism ternyata lebih luas. Bahkan kegiatan yang bersifat sukarela tersebut, dapat memegang peranan besar pada pembangunan dunia.

Aku hadir mewakili Kartunet Community untuk workshop dengan tema lengkap yaitu Kesukarelawanan (volunteering) dan Agenda Pembangunan Pasca2015. Workshop diadakan oleh UN Volunteer, satu program di bawah United Nations Development Programs (UNDP). Tujuan diadakannya yaitu menghadirkan lembaga yang dikategorikan sebagai Volunteer Involving Organization (VIO) atau organisasi yang melibatkan relawan untuk menemukan praktik terbaik mengenai kegiatan kesukarelawanan di Indonesia. Ini adalah kegiatan lanjutan setelah sekitar bulan Februari lalu, kami juga diundang dalam konsultasi PBB pada isu ketimpangan atau inequality di Jakarta, dimana topik disabilitas tercakup di dalamnya.

Tema workshop kali ini unik karena memadukan kata volunteering dan pembangunan yang kadang saling berseberangan. Dimana kata volunteering selalu merujuk pada kontribusi secara sukarela, sedangkan pembangunan biasanya terkait dengan proyek pemerintah dengan dana besar. Menurut ibu Wendy Shapiro, wanita asal Amerika Serikat yang juga program officer UN Volunteer, bahwa kesukarelawanan dapat berkontribusi pada agenda pembangunan dunia. Sebab menurut riset, nilai kontribusi volunttering sama besarnya dengan 7 persen dari PDB dunia. Jumlah yang cukup besar karena angka tersebut dapat dialihkan ke sektor lain yang tidak dapat diisi oleh kegiatan volunteering.

Volunteering juga menunjukkan bagaimana keinginan individu untuk berperan dalam pembangunan masyarakat dunia. Pembangunan tak lagi hanya bersifat top down atau dari pemerintah ke rakyat, melainkan aspirasi di bawah juga perlu dijadikan rujukan. Isu ini juga yang sedang trend yaitu digagasnya agenda pembangunan pasca 2015 atau lebih dikenal dengan Post-2015 Development Agenda. Inisiatif ini hadir sebagai koreksi pada Agenda Pembangunan Millenium atau MDGS yang dinilai tidak aspiratif. Saat dibuat tahun 2000, entah siapa yang merumuskan, sudah ada delapan target capaian pembangunan yang dikemas dalam MDGS dan diluncurkan PBB untuk disetujui oleh negara-negara anggotanya. Sedangkan Post-2015 ini menjadi wadah masyarakat dunia untuk ikut merumuskan apa yang ingin dicapai setelah MDGS berakhir pada tahun 2015.

Ada beberapa cara PBB menyerap aspirasi masyarakat dunia. Pertama yaitu dengan membentuk panel tingkat tinggi (high level panel of eminent person) yang diketuai oleh presiden Republik Indonesia, presiden Liberia, dan perdana menteri Inggris. Panel ini dianggotai oleh para tokoh dunia yang punya perhatian pada bidangnya masing-masing. Aku juga ikut terlibat di salah satu meeting sebagai youth delegate ketika meeting panel di Bali akhir Maret lalu. Selain panel tersebut, PBB juga melakukan konsultasi dengan 50 negara terpilih pada isu-isu tematik dimana Indonesia jadi satu di antaranya. Untuk Indonesia, isu yang dibawa dalam konsultasi PBB yaitu kepemudaan (youth), ketimpangan (inequality), lingkungan (environment), dan konflik serta kerentanan (conflict and fragility). Aku pun ikut terlibat dalam proses konsultasi itu pada isu Inequality bulan Februari di Hotel Ciputra, Jakarta.

Melihat perkembangan ini, volunteering dianggap punya peranan besar pada pembangunan pasca2015. Akan lebih efektif jika pembangunan dalam komunitas dilakukan oleh masyarakat itu juga. Menurut pemaknaan volunteering dari UNV, volunteer adalah bagian dari sebuah masyarakat atau komunitas yang dilatih dan memiliki keahlian, kemudian kembali untuk membangun komunitasnya. Peribahasanya yaitu jika kau memberi ikan pada seseorang maka kau memberinya hidup untuk sehari, akan tetapi jika memberikan kail, maka kau memberinya makan seumur hidup. Ini juga yang sebaiknya menjadi inti di gerakan-gerakan sosial. Bahwa perbaikan itu bukan dari outsiders yang hadir bagai pahlawan kesiangan untuk membantu sekelompok masyarakat, tapi membina sebagian dari mereka untuk kelak mampu mengadakan perubahan sosial di lingkungannya.

Ibu Wendy Shapiro juga mengakui bahwa ketika ia datang ke Indonesia, tak ada lagi yang perlu dilakukan dengan volunteerism. Ia harus mengakui di negeri yang masyarakatnya sangat komunal ini banyak hal yang menurut pandangan barat disebut volunteering. Gotong-Royong yang juga menjadi identitas bangsa, jadi sebuah input bagi UNV untuk fokus pada memfasilitasi pertemuan antar kelompok volunteer di Indonesia. Akan tetapi, dari perspektif barat ini pula yang membuat makna volunterism menjadi agak rancu di Indonesia. Selama ini dipahami bahwa volunteering adalah tindakan sukarela tanpa pamrih untuk membantu sesama. Namun dari versi UNV, kegiatan ini memang tidak mendapat upah, tapi berhak untukd dapat kompensasi atas biaya pengeluaran.

Maka, perlu adanya akulturasi antara konsep gotong-royong dan volunterism dari perspektif barat. Sebab volunteering juga tak hanya pada bidang-bidang kecil seperti kerja bakti, melainkan dapat pula diterapkan pada tanggung jawab lebih besar seperti trainer pelatihan. Jangan sampai niat tulus volunteer dicederai oleh unsur materialisme, tapi bukan berarti biaya yang dikeluarkan menjadi beban bagi mereka. Selain itu, juga diperlukan forum untuk duduk bersama berbagai pemangku kepentingan agar kegiatan kesukarelawanan membangun komunitas/masyarakat tidak berbenturan dengan arah kebijakan pemerintah. Hal ini yang terkadang menjadi hambatan ketika tak adanya komunikasi antara kebijakan dan implementasi. Semoga, UN Volunteer dapat memfasilitasi di pertemuan-pertemuan selanjutnya sesuai dengan janji mereka.(DPM)

Attachments:

  1. VIO Workshop Terjemahan
  2. UN-Report_Bahasa

Last Updated on 2 tahun by Redaksi

Oleh Dimas Prasetyo Muharam

Pemimpin redaksi Kartunet.com. Pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang lalu ini hobi menulis dan betah berlama-lama di depan komputer. Lulus dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia 2012, dan pernah merasakan kuliah singkat 3 bulan di Flinders University, Australia pada musim semi 2013. Mengalami disabilitas penglihatan sejak usia 12 tahun, tapi tak merasa jadi tunanetra selama masih ada free wifi dan promo ojek online. Saat ini juga berstatus PNS Peneliti di Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Kunjungi blog pribadinya di www.dimasmuharam.com.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *