Mengakhiri Ketunanetraan yang dapat Dihindari

Jakarta, Kartunet – Tanggal 9 Oktober diperingati sebagai Hari Penglihatan seDunia (World Sight Day). Momentum ini dipelopori oleh Persatuan Tunanetra Dunia (World Blind Union) yang menjadi representasi dari sekitar 285 juta orang tunanetra di seluruh dunia. Di tahun ini, tema Hari Penglihatan seDunia adalah Mengakhiri Ketunanetraan yang Dapat Dihindari.

Sebuah hal yang miris menyadari fakta bahwa mayoritas tunanetra tidak seharusnya menjadi tunanetra atau kehilangan penglihatan. Banyak dari penyakit yang menyebabkan seseorang menjadi tunanetra sesungguhnya dapat dicegah atau dihindari dengan akses pada layanan kesehatan dan gizi yang baik, bahkan hingga angka 80 persen. Pengobatan dengan cara bedah pun dapat membebaskan seseorang dari ketunanetraan khususnya pada mata katarak. Fakta ini yang oleh Persatuan Tunanetra Dunia ingin ditekan dari angka 80 persen menjadi 0 persen.

 

Di negara-negara berkembang seperti Bangladesh, mata katarak sangat umum terjadi di kalangan lansia. Sebetulnya, ketunanetraan yang diakibatkan oleh katarak dapat disembuhkan dengan jalan operasi. Akan tetapi, karena mereka tak punya biaya, maka terpaksa mereka jadi tunanetra hingga tutup usia. Sayang sekali pemerintah tidak menaruh perhatian dalam pencegahan yang lebih sedikit menggunakan anggaran dibanding bantuan yang harus diberikan pada seseorang yang telah menjadi tunanetra. Hal ini juga memperburuk lingkaran setan bahwa disabilitas cenderung membuat orang miskin, dan kemiskinan juga cenderung berakibat seseorang menjadi penyandang disabilitas.

Perbedaan struktur mata normal dan mata dengan katarak

Penyakit lainnya yaitu Trachoma. Trachoma apabila tidak ditangani dengan seksama, maka dapat menyebabkan ketunanetraan. Penyakit ini juga sangat menular dan dapat menyebar dengan cepat di pedesaan. Meski begitu, apabila ditangani pada waktu yang tepat, Trachoma dapat dengan mudah disembuhkan. Lantas dengan obat-obatan yang baik dan lingkungan yang higienis, penyakit ini dapat dicegah, bahkan dapat dienyahkan dari daerah tempat berjangkitnya. Di abad ke-21, tidak seyogyanya ada lagi seseorang yang menjadi tunanetra karena Trachoma. Akan tetapi minimnya akses ke petugas kesehatan yang terlatih, menyebabkan penyakit ini masih marak di beberapa negara benua Afrika dan di masyarakat Aborigin Australia.

Persatuan Tunanetra Dunia menyeru negara untuk melatih lebih banyak petugas kesehatan mata yang dapat mendiagnosa dan merawat berbagai penyakit mata sebelum penyakit-penyakit tersebut merenggut penglihatan dari mata seseorang. Akses pada layanan kesehatan adalah bagian dari hak asasi manusia yang tercantum pada Konvensi PBB Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas pasal 25. Negara harus mengintegrasikan kesehatan mata pada layanan kesehatan umum. Data kesehatan harus dihimpun untuk memantau prevelensi penyakit mata, dan disabilitas juga harus dimasukkan dalam penghimpunan data. Mengidentifikasi dan menghapuskan hambatan sosial dan ekonomi yang dialami oleh warga miskin dan kelompok marginal dalam mendapatkan perawatan kesehatan, juga akan berdampak pada berkurangnya jumlah ketunanetraan yang dapat dihindari.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Tak jauh berbeda dengan negara berkembang lainnya, tingkat pencegahan dan kesejahteraan tunanetra masih rendah. Minim dijumpai adanya penyuluhan kesehatan mata ke daerah-daerah atau program operasi katarak masal yang dilakukan untuk masyarakat miskin. Selain itu, perhatian pemerintah pun untuk para tunanetra dalam sektor lapangan kerja dan pendidikan juga belum optimal. Masih sering dijumpai para tunanetra yang didiskriminasi haknya atas pekerjaan yang layak hanya karena keterbatasan penglihatan.

Untuk itu, momentum Hari Penglihatan seDunia harus jadi pengingat bagi pemerintah, swasta, dan masyarakat agar peduli pada kesehatan mata dan perlindungan hak-hak penyandang disabilitas. Sedapat mungkin, ketunanetraan harus dicegah agar tidak menjadi beban negara, masyarakat, dan keluarga. Akan tetapi saat seseorang tidak dapat terhindar dari ketunanetraan, bukan berarti hidup sudah berakhir. Ia juga dapat tetap produktif dengan dukungan dari berbagai pihak pada aksesibilitas, pendidikan, dan teknologi alat bantu yang memadai. Dengan elemen-elemen tersebut, seorang tunanetra pun dapat mandiri dan berkontribusi untuk masyarakat.(DPM)

Last Updated on 10 bulan by Redaksi

Oleh Dimas Prasetyo Muharam

Pemimpin redaksi Kartunet.com. Pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang lalu ini hobi menulis dan betah berlama-lama di depan komputer. Lulus dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia 2012, dan pernah merasakan kuliah singkat 3 bulan di Flinders University, Australia pada musim semi 2013. Mengalami disabilitas penglihatan sejak usia 12 tahun, tapi tak merasa jadi tunanetra selama masih ada free wifi dan promo ojek online. Saat ini juga berstatus PNS Peneliti di Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Kunjungi blog pribadinya di www.dimasmuharam.com.

1 komentar

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *