Mengekang Anak Tunanetra, Awal Mula Ketidakmandirian

Terakhir diperbaharui 4 tahun oleh Redaksi

Hai pembaca sekalian. Berjumpa lagi dalam tulisan saya. Melihat judul di atas, mungkin pembaca berpikir bahwa saya sudah memiliki pengalaman dalam mengurus anak. Tebakan Anda salah besar! Saya malah sama sekali belum pernah mengurus anak *jangankan mengurus anak, rencana menikah pun belum terpikir, hehehe*.

 

Nah, mengapa saya menulis tulisan ini? Fenomena “anak tunanetra yang dikekang dan akhirnya tidak mandiri” tentunya sangat banyak ditemukan di masyarakat luas. Tulisan ini saya buat berdasarkan pengalaman saya sendiri sebagai anak tunanetra dan cerita dari beberapa orang sahabat.

 

Orang tua pasti ingin yang terbaik buat anaknya. Mereka tidak ingin anaknya mengalami hal yang buruk -terjatuh, terluka, hilang, dan semacamnya-. Apalagi orang tua yang memiliki anak tunanetra, biasanya proteksi yang mereka berikan jauh lebih ketat dibandingkan orang tua yang memiliki anak dengan kemampuan penglihatan normal.

 

Namun, proteksi yang diberikan orang tua tidak selamanya berdampak positif terhadap anak tunanetra. Orang tua yang terlalu membatasi ruang gerak anak akan membuat anak tersebut kurang percaya diri, dan berujung pada ketidakmandirian.

 

Hal seperti ini pernah saya rasakan sendiri. Sedikit cerita, saya baru bisa naik angkutan umum sendirian ketika saya SMP, itu pun dengan jarak tidak terlalu jauh dari rumah. Padahal, teman-teman tunanetra seusia saya saat itu yang tinggal di asrama sudah mampu naik angkutan umum sampai ke luar kota.

 

Sebetulnya, sampai sekarang pun orang tua saya masih belum terlalu mengizinkan saya untuk naik angkutan umum sendirian. Alasannya sangat klasik, “Nanti kamu nyasar,” “Nanti kamu gak tau jalan pulang,” dan semacamnya.

 

Bagaimana solusinya? Modalnya hanya satu: nekat. Saya tidak pernah naik angkutan umum dari rumah. Biasanya, jika ingin jalan-jalan sendirian, saya memulainya dari kampus. Dengan alasan mengerjakan tugas atau alasan-alasan lain yang masuk akal, saya diantarkan ke kampus oleh orang tua saya, dan dari situlah saya memulai petualangan sendirian.

 

Memang, dalam kasus ini saya melakukan sebuah kesalahan, yaitu berbohong. Namun, jika tidak demikian, saya tidak akan bisa mandiri. Orang tua memang bermaksud baik dengan cara memproteksi anaknya, namun terkadang anak pun harus berani “membobol” proteksi tersebut karena tidak selamanya anak hidup di bawah ketiak orang tua.

 

Cerita di atas belum seberapa jika dibandingkan dengan cerita berikut ini. Saya memiliki seorang adik kelas tunanetra (sebut saja X). Suatu ketika, teman saya (sebut saja Y) bercerita kepada saya, “Ry, X pernah cerita ke gue, katanya dia baru raba bentuk tiang listrik pas dia SMA.”

 

Tentu saja saya sangat terkejut. Seorang anak tunanetra baru mengenal bentuk tiang listrik, sebuah benda yang banyak bertebaran di seluruh Indonesia ketika dia SMA. Saya berpikir, proteksi seperti apa yang dilakukan orang tua anak tersebut sehingga anaknya bahkan tidak mengenal bentuk tiang listrik sebelum dia SMA?

 

Masih banyak contoh kasus lain yang senada bahkan lebih parah dibandingkan kasus-kasus di atas. Intinya, boleh saja orang tua memberikan proteksi terhadap anaknya -apalagi anak tersebut adalah tunanetra-, namun jangan sampai proteksi tersebut membuat anak menjadi tidak mandiri, bahkan tidak tahu apa-apa tentang sesuatu yang ada di sekitarnya.

 

NB: Maaf jika bahasa tulisan saya kali ini agak kacau, karena saya menulis tulisan ini agak terburu-buru, hehehe 🙂

Oleh Fakhry Muhammad Rosa

Fakhry Muhammad Rosa, seorang tunanetra kelahiran Pontianak, 31 Mei 1994. Alumni jurusan Sastra Jerman, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Aktif menjadi pengurus di ITCFB (IT Center For The Blind) sebagai penulis artikel teknologi (silahkan baca di http://www.itcfb.org). Aktif bermusik sebagai drummer di Mitra Netra Band dan bassist di Remikustik.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *