Menjaga Fokus Alur Cerita

Sebelumnya kita telah membahas tentang bagaimana membuka sebuah cerpen, di mana cerpen dibuka pada titik tokoh utama dengan konfliknya. Cerita dibuka langsung pada konflik, sehingga pembaca cepat larut dalam arus cerita yang kita buat. Membuat cerpen sama halnya dengan kita sedang “menceritakan sesuatu.” Sebagai contoh, misalnya kita menceritakan sebuah kecelakaan yang kita lihat sebelumnya, kepada orang lain yang tidak melihat kejadian itu, kita akan membukanya dengan kalimat: “Eh, barusan ada kecelakaan!” Kalimat yang langsung pada pokok utama konflik cerita. Bukan dengan kalimat semacam ini: “Di jalan raya Lebakbulus, yang terletak di Jakarta Selatan, kira-kira satu kilometer dari terminal, pada pagi hari yang cerah ini telah terjadi kecelakaan.”

Gebrakan awal sebuah cerpen harus berupa informasi yang menarik, meneror, dan “langsung pada konflik.” Baru setelah itu, secara natural, satu demi satu informasi pendukung diceritakan. Bayangkan, saat kita memberitahu orang lain, “Ada kecelakaan!” Maka, secara logika, pertanyaan yang muncul adalah: “Dimana?” Saat itu, baru kita munculkan informasi: “Di jalan raya Lebakbulus.”

Penulis cerpen harus cermat memilih informasi yang mana yang akan ditampilkan lebih dulu, dan bagaimana supaya informasi itu bisa muncul secara natural. Sering terjadi, penulis pemula membanjiri paragraf awal dengan informasi-informasi yang tidak perlu. Padahal, informasi-informasi tersebut bisa diselip-selipkan dengan natural di sela dialog tokoh berikutnya.

Biarkan paragraf pertama menjalankan fungsinya sebagai sebuah etalase cerpen yang menarik, mengundang orang untuk masuk lebih dalam. Jangan dijejali dengan informasi-informasi yang tidak perlu. Bahkan, kalaupun sebuah informasi “perlu” disampaikan, belum tentu informasi itu “perlu disampaikan di paragraf pertama.”

Kemampuan penulis memilih bagian yang diperlukan dan yang tidak diperlukan ini membuat sebuah cerita memiliki FOKUS. Ini yang sering dilupakan oleh penulis pemula. Keinginan untuk “menyampaikan segalanya” dan memberikan informasi yang dia tahu itu sebanyak-banyaknya, membuat cerita kehilangan fokus.

Last Updated on 6 tahun by Redaksi

Oleh Sakti Wibowo

Pegiat di FLP dan penulis buku Tanah Retak

1 komentar

  1. benar sekali, keinginan ingin menyampaikan segalanya ini memang seringkali menghilangkan fokus bagi sebagian besar penulis (termasuk saya) 🙂

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *