Menolak Diskriminasi pada Penyandang Disabilitas di SNMPTN 2014

Pendidikan jadi alat modern untuk menarik derajat seseorang di dalam masyarakat. Pendidikan pula yang mendorong para kaum terpelajar bangsa ini menjadi penggerak kemerdekaan. Namun, apa jadinya ketika pendidikan yang seharusnya jadi hak tiap anak bangsa dibatasi karena perbedaan fisik dan mental? Ini bukan rekaan, karena diskriminasi ini sedang terjadi oleh perguruan tinggi kepada para penyandang disabilitas melalui mekanisme Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Terkuaknya perlakuan diskriminatif ini bermula dari pantauan komunitas disabilitas pada situs resmi SNMPTN 2014 yang beralamat di http://www.snmptn.ac.id. Pada bagian daftar perguruan tinggi beserta jurusannya, tertera beberapa opsi persyaratan yang mungkin dikenakan untuk calon mahasiswa yang mendaftar. Ada 7 kode persyaratan, dan sebuah jurusan ada yang menetapkan satu atau lebih kode, atau tidak sama sekali. Keterangan kode persyaratan tersebut yaitu:

  1. Tidak tunanetra
  2. Tidak tunarungu
  3. Tidak tunawicara
  4. Tidak tunadaksa
  5. Tidak buta warna keseluruhan, boleh buta warna sebagian
  6. Tidak buta warna keseluruhan maupun sebagian
  7. Lihat persyaratan khusus di website PTN

Ada kemungkinan, satu atau lebih persyaratan di atas dimaksudkan oleh pihak perguruan tinggi untuk menghindari adanya hambatan teknis bagi mahasiswa disabilitas selama mengikuti perkuliahan. Misal pada jurusan yang membutuhkan banyak kemampuan visual, maka ada persyaratan kode 1 yaitu tidak tunanetra. Biasanya persyaratan banyak ditemukan pada jurusan-jurusan rumpun ilmu alam. Ambil contoh di Universitas Indonesia. Pada jurusan Arsitektur, ada persyaratan kode 1, 2, dan 5. Begitu pula untuk jurusan Pendidikan Dokter, ada persyaratan kode 1, 2,3, 4, dan 6. Akan tetapi tidak semua jurusan rumpun IPA menggunakan persyaratan tersebut. Pada jurusan Ilmu Gizi dan Ilmu Kesehatan Masyarakat, keduanya tak membatasi penyandang disabilitas menjadi mahasiswanya.

Sebaliknya pada jurusan-jurusan rumpun ilmu sosial, pada umumnya tidak mengenakan persyaratan disabilitas. Seperti pada 32 jurusan berbasis IPS di Universitas Indonesia yang ditawarkan pada SNMPTN 2014, hanya jurusan Ilmu Psikologi yang menetapkan persyaratan kode 1, 2, dan 3. Bahkan di Universitas Airlangga, pada 17 jurusan berbasis IPS tersebut tak ada persyaratan disabilitas sama sekali, termasuk untuk jurusan Ilmu Psikologi.

Namun yang jadi masalah adalah saat ada beberapa jurusan yang sejauh ini biasa menerima penyandang disabilitas sebagaimahasiswanya, ternyata di aturan resmi SNMPTN membatasi penyandang disabilitas tertentu. Mari ambil dua contoh yaitu Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang sudah banyak menerima dan meluluskan sarjana dari penyandang disabilitas. Pada jurusan pendidikan bahasa, seperti Indonesia, Inggris, Jerman, Jepang, Arab, atau Perancis di UNJ, ada persyaratan kode 1, 2, dan 3 yang artinya calon mahasiswa tidak boleh tunanetra, tunarungu, atau tunawicara. Padahal dalam fakultas yang sama UNJ memiliki jurusan Pendidikan Luar Biasa yang seyogyanya membuat PTN di daerah Rawamangun tersebut lebih paham mengenai potensi dan kemampuan penyandang disabilitas.

Tak jauh berbeda, UPI yang berlokasi di Bandung pun memiliki aturan yang cukup ganjil. Pada jurusan-jurusan seperti Bahasa dan sastra Indonesia, Bahasa dan Sastra Inggris, serta Bimbingan Konseling, mereka menetapkan persyaratan kode 1, 2, 3, 4, dan 6. Sama halnya dengan jurusan pendidikan bahasa, ada persyaratan kode 1, 2, 3, dan 4. Fakta terbesar yang membuat kebijakan tersebut sangat aneh yaitu sudah banyak lulusan dari beberapa jurusan tersebut yang mereka adalah penyandang disabilitas.

Sesungguhnya, persyaratan-persyaratan tersebut sudah ada sejak beberapa tahun yang lalu. Sejauh ini, berdasar pengalaman pribadi penulis dan juga sesama teman disabilitas, persyaratan yang ada di website atau buku panduan SNMPTN (dulunya PMDK) atau SBMPTN (dulunya Sipenmaru, UMPTN, dan SPMB) tidak terlalu dipatuhi. Penyandang disabilitas yang ingin masuk PTN tetap mengikuti sistem nasional atau lokal universitas yang berlaku. Dengan kata lain, kami bersaing dengan calon mahasiswa lain pada umumnya. Saat mengisi formulir pendaftaran, pilihan jurusan rata-rata diputuskan menimbang kemampuan, peluang atau rasio peminat, serta kemudahan saat nanti mengikuti kuliah. Pada tunanetra misalnya, tak akan berfikir untuk mengambil jurusan Teknik Kimia atau Kedokteran Gigi yang rasanya agak sulit selama perkuliahan. Sebab masih tersedia jurusan lain yang sekiranya tak menyulitkan dan tetap dapat dijadikan tumpuan  menempuh masa depan.

Selain itu, apabila sudah lolos seleksi jalur test tertulis atau non-tertulis (seperti PMDK atau SNMPTN), tak ada hak bagi PTN untuk membatalkan keikutsertaan mahasiswa disabilitas pada jurusan yang dipilihnya. Mereka yang telah lolos dari seleksi nasional adalah aset-aset bangsa yang terpilih dari sekian ratus ribu peserta lainnya. Tak logis apabila orang-orang terpilih itu malah dihambat untuk meneruskan cita-citanya, hanya karena soal disabilitas yang tentu dapat dicari solusinya. Biasanya, konsolidasi akan dilakukan oleh para dosen bersama mahasiswa disabilitas bersangkutan untuk menentukan cara ajar yang terbaik dan fasilitas apa saja yang diperlukan untuk menunjang proses belajar mengajar.

Namun demikian, diskriminasi dalam bentuk apapun, apalagi di ranah pendidikan, haruslah dihapuskan. Memang ada alasan-alasan demi menghindari permasalahan teknis selama perkuliahan, akan tetapi hal tersebut dapat memberikan presedne buruk pada upaya mewujudkan masyarakt inklusif. Tanpa dibuatkan hambatan seperti itu sekalipun, calon mahasiswa disabilitas akan memperhitungkan kemampuan diri, minat, serta perkiraan apakah dia mampu belajar secara optimal danm engaplikasikan ilmunya kelak. Bukan eranya lagi menggunakan kebijakan top down yang sepihak yaitu dengan mengarahkan penyandang disabilitas pada hal tertentu di luar  kehendak orang yang bersangkutan. Bukan mustahil, suatu saat nanti ada seorang tunanetra yang benar-benar berbakat di bidang matematika dan mampu menemukan solusi pada keterbatasannya. Seyogyanya, pendidikan tidaklah menutup kemungkinan-kemungkinan tersebut yang menghambat hak seseorang untuk berkembang.

Lebih jauh, ada pula hal-hal lain yang tak kalah penting yang harus berjalan seiring dengan penghapusan aturan diskriminatif tersebut. Yaitu bagaimana jurusan-jurusan yang telah terbuka mampu dimanfaatkan secara optimal oleh penyandang disabilitas beserta sistem yang mendukungnya. Sebab kewajiban dari institusi pendidikan bukan hanya memberikan akses, melainkan pula dukungan agar proses penyerapan ilmu maksimal, dan setelah lulus dapat diaplikasikan dengan baik.

Satu PTN yang dapat dijadikan contoh yakni Universitas Brawijaya di Malang. Adanya Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) membuat akses yang telah dibuat dengan memberikan quota bagi calon mahasiswa disabilitas sekaligus fasilitas pendukung kuliah. Jangan sampai mereka yang memilih masuk jurusan yang secara aturan terbuka bagi penyandang disabilitas jadi korban karena staf pengajar merasa belum siap. Perlu adanya dukungan dari pihak kampus berupa aksesibilitas atau fasilitas belajar.

Selain itu, tak kalah penting untuk advokasi agar terjadi sinkronisasi antara output pendidikan dengan dunia kerja. Pada seleksi CPNS misalnya, perlu dihapuskan aturan yang membatasi jumlah penyandang disabilitas di sebuah institusi pemerintahan, dan pengarahan pada posisi tertentu saja. Bisa jadi dengan qualifikasi yang dimilikinya, dia layak untuk melamar ke posisi lainnya akan tetapi terhalang karena alokasi untuk penyandang gdisabilitas bukan di situ.

Jangan sampai ada “kesombongan intelektual” yang menginginkan penghapusan aturan diskriminatif tersebut hanya untuk membuktikan bahwa penyandang disabilitas mampu masuk ke jurusan apapun. Hal yang lebih penting yakni bagaimana kesiapan calon mahasiswa itu, proses selama masa perkuliahan, dan output setelah menjadi sarjana. Tugas kita bukan hanya untuk membuka kran diskriminasi, tetapi juga untuk mengaliri pipa-pipa dengan air yang bersih yang keluar dari kran tersebut secara berkelanjutan.(DPM)

Last Updated on 8 tahun by Redaksi

Oleh Dimas Prasetyo Muharam

Pemimpin redaksi Kartunet.com. Pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang lalu ini hobi menulis dan betah berlama-lama di depan komputer. Lulus dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia 2012, dan pernah merasakan kuliah singkat 3 bulan di Flinders University, Australia pada musim semi 2013. Mengalami disabilitas penglihatan sejak usia 12 tahun, tapi tak merasa jadi tunanetra selama masih ada free wifi dan promo ojek online. Saat ini juga berstatus PNS Peneliti di Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Kunjungi blog pribadinya di www.dimasmuharam.com.

12 komentar

  1. Setuju banget dengan isi tulisan ini Kak. jauh lebih baik mengoptimalkan jurusan2 yg emg udah terbuka buat disabilitas. Aatau mungkin untuk jurusan yg sebenarnya memungkinkan untuk disabilitas dan sudah ada contoh mahasiswa disabilitas yg kuliah di jurusan yg sama tapi di universitas lain, bisa diadvokasi. Sama halnya dgn jurusan yg selama ini udah pernah menerima disabilitas tapi tiba2 menetapkan persyaratan diskriminatif ini. Dan untuk mahasiswa disabilitas yg udah berhasil diterima dan menempuh pendidikan, ayo kita sama2 menunjukan track record yg baik, agar ngga ada stigma negatif untuk junior2 kita. Tentang masalah putus kuliah, selama alasannya masuk akal & bukan karena malas, pasti dosen2 dan pihak kampus ngga akan menjadikan itu sebagai stigma negatif kok. Intinya harus terus semangat belajar & melakukan yg terbaik yg kita mampu.

    1. coba para senior dan aktivis kita yang gigih memperjuangkan nasib penyandang disabilitas mau ikut berdiskusi di forum terbuka ini dan mengetahui langsung kondisi kekinian dari para pelakunya langsung. Maka advokasi akan jadi lebih tajam dan benar-benar dibutuhkan. Banyak ternyata hal2 di luar sana yang belum diketahui. Apalagi fakta2 di daerah. Kadang kita memperjuangkan sistem untuk berubah, tapi yang akan mengisi sistem tersebut tidak dipersiapkan terlebih dahulu.

  2. Biasanyaperguruan tinggi yang tadinya banyak menerima mahasiswa disabilitas, khususnyatunanetra, jadi sulit menerima tunanetrasebabnya karena para mahasiswa tunanetra ini sering bersikap negatif, misalnya sering bolos,dan malas-malasan. Misalnya yang saya tahu Jurusan Seni Musik UPI. Banyak mahasiswa tunanetra yang kuliah di sana putus di jalan, karena mereka malas-malasan, kebanyakan mereka terlalu sibuk main musik di luar sampai kuliahnya terbengkalai. Begitu juga Jurusan Seni Musik Universitas Pasundan. Belum ada tunanetra yang lulusdari sini. Ya itu, karena mereka keasikan main musik diluar.Ada juga teman-teman kita yang pindah-pindah jurusan. Smester pertama dan kedua di musik. Terus semsteer tiga sampai smester…. saya lupa di jurusan Bahasa Inggris, dan akhirnya di plb. Tak tahu itu juga apakah dia selesai apa nggak. Nah, jadi teman-teman mahasiswa tunanetra juga harus dibina. Jangan sampai bermalas-malasan. Kita ini menoritas. Apa yang kita perbuat akan berdampak pada junior-junior kita.

    1. nah, dari penyandang disabilitas sendiri juga perlu melakukan koreksi. Apakah sudah benar-benar memanfaatkan kesempatan yang sudah ada? Meski alasan pihak PTN seperti yang diutarakan mas Zul agak kurang bijak, tapi ada baiknya kita juga mengevaluasi diri. Maka, upaya untuk meningkatkan kualitas mahasiswa disabilitas dan membuka peluang pasti pasca-kuliah itu juga tak kalah pentingnya dari sekedar menggempur diskriminasi yang sesungguhnya masih dapat ditolerir setengah hati.

  3. ya, jangan sekedar teriak, tp juga harus punya langkah konkrit ya mas…beri bukti nyata dulu kepada mereka…

    1. sebelum kita membuka jalan tambahan, ada baiknya jika jalan yang sudah ada dioptimalkan dulu. Masih banyak jurusan2 yang tidak ada persyaratant ersebut yang masih belum dijaman teman2 disabilitas. Entah karena kurang referensi, tak ada yang mengarahkan, atau memang sedikit yang mau berjuang melanjutkan kuliah. Tapi untuk jurusan2 yang selama ini sudah pernah menerima terus diketahui saat ini ada aturan aneh seperti itu, memang perlu dikonfirmasi lagi ke pihak PTN dan panitia SNMPTN. Siapa tahu ada kesalah-pahaman

      1. iya, yang membuat aneh adalah jurusan yg telah memiliki mahasiswa disabilitas, kenapa harus dibuat syarat semcam itu ckckckk. tp di UI kalau gak salah, sastra inggris gak ada syarat ya mas…

        1. iya. di UI untuk semua jurusan berbasis IPS tidak ada persyaratan sama sekali kecuali Psikologi. Aneh ya malah PTN-PTN yang notabenya lebih banyak pernah menerima penyandang disabilitas itu. Padahal di UI palingan tiap tahun hanya ada 1 mahasiswa disabilitas. bahkan tahun kemarin kabarnya tak ada yang lolos

  4. Sering juga terjadi calon mahasiswa disabilitasyang telah masuk ke jurusan pilihannya, ketika menjelang orientasi diarahkan ke jurusan tertentu dengan alasan jurusan x lebih pas karena tidak membutuhkan pengelihatan dan cepat lulus.Yang terpenting adalah adik-adik yang masih duduk di SMA harus bersungguh-sungguh belajar. Percayalah bahwa kita bisa menjadi apa pun asalkan ada kemaun. Jangan sampai sampai kita berteriak-teriak hapuskan diskriminasi tapikita tidak mempersiapkan apa yang kita butuhkan. Lalu para guru di slb juga jangan suka mematahkan semangat para siswanya.

    1. ya betul mas. saya juga pernah dengar dari teman yang masuk satu jurusan, lalu dinegosiasi oleh dosen untuk pindah jurusan dalam fakultas yang sama atau fakultas lain dalam PTN yang sama. Alasannya benar tadi, dosen mengkhawatirkan dia tak akan dapat ikut pelajaran dengan baik. untuk kasus tersebut, menurut saya seharusnya dicoba terlebih dahulu. Tapi kemungkinan besar dapat tetap gagal karena harus berusaha sendiri. Mungkin akan terbantu jika ada support dari luar.

    2. dan untuk persiapan pada SMA Alhamdulillah saya dulu banyak terbantu oleh tutor di Mitra Netra Jakarta untuk persiapan Ujian Nasional juga SPMB. Habis Ujian Nasional langsung kebut untuk latihan soal2 SPMB bersama Pak Ali, tutor Mitra Netra saat itu. Tapi sekarang adik2 junior saya tidak lagi memperoleh hal yang sama. Mungkin salah satu dampaknya adalah tidak ada yang masuk UI tahun 2013 kemarin.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *