Mereka juga Punya Mimpi

“Saya ingin berkarir di dunia musik”, ujar Enny, seorang remaja yang memiliki kualitas suara di atas rata-rata dan mahir memainkan tuts keyboard dan senar gitar. Gadis ini sangat bersemangat ketika menyampaikan mimpinya. Dia baru menyelesaikan studinya di sebuah SMA umum di Bandung. Gadis berumur 17 tahun ini berencana meneruskan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi. Satu hal yang perlu diketahui, Enny merupakan seorang disabilitas yang tuna netra. Terdapat beratus-ratus remaja tuna netra di Indonesia yang memiliki mimpi seperti Enny dan ingin menyelesaikan studi hingga jenjang tertinggi.

Pendidikan adalah salah satu proses yang perlu dijalani manusia sehingga manusia tersebut dapat mewujudkan mimpi-mimpinya.

Sesuai konstitusi, UUD 1945 yang telah diamandemen, di Pasal 27 ayat 2 Bab Warga Negara dan Penduduk tertulis, “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Pada Pasal 28C ayat 1 Bab Hak Asasi Manusia juga tertulis, “setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Jelas tertulis disini, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, bagaimana dengan warga tuna netra?

Menurut data Kementerian Kesehatan, angka kebutaan di Indonesia adalah 1,5% dari jumlah penduduk atau lebih dari 3 juta penduduk Indonesia menderita kebutaan (tuna netra). Dari jumlah ini, menurut survei Pertuni di tahun 2005, tercatat hanya 250 orang tuna netra yang berhasil menyelesaikan pendidikannya hingga perguruan tinggi. Sisanya terputus di jenjang lebih rendah seperti sekolah dasar ataupun sekolah menengah, bahkan banyak yang tidak mengenyam pendidikan. Tercatat hanya 5% anak usia sekolah yang bersekolah. Mereka ini hanya bisa bermimpi dan terus bermimpi, tanpa bisa menjadikan mimpi itu nyata.

 

 

Pada SNMPTN 2011 yang lalu, empat siswa dari Panti Tuna Netra Wyata Guna Bandung mengikuti ujian di kampus ITB. Untuk mengikuti ujian tersebut, pemuda-pemudi yang bersemangat ini ditemani oleh reader yang akan membantu mereka dengan membacakan soal-soal SNMPTN. Hal yang dapat diketahui bersama, mereka mengikuti ujian SNMPTN dengan soal yang sama dan waktu yang sama dengan siswa-siswa normal. Menurut pengakuan mereka, mereka kelabakan pada pelajaran matematika dan bahasa inggris. Hasil dari ujian ini, keempat siswa tidak lulus di jurusan yang dipilihnya.

Tiga hari yang lalu, dua orang siswa, Enny yang telah disebutkan di atas dan Haris menjalani ujian masuk di sebuah universitas di Bandung. Mereka memilih jurusan musik sebagai pilihan masa depan yang akan mereka jalani. Enny dan Haris menyukai musik. Bakat Enny tidak perlu dipertanyakan lagi. Haris sendiri memiliki keahlian dalam bermain gitar. Kedua orang ini mengikuti ujian teori dan bakat, sama seperti yang dijalani calon-calon mahasiswa lain yang normal.

 

 

Pada ujian teori, kedua pemuda pemudi hebat ini tidak berharap banyak. Mereka berharap pada ujian bakat, karena disini mereka dapat memperlihatkan keahlian mereka. Enny mendapat nilai A+ pada setiap poin-poin penilaian di ujian bakat. Menurut pengakuan penilai, Enny termasuk yang terbaik pada ujian bakat kali ini. Nilai Haris sendiri di atas rata-rata walau tidak sebaik Enny. Intinya, kedua remaja yang berani ini menyelesaikan ujian bakat dengan memuaskan. Pertanyaan kita bersama, apakah kedua remaja ini diterima di jurusan yang diimpikannya?

Tidak sampai lima menit setelah mereka menyelesaikan ujiannya, seorang panitia mendekati ibu Enny yang selama ujian ini dengan setia menemani dan menyemangatinya. Sang panitia menyampaikan bahwa Enny memiliki bakat dan mendapat nilai terbaik di ujian ini. Namun yang disayangkan, mereka (baca:kampus ini) belum bisa menerima mahasiswa tuna netra disebabkan pengajar-pengajarnya merasa tidak mampu berinteraksi dengan mahasiswa tuna netra. Akhirnya sang panitia meminta maaf karena Enny dan Haris tidak akan diluluskan. Mereka merekomendasikan kampus lain di Jakarta sebagai universitas yang bisa menampung bakat kedua remaja ini. Hasil ini keluar tidak sampai lima menit, padahal normalnya hasil ujian baru dikeluarkan seminggu setelah hari ujian.

Sang ibu kemudian bercerita kepada saya dengan tidak dapat menutupi kekecewaannya. Berbagai pertanyaan diutarakannya, “Mengapa anak saya tidak dapat belajar di sini, padahal tahun lalu kampus ini masih menerima mahasiswa tuna netra? Mengapa hal ini baru diberitahukan sekarang, bukan saat pendaftaran dulu? “Bagaimana anak saya dapat bersekolah kalau kampus-kampus lain melakukan hal yang sama?”

Ketika Enny dan Haris keluar dari ruangan, kami segera memberitahukan perihal ini kepada mereka. Enny terus bertanya-tanya kepada ibunya, “kenapa seperti itu bu, kok seperti itu?”, sementara Haris hanya terdiam dan terlihat wajah kekecewaan di wajahnya. Pemuda-pemudi yang penuh semangat ini, memiliki cita dan impian, namun kondisi eksternal, lingkungan, masyarakat, dan pemerintah membatasi mereka untuk berkembang. Mimpi itu hanya bisa tersimpan di peti dan tidak pernah bisa dikeluarkan.

“Mungkin Enny bisa kuliah di Jakarta, tapi tidak tahu apa dana mencukupi. Saya akan coba membicarakan dengan keluarga besar”, keluh sang ibu ketika saya menanyakan bagaimana rencana untuk Enny selanjutnya.

Apakah memang harus seperti itu? Bagaimanakah implementasi dari Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 28C ayat 1 UUD 1945? Apakah itu hanya sebatas konstitusi semata yang tidak dapat dijalankan? Apakah hanyalah sebuah utopia, semua warga, setiap orang penduduk Indonesia mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan? Tidak hanya penduduk perkotaan tapi juga penduduk pedesaan, pedalaman, dan perbatasan. Tidak hanya penduduk yang memiliki fisik yang normal, tapi juga warga Indonesia yang disabilitas.

Bagaimanapun, pendidikan yang merata, hal itu harus diusahakan terjadi di bumi Indonesia. Pendidikan adalah salah satu kunci yang membuka pintu gerbang pembangunan bangsa. Pendidikan adalah media manusia mengenal dunia luas, menambah wawasan berpikir, dan mengetahui apa mimpinya dan bagaimana mencapai mimpi-mimpinya. Saya mempunyai mimpi. Kamu, anda, memiliki mimpi. Kita memiliki mimpi, begitu juga dengan mereka. Mereka juga mempunyai mimpi, sama seperti kita.

Catt: Tulisan di atas adalah pengalaman saya dua tahun lalu yang saya dokumentasikan di dalam blog pribadi saya.

Last Updated on 9 tahun by Redaksi

Oleh Sahat Sinurat

Saat ini sedang melanjutkan pendidikan di S2 Studi Pembangunan ITB. Hobi membaca dan berolahraga. Lebih baik menyalakan sebatang lilin ketimbang meneriaki kegelapan.

6 komentar

  1. Alhamdulillah dia skr udah kuliah, meski gak ambil jurusan musik, tp cukup happy di jurusan PAI Uninus.

  2. wah parah ya ckckckckck…..kenapa terus-terusan dianak tirikan sih disabilitas macam kita ckckck

    1. coba baca tulisan ka Sapto yang “Manusiakan kami!”. pada kalimat terakhir, sepertinya itulah jawabannya.

  3. salam pak Sahat. terima kasih sudah mau bergabung dengan Kartunet dan berbagi di sini. wah sayang sekali itu sudah dua tahun yang lalu ya? lalu bagaimana dengan Enny saat ini? apakah sudah berhasil kuliah di Jakarta? Ditunggu sharing lainnya pak, pengalaman bersama teman2 di WG. Mudah-mudahan mau bantu sosialisasi juga tentang Kartunet ke teman2 di sana dan cara menggunakannya 🙂

  4. In ikampus apa? sebutin aja biar semua orang pada tahu. Bahkan penyandang disabilitas yang menekuni bidang yang “hanya ini” yang mereka kira mungkin bisa dilakukan pun di tolak terus mau kuliah di mana lagi?

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *