Monolog Jembatan Cekdam

Inilah cerita kakek-ku kawan …
cerita tentang jembatan cekdam, saksi bisu semangat perjuangan …
jembatan megah buatan belanda yang harus runtuh karena bara kebencian …
jembatan yang di bawahnya mengalir deras arus hulu ke hilir …
ya, arus air cekdam sumber penghidupan …

Kakek-ku berkisah …
seratus warga kampung halamanku dikerahkan untuk membangunnya …
puluhan gerobak batu, pasir, aspal, mereka pula yang mengangkutnya …
sehari-hari mereka kerja rodi …
diberi makan Cuma segenggam nasi …
siapa yang membangkang kena tembak …
setiap jengkal tanah selalu berlumur darah …
tak perduli dewasa atau kanak-kanak …
mereka diseret ketepi sungai …
Subuh bekerja, tengah malam tidur di barak …

Setahun jembatan Cekdam dibangun …
selama itu pula sungai Cekdam menjadi sarang penyamun …
seratus warga desa dikerahkan, umur mereka tak sampai enam bulan …
namun Belanda tak kenal ampun …
seratus jiwa melayang, seratus lain menggantikan …
1938 jembatan itu di kerjakan …
1939 bangunan itu rampung megah berdiri …
pesonanya menyisakan pilu disetiap hati …
namun tak urung banyak juga warga kampung halaman-ku yang menggunakannya …
ya, karena jembatan itu satu-satunya sarana untuk menuju kota …

Kakek juga yang bercerita tentang perjuangan mengusir Belanda di kampung halaman …
1948, tanah kelahiranku lampegan menjadi saksi ketika peluru tak mampu lagi membendung serangan panah dan bambu runcing …
Saat manusia menjadi pemburu-pemburu kejam memangsa tubuh-tubuh yang terkapar …
demi berkibarnya sang merah putih, prikemanusiaan diabaikan …
namun Belanda tetap jaya pistol dapat dikalahkan, ratusan tank memasuki desa dengan tenang namun mengancam …

Tank berlapis baja berbaris hendak memasuki desa …
jembatan Cekdam menjadi perantara …
kecemasan, kepanikan, mulai menggerayangi relung jiwa …
Belanda bersorak, warga terhenyak …
deru mesin tank menggeram penuh ancaman …
tembakan meriam mulai menggelegar …
lima tank memasuki areal jembatan …
Belanda tertawa penuh kemenangan …
lurah desa histeris memerintahkan:
“Kita terpaksa melakukannya !!! jangan sampai mereka memasuki desa !!!”

Tidak ada jalan lain waktu itu …
jembatan Cekdam memang harus diledakan …
Kang Ujang sahabat kakek amat keberatan …
bagaimanapun juga jembatan itu menjadi sumber penghidupan …
Kang Ujang dituduh sang penghianat …
alas an yang dijabarkan tak mampu membujuk lurah dan warga Lampegan …
Kang Ujang gugur sebagai pejuang …
sayang harus gugur ditangan sesama kawan …

Kakek-ku mengakhiri ceritanya dengan suara bergetar …
airmatanya tak mampu lagi ia bending …
dengan suara tercekat ia berkata:
“Kakeklah yang di paksa Pak Lurah untuk memasang granat dibawah jembatan. Kakek terpaksa melakukannya, dengan mengendap-ngendap kakek mencoba menerobos pepohonan dibalik Cekdam. Akhirnya aku tiba dibawah jembatan itu. Aku meletakan duabelas granat disetiap sudut jembatan. Kegelapan malam saat itu melindungi aku dari pemandangan mata Belanda. Aku segera berenang menuju darat. Tak lama kemudian jembatan itu meledak, tank-tank Belanda tinggal beberapa meter lagi sampai di desa. Tapi akhirnya kendaraan-kendaraan itu luruh ke sungai Cekdam, bau daging terbakar begitu anyir menyusup hidungku. Belanda batal mendapat bantuan, tetapi warga Lampegan juga kehilangan sumber penghidupannya.”

Itulah sepenggal kisah dari kakek-ku …
kisah masalalu yang mungkin tidak banyak orang yang mengingatnya …
setiap aku pulang ke kampung halaman, banyak sudah kisah perjuangan yang kakek ceritakan …
diakhir kisah ia selalu berpesan …
“Cucuku, pahlawan itu bukan jasa-jasanya yang harus dikenang. Tetapi apa yang harus dilakukan kau dan anak-anakmu kelak, untuk menghargai jasa mereka …”

Last Updated on 9 tahun by Redaksi

Oleh Senna Rusli

Guru ngaji pesantren Raudlatul Makfufin (Taman Tunanetra)

1 komentar

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *