Monyet Sirkus Nomor Satu

“Kau tahu bagaimana monyet sirkus? Dia akan ditepuki ketika dapat bermain sepeda tapi tak mungkin menang ketika melawan manusia.”. Kata-kata itu keluar dari lisan kawanku Sapto Kridayanto yang juga tunanetra ketika kami berdiskusi mengenai pandangan masyarakat pada penyandang disabilitas. Mungkin perumpamaan yang agak kasar, tapi paling tidak ungkapan itu dapat menjelaskan dengan sederhana apa yang terfikir ketika menemui mereka. Namun, apakah akan selamanya monyet sirkus itu buruk? Tak dapatkah dibuat sirkus yang paling hebat dan tak ada seorangpun mampu menandingi?

Masih menurut kawanku itu, ada tiga pandangan dari masyarakat umum ketika melihat penyandang disabilitas. Pertama, yaitu sikap underestimate pada kemampuan mereka. Hal ini dipengaruhi oleh stigma yang bercokol lama di masyarakat yang menganggap bahwa mereka adalah orang yang lemah, kekurangan, dan tidak produktif. Misal ketika terlintas kata tunanetra, maka bayangan yang muncul adalah tukang pijit atau peminta-minta di jembatan jalan. Ada sikap sudah menilai rendah padahal belum tahu mengenai kompetensi individu dari mereka.

Kedua, adalah sikap overexpectation atau anggapan yang berlebih. Banyak orang yang menganggap penyandang disabilitas adalah orang “suci” yang pastilah baik. Padahal mereka juga manusia yang punya sifat individu berbeda-beda. Mungkin ada di antaranya yang jahat, atau memang benar-benar baik. Selain itu, pandangan ini kadang berpengaruh pada sikap pemakluman yang kurang tepat bagi mereka. Misal ketika melakukan sebuah kesalahan dalam kerja, maka ada kata-kata “maklumlah, namanya juga difabel”. Tentu hal ini merugikan karena selamanya dapat dianggap tidak punya profesionalisme.

Terakhir yaitu penerimaan penyandang disabilitas layaknya “monyet sirkus”. Layaknya monyet sirkus, ia akan ditepuki oleh penonton karena dapat melakukan hal-hal biasa, tapi karena monyet yang melakukannya terlihat luar biasa. Misal melempar botol, naik sepeda, dll. Namun seberapa pandai monyet itu bermain sepeda, tak mungkin diikutkan dalam pertandingan Tour de France. Begitu pula penyandang disabilitas. Mereka mungkin akan dikagumi ketika muncul di acara televisi dengan kemampuan bermain komputer, solving rubix qube, atau bermain catur. Akan tetapi tak ada perusahaan atau lembaga yang mau mempekerjakannya meski sama-sama punya kemampuan di bidang komputer hanya karena dia penyandang disabilitas. Maka demikian, mereka hanya sebatas dikagumi dalam arena sirkus, bukan ketika berada di luar arena.

Lantas, bagaimana cara pandang yang ideal? Mereka ingin dipandang sebagai manusia biasa yang punya keunikan, potensi, dan martabat. Disabilitas adalah bagian dari keragaman masyarakat. Sama halnya ketika melihat ada orang yang berkulit hitam, putih, sawo matang, dll. Ada pula orang yang berambut keriting, lurus, ikal, dan seterusnya. Mereka hanya memiliki keterbatasan fisik/mental, bukan kekurangan. Keterbatasan itu dapat diatasi jika adanya akses agar hak yang diperoleh setara dengan yang tak dibatasi. Oleh karenanya, kondisi tersebut bukan berarti membuat mereka pasti tidak produktif, suci, atau labeling yang lain. Sama seperti manusia lainnya, punya karakter masing-masing.

Namun, kembali ke soal Monyet Sirkus. Ada pendapat lain jika memang dianggap sirkus, mengapa tidak membuat sirkus yang fantastis? Sirkus yang tak ada orang lain yang mampu menyainginya? Ini seperti menkonversi hal yang dianggap keterbatasan, jadi kekuatan super. Apakah mungkin? Tentu saja bukan mustahil. Dengan dukungan teknologi, ada banyak cara penyandang disabilitas dapat melakukan sesuatu yang bahkan masyarakat pada umumnya tak dapat lakukan. Misal dengan menjadi blogger, penulis, arranger musik digital, wirausahawan, dan profesi lain yang tak semua orang mampu mengerjakan. Jika memang dianggap sebagai monyet, tak apalah, asal jadi monyet sirkus nomor satu yang manusia sekalipun tak mampu mengunggulinya.(DPM)

Last Updated on 7 tahun by Redaksi

Oleh Dimas Prasetyo Muharam

Pemimpin redaksi Kartunet.com. Pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang lalu ini hobi menulis dan betah berlama-lama di depan komputer. Lulus dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia 2012, dan pernah merasakan kuliah singkat 3 bulan di Flinders University, Australia pada musim semi 2013. Mengalami disabilitas penglihatan sejak usia 12 tahun, tapi tak merasa jadi tunanetra selama masih ada free wifi dan promo ojek online. Saat ini juga berstatus PNS Peneliti di Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Kunjungi blog pribadinya di www.dimasmuharam.com.

6 komentar

  1. yah ketipu sama judulnya 🙂
    kadang kita memandang sebelah mata para disabilitas, padahal disabilitas sering kali memiliki kemampuan lebih dari pada orang normal

    1. ya, terkadang memang gitu. tapi sebetulnya penyandang disabilitas juga orang normal kok 🙂

  2. yaah kirain tulisannya tentang monyet beneran, uda penasaran aja deh ama binatang favorit yg satu ini, tapi ternyata lebih keren dari pada yang dibayangkan.
    Loh memang kenyataannya di lapangan begitukah pandangan orang2 mengenai dunia disabilitas?? Klo memang benar begitu kenyataannya pasti itu karna mereka belum benar2 melihat salah satu dari bentuk Kekuasaan-Nya dan mengindahkan setiap perbedaan yang ada. Karna sesungguhnya manusia diciptakan dari berbangsa-bangsa, bersuku-suku dan perbedaan lainnya adalah untuk saling mengenal dan berhubungan satu sama lain. Klo saya si akan senang sekali jika dapat bekerjasama dengan mereka jika memang ada kesempatan krn akan semakin banyak pengetahuan yang didapat ketika saling share mengenai kehidupan masing2, dll. Dan saya yakin bagi mereka yang beriman dan berilmu pasti Dia akan mengangkat derajatnya menjadi lebih tinggi. Itu janjinya dalam firman-Nya.

    1. fakta di lapangan memang tak selalu seindah puisi atau kalimat dalam undang-undang. Agama dan iman yang seharusnya jadi semangat pemberdayaan, terkadang dipahami oleh manusia yang tak mau repot-repot berfikir sebagai pembenaran untuk mengkasihani orang lain, yang pada akhirnya tidak bermanfaat produktif. Sebab agama dan Islam hanya untuk mereka yang beriman dan berfikir.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *