Nur the First Time

Gerbang sudah kututup, gerendel juga sudah kupasang. Tapi sosok ramping itu masih saja berdiri mematung di luar. Seolah ada paku besar memancang dari dalam bumi dan masuk ke telapak kakinya.


“Sudah lah Ma, Jangan terlalu khawatir gitu dong. Nur kan bukan anak kecil lagi.”


“Bener kamu nggak akan kenapa-napa?”


“Mama udah liat buktinya kan?” Dia kembali terdiam. Keheningan sejenak menyelimuti kami. Angin sore yang lembut datang membelai kulit dan wajahku. Terasa sejuk dan nyaman. Sayup-sayup kudengar suara riuh anak-anak kecil bermain dilapangan. Begitu damainya saat ini kurasa.


“Ya udah. Kamu hati hati ya disini, Nanti kalau ada apa-apa atau mungkin suatu saat kamu berubah pikiran, kamu telpon aja ke rumah. Mama dan yang lainnya akan datang jemput kamu.”


“Kalau itu mau Nur, Nur udah bilang dari dulu Ma.” Tak ada jawaban. Beberapa detik yang berlalu terasa hambar. Mama akhirnya mengucapkan salam, aku balas salamnya. Segera kudengar langkah-langkah kaki menjauh dari balik pintu. Dia telah pergi.


 


* * *


 Aku duduk terhenyak diatas ranjang yang mulai saat ini akan kudiami sendiri. Terasa ada sedikit yang mengganjal dalam hatiku. Tapi aku segera berusaha untuk menepisnya. Ini adalah pilihanku sendiri, aku sendiri yang harus bertanggungjawab atas segala yang terjadi nantinya. Susah payah aku berusaha agar bisa diijinkan tinggal di kos-kosan ini, sekarang setelah ijin itu kuperoleh, dan mama pun telah bersedia melepasku, meskipun dengan berat hati, aku harus menunjukan bahwa apa yang kukatakan kepada Mama tadi bukan sekedar omong kosong. Meskipun aku sendiri ragu, apakah aku akan benar-benar bisa. Aku mengerti bagaimana perasaan mama dan keluargaku saat mereka menyatakan persetujuannya untuk mengijinkanku tinggal terpisah dari mereka.


Bagaimana tidak, Apakah tega seorang ibu atau ayah melepas anak perempuannya untuk tinggal jauh dari mereka. Sendiri, tanpa ada kerabat atau sahabat yang benar-benar bisa dipercaya menemaninya. Ditambah lagi saat ini aku dalam kondisi hilang penglihatan. Ya! Saat ini aku dalam kondisi yang dikatakan mereka kepadaku Tunanetra. Aku sendiri mulanya tidak sudi menyandang predikat semacam itu. Aku tidak mau disamakan dengan mereka para pemakai tongkat atau berkacamata hitam yang banyak beredar dijalanan, mengemis atau dating kerumah-rumah sebagai tukang pijat. Tapi mereka terus dan terus mendengungkan kata itu ketelingaku dan keluargaku. Akhirnya aku menyerah dan harus membiasakan diri dengan stempel tersebut.


 


* * *


Aku sendiri tak pernah membayangkan kalau akan kehilangan indera yang sangat berharga ini. Aku dulu sama seperti orang-orang normal pada umumnya. Hidupku termasuk bahagia. Punya banyak teman, lebih lagi, aku punya orang yang sangat menyayangiku. Dia perhatian, tapi jangan bilang dia pacarku. Kehidupanku berjalan normal seperti anak remaja pada umumnya. Bermain, sekolah, Kadang-kadang suka iseng ama orang, tomboy, dan cuek. Aku nggak peduli dengan keadaan di sekitar. Yang penting aku senang. Coba saja tanya peristiwa apa yang sedang terjadi di kutub utara sana, pasti aku nggak tahu. Kamu belum tentu tahu juga kan? Tapi semua itu berubah drastis saat aku lulus dari SMU.


Aku terserang penyakit yang aku sendiri nggak tahu apa itu. Sebenarnya sakitku ini sudah menggejala lama, tapi dasar aku orangnya cuek, aku merasa nggak penting mengetahui penyakitku. Hingga tiba saatnya mungkin Tuhan mengingatkan aku untuk sedikit peduli, termasuk dengan diri sendiri. Sore itu aku baru saja pulang bersama kakakku dari sebuah Universitas yang rencananya akan menjadi pilihanku melanjutkan studi. Aku masuk ke dalam kamar untuk beristirahat. Tak ada tanda-tanda kalau hari itu, tepatnya saat magrib, aku akan mengalami sebuah peristiwa dahsyat yang akan mengubah jalan hidupku. Aku tengah duduk menonton televisi. Sinetron adalah program favoritku. Aku selalu terhanyut dengan ceritanya. Apalagi kalau kisahnya tentang cinta yang harus terpisah. Wah, mesti sedia sapu tangan plus ember kalo nggak ingin rumah banjir. Detik demi detik berlalu. Jarum jam pun terus berputar tanpa ada yang mau untuk menghentikannya. Senja pun merambat menuju akhirnya. Sedikit demi sedikit cahaya yang ditinggalkan sang mentari pun mulai memudar. Gelap perlahan-lahan mulai datang menyapa. Menelan sedikit demi sedikit cahaya yang masih tersisa, hingga akhirnya hilang sempurna. Aku terhenyak, Gelap terus merangkak, Mengalir bagai air bah yang diturunkan dari langit. Tak ada yang bisa membendungnya. Termasuk saat ia masuk menerobos pintu dan jendela rumahku. Menghampiriku, dan masuk ke ruang mataku. Aku terlonjak, Aku coba untuk membuka mataku lebih lebar lagi. Tapi tetap aku tak dapat melihat apa-apa. Aku seperti terhimpit dan terekat oleh warna hitam yang menyerangku dari segala arah. Apakah ada yang mematikan lampu? Apa listrik padam? Tapi aku masih bisa mendengar suara-suara yang datang dari arah televisi di depanku. Tapi kenapa aku tak bisa melihat apa-apa?

Baca:  Ketika Mereka Murka

“Ma,,, gelap Maa,,, gelaapp!!!! Nur kenapa Ma???” Aku berteriak histeris. Tak peduli apakah suaraku itu akan menghebohkan para tetangga. Aku tak peduli. Yang kutahu saat ini aku tak dapat melihat apapun. Semuanya gelap. Mataku serasa ditekan dan ditusuk-tusuk. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi denganku. Dimana Mamaku? Dimana yang lainnya? Aku terus berteriak dan menjerit. Hingga akhirnya Mama dan keluargaku pun datang dan menenangkanku.


 


 * * *


Aku shock, Aku tak bisa menerima kenyataan ini. Apa salahku? Kenapa harus aku yang mendapatkan musibah ini? Tuhan tidak adil. Mengapa ia mencabut penglihatan dariku setelah belasan tahun aku menikmatinya? Kenapa tidak dari aku lahir saja? Mungkin akan lebih baik jika aku tidak bisa melihat seumur hidupku. Bukan saat ini. Aku masih muda, punya cita-cita yang ingin kuwujudkan. Aku ingin menghadapi masa depan yang indah, Selangkah lagi aku akan duduk di bangku kuliah, dan beberapa tahun lagi mungkin aku akan menjadi seorang sarjana, bekerja, menikah,, Kenapa ini mesti terjadi? Pupus semua harapanku. Hilang sudah semangat hidupku. Musnah sudah segala angan dan cita-citaku. Semuanya kandas, hilang ditelan kegelapan yang merusak hidupku. Aku tak tahu bagaimana harus menjalani hidup ini seterusnya, tanpa penglihatan, tanpa cahaya, Mama dan papa masih mencoba memberiku semangat, Mereka membawaku ke rumah sakit untuk berobat. Tapi hasilnya nihil, Empat kali aku keluar-masuk rumah sakit, Mulai dari Rumah Sakit Islam Pondok kopi, Rumah Sakit Persahabatan, sampai Rumah Sakit Ciptomangunkusumo, Tapi semuanya tidak memberikan hasil yang memuaskan. Malah aku harus menjalani serangkaian tes yang aku sendiri tak tahu apa gunanya.


Macam-macam yang mereka katakan. Bahkan mereka sampai tega memvonisku terkena gondok, sungguh menyebalkan. Aku sampai lelah dan bosan sendiri harus bolak-balik rumah sakit. Hingga akhirnya aku masuk Rumah Sakit Aini. Dan disanalah aku merasa agak sedikit mengerti apa yang sebenarnya terjadi padaku. Dokter meminta seluruh hasil pemeriksaan yang kuperoleh dari beberapa rumah sakit sebelumnya. Dan setelah beberapa waktu, Akhirnya akupun diberitahu bahwa aku terkena Glukoma, gangguan pandangan yang diakibatkan tekanan pada bola mata yang bisa menjadikan penderitanya menjadi buta. Aku terhenyak, apakah ini sekarang artinya aku menjadi buta? Apa ini artinya aku tak bisa melihat dunia ini lagi? Sesekali aku merasa cahaya datang menerobos mesuk ke rung mataku dan memperlihatkan dunia kepadaku, tapi itu hanya sesaat, dan kemudian gelap lagi. Aku lelah. Setiap apa yang dilakukan seperti tidak ada gunanya. Aku pun mencoba merenung. Sebuah pemikiran yang sedikit melegakan masuk ke ruang dalam dadaku. Mungkin ini adalah yang terbaik untukku. Mungkin ini adalah jalan yang diberikan Tuhan agar aku tidak menjadi anak yang nakal. Mungkin ini adalah tanda bahwa Dia menyayangiku. Aku pun sudah pasrah. Mungkin ini adalah takdir yang harus ku jalani. Sementara Mama dan yang lainnya masih terus mengusahakan kesembuhan bagiku.


“Bagaimanapun juga, kita mesti berusaha. Masalah hasil, Biar kita serahkan pada Tuhan.” Begitu mereka berdalih. Dan setelah dirasa cukup aku menjalani pengobatan medis, Tiba saatnya aku mencoba pengobatan non medis. Keluargaku pun memanggil beberapa pakar pengobatan alternatif. dan, hasilnya tetap nihil. Tiga tahun lamanya aku berada dalam situasi yang berat. Aku tidak keluar rumah, aku mengurung diri di dalam kamar. Aku putuskan hubunganku dengan dunia luar. Termasuk dengan dia yang sangat menyayangiku. Aku sebenarnya tak ingin melakukan hal ini, tapi apakah dia masih tetap sayang padaku setelah tahu kondisiku yang sekarang ini? Berkali-kali dia mencoba menghubungiku, mulai dari aku di rumah sakit, sampai aku kembali bereda lagi dirumah. Tapi aku selalu menghindarinya, Aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak bertemu dengannya. Walaupun ini akan terasa bagai pisau yang mengiris-ngiris setiap senti di hati dan jantungku, tapi aku berusaha untuk tegar menghadapinya. Pernah sekali waktu dia datang ke rumah sakit dan menanyakan kondisiku. Aku hanya menjawab kalau aku sakit, dan tak memberitahunya penyakit apa yang kuderita ini. Dia terus mendesak, tapi segera kutolak. Dan aku memintanya untuk jangan lagi menemuiku. Sementara waktu terus bergerak, Hari berganti, bulan bertukar, aku masih sendiri menahan segala kepedihan yang tak tertahankan. Apa yang harus kulakukan? Jangankan untuk melanjutkan studi ke bangku kuliah, apa yang akan kulakukan esokpun aku tak tahu.


Hingga di suatu hari, datang beberapa orang yang mengatasnamakan diri sebagai wakil dari Helen Keller International. Mereka mendata anak-anak yang sekiranya bersedia dan tepat untuk menjadi peserta oprasi katarak gratis. Dan berkat informasi yang mereka dapatkan dari para tetangga, mereka pun akhirnya mendapatkan seorang anak perempuan bernama Nur Hasanah yang beberapa waktu lalu punya masalah dengan penglihatannya. Sampailah mereka ke rumahku. Aku pun diajak berbincang-bincang dengan mereka. Mulanya mereka mengira aku terkena katarak. Aku segera membantah dan menceritakan apa yang kualami sebenarnya. Mereka menggumam. Dan mengucapkan sebuah kalimat yang hampir membuat aku naik darah.


“Oh, kalau begitu Mbak termasuk kelompok Tunanetra.” Aku terperanjat, seketika itu juga mukaku memerah. Aku dibilang Tunanetra? Berani sekali mereka mengatakan itu kepadaku. Apa dasar mereka memasukkan aku ke dalam kelompok orang-orang yang memperihatinkan itu?

Baca:  PELANGI DAN CINTA

“Eh, Maaf ya mas! Saya nggak bisa melihat karena saya sakit. Bukan karena dari lahir atau keturunan. Apa maksud Mas mengatakan saya Tunanetra?” Semburku dengan berapi-api tanda tidak terima. Enak saja, Apa karena aku tidak bisa melihat, mereka bisa dengan seenaknya memasukkan aku ke dalam golongan itu? Suasana seketika menjadi sedikit tak enak. Tapi aku yakin, kalau telingaku menangkap suara senyuman yang pasti berasal dari salah satu dari mereka. Orang yang mengatakan aku Tunanetra itu pun mengucapkan maaf dengan nada dibuat seperti menyesal. Kemudian menjelaskan bahwa Tunanetra itu adalah sebutan untuk para penyandang cacat penglihatan. Baik itu yang berasal dari lahir maupun karena sebab lain seperti kecelakaan atau lainnya.


Mereka membawaku keluar rumah, ke sebuah tempat yang katanya khusus dibuat untuk pelatihan para Tunanetra di daerah cawang. Disana aku bertemu dengan seorang guru yang menjelaskan apa yang bisa dilakukan oleh orang-orang sepertiku di sini.


 “Banyak yang bisa kamu lakukan disini Nak. Kamu bisa belajar huruf Braille, itu huruf yang khusus dipakai oleh para Tunanetra. Kamu juga bisa belajar bermacam-macam keterampilan di sini. Belajar memijat, dan lain-lain.” Jelasnya seperti seorang public relation handal.


Aku terperangah, Mungkinkan mereka yang tidak bisa melihat itu bisa membaca apalagi menulis? Bagaimana caranya? Lagipula keterampilan apa yang bisa diajarkan pada mereka? Memijat? Aku tak mau jadi tukang pijat. Apakah setiap Tunanetra harus menjadi tukang pijat? Tidak, aku bisa melakukan hal yang lebih dari itu. Aku harus cari alternatif lain. Aku mengutarakan ketidaksetujuanku pada mereka. Mereka pun menawarkan alternatif lain kepadaku. Aku dibawa kesebuah yayasan yang khusus menangani Tunanetra dalam bidang pendidikan. Yayasan Mitra Netra. Ya, Begitulah mereka menyebut Yayasan itu. Merekapun mengajak aku kesana. Disana aku dipertemukan seorang konseler bernama Tolhas. Dia menanyaiku tentang bagaimana aku bisa kehilangan indra penglihatanku. Aku pun bercerita seperti yang telah kuceritakan kepadamu. Dia menggumam, dan memberikan motivasi kepadaku agar tidak patah semangat. Tunanetra bukan berarti kita kehilangan segala-galanya. Dia juga bukan alasan untuk kita berhenti berkarya. Itulah sedikit dari kata-katanya yang masih kuingat. Maka mulailah, sejak saat itu aku menjadi klein Yayasan tersebut. Seminggu dua sampai tiga kali aku kesana dengan diantar oleh keluarga. Aku mulai belajar Orientasi dan Mobilitas, belajar menggunakan tongkat, mempelajari huruf Braille, Sampai menggunakan komputer. Karena jarak yang cukup jauh antara rumah dan Yayasan, serta agar tidak memberatkan keluarga yang harus selalu mengantarkan aku kesana, aku mulai berpikir untuk kos. Kebetulan aku mendapat kabar bahwa ada tempat kos yang ditempati oleh beberapa Tunanetra tak jauh dari Yayasan tempat aku belajar. Aku coba mengutarakan Niatku itu pada Ibu. Reaksinya langsung keras.


“Apa? Kamu mau kos. Apa kamu bisa mengerjakan semuanya sendiri?”


“Mana Nur tahu kalau Nur sendiri belum coba.” Jawabku tak kalah sengitnya. Tapi Ibu belum bisa mengabulkan permintaanku itu. Setiap kali kesana aku mesti diantar. Hingga suatu hari terjadilah situasi yang tak terduga. Tak ada seorangpun yang bisa mengantarkanku. Aku jadi kesal, sebab itu berarti aku telah kehilangan waktu yang berharga untuk aku belajar. Aku pun marah pada mereka. Beberapa hari aku mengadakan aksi protes dengan diam, Akhirnya merekapun menyerah. Mereka mengijinkan aku mengambil kos, tapi dengan syarat bahwa aku harus ditemani, aku menolak, Akhirnya terjadilah kesepakatan setelah sedikit perdebatan. Aku akan kos dengan masa percobaan selama satu bulan. Dan selama masa percobaan itu, aku akan ditemani oleh salah satu dari keluarga, yaitu Ibuku. Aku terpaksa harus menerima keputusan itu. Toh waktunya hanya sebulan. Aku yakin, tak perlu waktu lebih dari dua minggu untuk meyakinkan Ibu kalau aku bisa mandiri. Semua ini kan demi kebaikan mereka juga.


Hari-hari pertama aku tinggal di tempat kos, Ibu menunjukan segala sesuatu yang ada dikamar dan diluar kamar. Ia menunjukan dimana letak dapur, kamar mandi, tempat cuci piring, dan lain-lain. Akupun sedikit-sedikit telah terbiasa dengan lingkungan baru di sekitarku. Disana ada beberapa teman yang bernasib sama sepertiku. Dari merekalah aku belajar tentang begaimana harus hidup mandiri tanpa tergantung dengan orang lain. Seperti mencuci, menyalakan kompor, memasak air, dan sebagainya. Meskipun semua itu terkadang kulakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan Ibuku. Sebab kalau Ibu tahu, wah aku bisa kena marah. Maklum, dia masih khawatir . Bagaimana nanti kalau tangan anak gadisnya yang halus ini terbakar atau luka?.


Pernah suatu hari aku ingin menunjukan kalau aku tidak perlu “diperhatikan” seperti itu. Pagi-pagi sekali aku bangun sebelum ibuku bangun. Aku mengendap-endap ke dapur, Aku menuju ke tempat kompor. Setelah dapat, aku pun mencoba untuk menyalakannya. Beberapa saat kuletakkan tanganku di atas kompor untuk memastikan kalau apinya memang sudah menyala. Kurasakan hangat dikedua telapak tanganku. Berhasil, Akupun segera mengambil panci dan menaruhnya diatas kompor setelah sebelumnya ku isi dengan air. Aku ingin memasak air. Setelah kurasa matang, aku mencoba membuat kopi, karena Ibuku biasa minum kopi pagi-pagi. Kulakukan apa yang biasa kulakukan kalau membuat kopi, tapi kali ini tanpa melihat. Yah, aku mengira-ngira berapa takaran yang pas untuk masing-masing bahan. Setelah selesai, kucicipi sedikit. Tidak buruk! Aku membawa hasil karyaku itu ke kamar, Disana kudapati Ibuku sudah bangun. Dia sepertinya kaget melihat anaknya masuk dengan membawa segelas minuman ditangannya. Sayang aku tak bisa melihat ekspresi wajahnya. Hanya gumam

Baca:  ITULAH YANG TERBAIK

“Nur?” saja yang kudengar. Sepertinya dia tidak percaya kalau yang masuk itu anaknya.


 “Kamu sekali-kali jangan melakukan ini lagi ya.” Begitulah yang kudengar setelah beberapa lama waktu berlalu. Sejak itu ibuku selalu bangun lebih dulu dariku. Aku jadi tak bisa membuat “kejutan” lagi. Akhirnya sebulan telah berlalu. Dan hari ini menurut kesepakatan, aku sudah harus tinggal sendiri tanpa ditemani oleh siapapun dari keluargaku. Ibuku mencoba untuk megusulkan beberapa waktu lagi sampai aku lebih siap lagi. Tapi usulan itu segera kutolak. Kapan aku bisa maju kalau terus ditemani seperti itu? Dan mulai hari ini, aku akan coba untuk hidup mandiri.


 


* * *


Matahari sudah mulai menunjukan keperkasaanya. Aku keluar kamar dan menguncinya. Yap, hari ini adalah jadwalku ke Mitranetra. Dan aku sudah siap. Kukenakan sandal dan segera melintasi gang untuk menuju keluar. Kudengar suara berkelontangan di sebelah kananku. Itu pasti Mbak Kun yang baru saja selesai dengan pekerjaan rutinnya setiap pagi. Dia adalah salah satu karyawan yang bekerja di Yayasan tempat aku belajar itu. Dia tinggal bersama suaminya, Kak Muji, yang juga bekerja disana. Dan yang terakhir ini punya kesamaan denganku dalam hal penglihatan.


“Wah, Nur. Mbak kayaknya nggak bisa ke Mitra sekarang. Masih banyak kerjaan. Mungkin ntar siang . Yah, sekitar jam sebelas Mbak baru bisa kesana.”


Apa? Jam sebelas? Wah, itu artinya aku bakal telat selama satu jam. Mendingan aku nggak pergi. Tapi aku nggak mau begitu. Aku harus tetap berangkat. Tapi bagaimana caranya? Kak Muji sudah satu jam yang lalu pergi, sementara yang lainnya juga sudah meninggalkan kamar. Apakah ini artinya aku harus pergi sendiri? Tapi aku belum pernah kesana sendiri. Bagaimana kalau aku menabrak tembok atau kecebur got? Bagaimana nanti kalau aku salah naik mobil dan kesasar? Ah, tidak. Aku harus bisa. Lagipula jarak yang harus kutempuh tak begitu jauh. Nekat saja lah. Bismillah. Aku memanjangkan tongkatku yang sedari tadi dalam keadaan terlipat. Ku arahkan dia ke arah kiri kanan sementara aku melangkah maju menuju pintu gerbang. Dapat! Kubuka dan segera kututup lagi setelah aku berada diluar. Inilah saat yang paling mendebarkan. Aku harus keluar dari gang dan menyebrang jalan sebelum akhirnya aku harus naik mobil yang katanya bernomor S 12. Aku menghadap ke arah kanan. Dan mulai berjalan lurus . Begitulah mestinya kalau aku ingin sampai di jalan raya. Aku masih berjalan. Beberapa menit yang berlalu terasa bagai berjam-jam. Akhirnya, telingaku menangkap suara dearu mesin kendaraan bermotor. Hatiku bersorak gembira itu artinya aku sudah berada dekat jalan raya. Aku berjalan beberapa meter lagi. Dan ternyata benar. Di hadapanku melintas mobil-mobil dan motor begitu berisiknya. Aku berhenti. Kini aku harus menyeberang. Setahuku, jalan yang ada dihadapanku itu berjalur empat. Dan ditengah-tengah empat jalur itu, ada pemisah berupa trotoar agak tinggi yang diatasnya ditanami pohon dan rerumputan. Keadaan sudah aman kurasa untuk menyebrang. Aku melangkahkan kakiku melewati jalan lebar tempat mobil dan kendaraan bermotor lainnya melintas. Aku terus berjalan, dan kurasakan tongkatku tersandung oleh sebuah penghalang. Benar, ini trotoar pemisah itu. Aku naik. Kurasakan kakiku menginjak sesuatu yang lembut daripada aspal. Ini pasti rumput. Tak berapa lama kemudian tongkatku kembali membentur bagian yang rendah dan keras. Aku segera bersiap turun dari trotoar itu dan berjalan lagi sampai aku berada di tepian. Yes, aku berhasil menyeberang dengan selamat. Kini aku mesti menunggu angkot yang akan membawaku ke Mitra. Oh, tak perlu. Aku mendengar suara orang berteriak beberapa meter dihadapanku


“Dapur, dapur” Itu pasti suara supir angkot jurusan dapur susu. Aku pun naik. Dan minta agar diturunkan di parkiran. Setelah sampai di parkiran, aku pun kembali berjalan. Tinggal beberapa langkah lagi aku akan sampai di tempat tujuan. Tak sampai lima menit tongkatku menyentuh sesuatu yang menimbulkan bunyi berkelontangan. Aku tahu. Itu pasti pintu gerbang. Segera kuarahkan tongkatku ke arah kiri dan masuk ke halaman depan. Akhirnya, Tongkatku pun menyentuh sesuatu yang keras. Itu pasti kaki dari kursi panjang yang memang ditaruh di situ untuk tempat duduk. Ku hempaskan diriku diatasnya. Baru beberapa detik kemudian aku mulai tersadar apa yang telah kulakukan. Akhirnya aku bisa. Aku berhasil pergi sendiri tanpa pengawalan seorangpun. Aku bisa menyebrang jalan dan naik angkot tanpa kesasar. Tak ada sesuatu yang mengkhawatirkan. Perasaanku bergolak. Senang, takut, cemas memenuhi rongga dalam dadaku yang terasa bergemuruh. Aku mendengar suara langkah mendekat ke arahku. Datangnya dari arah pintu gerbang. Tepat di depanku. Dia berhenti.


“Nur kamu kenapa? Kok muka nya pucat? Kamu sakit?” Itu suara  Mas Muis yang bertanya dengan penuh keheranan. Aku tak punya keberanian untuk menjawab. Kubiarkan bibirku bergerak sesuka hatinya tanpa memikirkan apa yang akan dikatakannya.


“Mas, ini Mitra kan?”


“Kamu kenapa sih? Ini memang mitra. Memangnya kamu kira ini dimana?” Dia pun pergi dan meninggalkanku. Tinggal aku sendiri Aku menghela nafas. Kurogoh sakuku dan mengeluarkan hand phon dari dalamnya. Kutekan nomer telepon rumahku. Kudengar suara Ibu menjawab di seberang sana.


“Haloo!”


“Halo Ma. Ini Nur”


“Oh ya. Ada apa Nur?”


“Hari ini Nur berangkat ke Mitra sendiri Ma.”


 “Apa? Terus kamu nggak kenapa-napa kan? Nggak ketabrak apa-apa kan? Nggak kecebur got kan?”

Bagikan artikel ini
Satrio Budi Utomo
Satrio Budi Utomo

editorial staff of Kartunet.com

Articles: 22

Leave a Reply