OJEK TAXI, ALTERNATIVE TRANSPORTASI BAGI TUNANETRA

Kota Semarang merupakan salah satu kota di Indonesia yang di dalamnya terdapat Tunanetra. Namun, dapat dikatakan bahwa akses pelayanan public untuk Tunanetra belum begitu “Manis” dikecap oleh mereka yang kehilangan penglihatan. Pasalnya, beberapa pelyanan public seperti halnya transportasi umum yang accessible belum berpihak kepada Tunanetra. Di bebrapa titik di Kota Semarang, banyak Tunanetra yang kesulitan mengakses transportasi umum baik karena pelayanan oleh awak kendaraan maupun rute yang disediakan.

 

Sebetulnya diluncurkannya Bis Trans Semarang di Ibu Kota Jawa Tengah belum lama ini dapat dikatakan angin segar bagi Tunanetra meski disana-sini masih terdapat banyak kekurangan. Namun demikian, keberadaan Bis Trans Semarang dapat diacungi jempol oleh Tunanetra yang terbiasa menggunakan jasa transportasi yang satu ini. Memang betul, bagi sebagian Tunanetra di Kota Semarang, bepergian menggunakan Bis Trans Semarang dapat menjadi pilihan utama mengingat pelayanan yang diberikan oleh transportasi umum yang satu ini cukup memuaskan. Penyandang disabilitas seperti Tunanetra biasanya mendapat “Diskriminasi”, namun diskriminasi kali ini bukan diskriminasi “Negatif” melainkan diskriminasi “Positif”.

 

Diskriminasi positif yang didapat Tunanetra ketika menumpang bis tersebut biasanya berupa pemberian kursi khusus yang terdapat di dekat akses pintu masuk atau pun keluar. Tentu saja hal tersebut memudahkan Tunanetra untuk mengakses tempat duduk ketika memasuki bis dan juga tidak mengalami kesulitan ketika akan keluar dari bis. Nah, dari sikap seperti itulah dapat dikatakan bahwa penumpang non-disabilitas mendapatkan diskriminasi dari awak bis karena jika didapati tempat duduk sudah terisi penuh, salah satu penumpang harus rela memberikan tempat duduknya, dan yang mengatur hal tersebut adalah awak Bis Trans Semarang. Selain itu, ketika berada di dalam bis pun Tunanetra merasa tenang karena kondektur yang “Care” terhadap Tunanetra. Bagi Tunanetra perempuan, rasa cemas karena takut dibawa kabur oleh sopir bis tak lagi kentara.

 

Meski acungan jempol diberikan kepada pelayanan di dalam Bis Trans Semarang, namun saran tetap harus dilontarkan kepada pihak yang bertanggungjawab terhadap pendirian halte bis tersebut. Tentu kita sudah tidak asing lagi dengan halte Bis Trans Semarang yang tinggi bukan kepalang. Masyarakat non-disabilitas saja sulit mengakses halte yang tinggi tersebut, apa lagi penyandang disabilitas seperti Tunanetra dan Tunadaksa serta penyandang disabilitas lainnya?? Selain itu, halte atau titik pemberhentian bis pun tak begitu tersebar secara merata. Dengan kata lain, rute yang disediakan oleh Bis Trans Semarang tersebut belum mengakses seluruh tempat yang memiliki kemungkinan didatangi oleh penyandang disabilitas seperti Tunanetra. Oleh karena itu, perbaikan harus dilakukan disana-sini demi memperbaiki pelayanan transportasi yang ramah terhadap penyandang disabilitas.

 

Jika tak ada pelayanan transportasi yang benar-benar “Ramah” terhadap Tunanetra di Kota Semarang, lalu haruskah mobilitas di luar dihindari oleh Tunanetra? Tentu itu bukan jalan keluar yang bijaksana karena sebagai makhluk social, Tunanetra juga perlu bersosialisasi di luar rumah dan melakukan kegiatan layaknya orang-orang berpenglihatan awas seperti bersekolah, bekerja atau pun sekedar berkunjung ke tempat teman.

 

Lalu, alternative transportasi apa yang dapat digunakan oleh Tunanetra di Kota Semarang?

 

“Taxi”…itulah salah satu transportasi di Kota Semarang yang biasanya diakses oleh Tunanetra. Tentu ada alas an dibalik penggunaan Taxi sebagai transportasi untuk melakukan mobilitas di luar rumah. Alasannya tentu selain karena kendaraan yang nyaman serta dapat langsung mengakses tempat tujuan tanpa perlu bersusah payah, Taxi pun memberikan layanan jemput bagi penggunanya. Hal tersebut tentu memudahkan Tunanetra pergi ke tempat yang diinginkan. Meski demikian, penggunaan Taxi oleh Tunanetra tersebut terbatas oleh kalangan tertentu saja. Pasalnya, meski kemudahan serta kenyamanan ditawarkan oleh alat transportasi satu ini, sebagian Tunanetra justru berpikir 1000 kali sebelum akhirnya menggunakan jasa transportasi tersebut. Kita semua tentu mengetahui alas an di balik penolakan terhadap penggunaan Taxi tersebut.

 

Seperti yang dikemukakan oleh salah seorang mahasiswi Tunanetra dari Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS) Semarang yang mengaku bahwa hanya dalam kondisi tertentu saja ia menggunakan jasa transportasi tersebut. Pasalnya, Eka Pratiwi Taufanti (22), mengaku tak rela jika harus menggelontorkan uangnya sebanyak Rp. 25.000,- sampai dengan Rp.30.000,- hanya untuk pergi ke suatu tempat yang sebetulnya jika menggunakan Bis Trans Semarang cukup dengan uang Rp. 3.500,-.

 

“Ya sayang-sayang uang segitu. Dari pada buat taxi mending buat makan. Buat makan sehari aja diirit-irit gak sampai segitu, masa Cuma buat pergi ke suatu tempat aja harus menggelontorkan uang sebanyak itu,” ucap mahasiswi dengan status anak kost tersebut.

 

Meski mengaku tak sampai hati menggelontorkan uang yang dianggapnya tak sedikit itu, tak berarti bahwa mahasiswi tersebut tak pernah menggunakan jasa Taxi. Dalam kondisi tertentu seperti pergi ke suatu tempat beramai-ramai dengan teman kuliah atau teman organisasi, ia lebih memilih menggunakan Taxi karena ia cukup menggelontorkan uang seadanya karena pembayaran yang dilakukan secara iuran dapat meringankan biaya perjalanan.

 

Namun, tahukah Anda jika di Kota Semarang ada alternative transportasi yang ramah bagi Tunanetra dengan biaya relative terjangkau dan merakyat???

 

“Ojek Taxi”, itu dia transportasi yang ramah dengan biaya terjangkau sekaligus merakyat…

 

Apa sebetulnya “Ojek Taxi”???

 

Ojek Taxi merupakan ojek sepeda motor dengan sistem argo. Jadi bisa dikatakan bahwa sistem tarif ojek taxi disesuaikan dengan argo yang berjalan. Penumpang yang menggunakan jasa ojek taxi tersebut hanya perlu membayar sesuai apa yang tercantum di argo. Perihal tariff yang digunakan, tentu tak setinggi Taxi pada umumnya mengingat Taxi yang satu ini hanya bermodal sepeda motor layaknya ojek-ojek pada umumnya. Biasanya Skuter Ojek tersebut menetapkan tariff Rp. 2.500,- per kilometer. Namun seperti halnya Taxi, Ojek Taxi ini pun menetapkan “Uang pintu” seharga Rp. 5000,-. Jadi, ketika ada Tunanetra atau penumpang yang menggunakan jasa Ojek Taxi tersebut sejauh 1 kilometer, ia dikenakan tariff Rp. 7.500,- mengingat “Uang pintu” yang ditetapkan ojek tersebut.

 

Perihal tampilan ojek taxi, tak ada yang berbeda dengan ojek lainnya. Ojek taxi adalah ojek yang hanya mengandalkan sepeda motor dengan berbagai jenis dan merk. Namun keunggulan ojek taxi ini terdapat pada sistem yang digunakan. Seperti tak ingin ketinggalan jaman, ojek taxi yang bernaung pada sebuah perusahaan ini menggunakan sistem telpon dan SMS. Jadi, jika ada penumpang yang ingin menggunakan ojek taxi, dapat melakukan pemesanan via telpon atau SMS. Ketika sudah dilakukan pemesanan, penumpang hanya perlu menunggu ojek tersebut datang menjemput dan siap mengantar kemana pun kita inginkan. Cocok kan untuk Tunanetra? Ya, Tunanetra tidak perlu kebingungan mencari transportasi di jalanan, hanya perlu telpon atau SMS maka jemputan pun akan datang. Mirip sekali dengan sistem yang dipakai oleh Taxi, bahkan ojek Taxi dilengkapi dengan struck pembayaran. Tak hanya itu, bagi Tunanetra perempuan yang kerap ragu dan cemas jika akan menggunakan jasa ojek, dengan ojek taxi tersebut Tunanetra perempuan dapat memilih driver perempuan pula. Namun driver perempuan tersebut masih terbatas jumlahnya.

 

Di Kota Semarang ini, ojek taxi cukup popular di kalangan Tunanetra, bahkan pihak ojek taxi tersebut mengaku bahwa Tunanetra di Kota Semarang menjadi penyumbang omset mereka. Seperti yang dikatakan Udin (23), banyak Tunanetra yang menggunakan jasanya secara rutin baik untuk pergi ke kantor, berkeliling ke rumah teman, atau menghadiri perkumpulan salah satu organisasi ketunanetraan bernama PERTUNI (Persatuan Tunanetra Indonesia).

 

“Alhamdulillah saya senang kenal dengan beberapa Tunanetra. Dari satu Tunanetra akhirnya menyebar ke Tunanetra lain, yang akhirnya menambah jumlah pelanggan ojek taxi. Setiap sore saya menjemput salah seorang Tunanetra yang bekerja sebagai marketing. Lalu biasanya pada hari Sabtu mengantar beberapa Tunanetra ke secretariat DPD PERTUNI Jawa Tengah, begitu pun sore harinya, mereka kami jemput,” ucap Udin, mahasiswa pada salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Semarang yang kerja part time menjadi driver ojek taxi.

 

Statement pun dilontarkan oleh Eka, mahasiswi Tunanetra yang sekaligus menjabat Bendahara di DPD PERTUNI Jawa Tengah dimana setiap hari Sabtu mengadakan rapat mingguan. Dengan adanya rapat tersebut, tentu Ekka harus pergi ke secretariat setiap hari Sabtu. Dan transportasi yang Eka pilih adalah ojek taxi tersebut.

 

“Ongkosnya lebih murah ketimbang taxi. Kalau taxi sampai Rp. 25.000- atau Rp. 30.000,-, dengan ojek taxi Cuma perlu bayar Rp. 12.500,-. Lebih murah. Selain itu, driver nya juga ramah, malah terkadang ada yang gombal,” ucap Ekka sambil terkekeh.

 

Keberadaan ojek pribadi memang sudah akrab dengan Tunanetra, baik di kota besar seperti Jakarta atau pun kota-kota lainnya. Namun, keberadaan ojek taxi yang dikelola secara professional seperti ojek taxi di Kota Semarang ini mungkin belum dijumpai di seluruh kota yang terdapat penyandang disabilitas seperti Tunanetra. Oleh karena itu, alternative transportasi umum yang ramah, biaya terjangkau dan juga merakyat adalah ojek taxi tersebut. Di tengah minimnya pelayanan transportasi yang ramah bagi Tunanetra, ojek taxi tersebut tentu bisa dijadikan referensi pendukung mobilitas Tunanetra di luar rumah. Jika Tunanetra di Kota Semarang menjadikan ojek taxi sebagai pilihan, bagaimana dengan kota lain seperti Bandung Jakarta atau kota lainnya??

Last Updated on 10 tahun by ekka Pratiwi Taufanty

Oleh ekka Pratiwi Taufanty

Kontributor kartunet.com. I just got my bachelor degree like a couple of months ago. Kuliah Sastra Inggris di Universitas Dian Nuswantoro. Nyambi jadi pengurus di DPD Pertuni Jawa Tengah juga. I'm a job seeker lol Suka banget sama nulis meski kurang komitmen juga lol Dulu pengen punya julukan "Penulis", tapi sekaarang gak mau. Lebih suka dipanggil sebagai seseorang yang suka nulis aja sih lol

3 komentar

  1. heheeheh iya mas, soal diskriminasi positif itu keinget temen sekelas yg juga tunet yg pas pelajaran speaking bahas aksesibilitas untuk tunnetra di bidang transportasi, dia bilang diskriminasi positif untuk hal itu ahhahaha..iya, orang indonesia itu super kreatif, ada aja idenya. tapi ya memang unik sih di semarang, entah di kota Jakarta ada tidak ojek semacam itu. soal diskusi kepenulisan, aku sadar tulisannya narsis gitu ahhaha…ya nanti aku mungkin kalo ada pendapat pribadi gitu aku masukin opini aja ya. aku gak ngeh kalau nama penulis bakalan keliatan di sini hehehehe..jadi malu. ya thank you mas Dimas atas masukan dan diskusinya. sangat membantu demi tulisan yang makin baik ke depannya. semoga aku bisa share tulisan lagi yg bisa didiskusikan bersama. thank you mas…

  2. oia, kita buka diskusi dikit ya. Sekalian saling belajar juga :0

    Dari segi penulisan artikel kamu sudah melakukan dengan sangat baik. Flow pada artikel mengalir dan enak dibaca. Cuma sedikit hal yang agak mengganjal adalah dengan narasumber dalam artikel yang juga penulis. Sebetulnya tak masalah. tapi hal ini agak sedikit “gimana gitu” ketika pembaca menyadari bahwa nama pembaca dengan narasumber itu sama. Seperti penulis yang mewawancarai diri sendiri. Kalo saran saya, kamu bisa sedikit ubah saja sudut pandangnya. Dari pada seolah-oleh mewawancarai diri sendiri, kamu bisa ubah komentar2 kamu mengenai ojek taksi di atas dari sudut pandang “aku” atau orang pertama. Jadi seperti penulis yang menceritakan opini pribadinya. Tak masalah ketika di opini berikutnya ditambahkan opini dari orang lain. Mungkin hal itu akan lebih enak lagi dibaca. #IMHO 🙂

  3. haha. orang Indonesia itu memang super kreatif ya. Ojek bisa dibuat sistem seperti taksi. Ini membuktikan kalo orang kita itu fleksibel. Termasuk ketika harus mengubah cara pandang mengenai disabilitas. dibutuhkan proses saja. salut.

    anyway soal diskriminasi positif itu. Mungkin lebih tepat jika istilahnya jadi pemenuhan hak ya. Sebab kita membayar dengan penuh seperti penumpang lain. Tentu konsekuensinya kita harus dapat hak yang sama dengan lainnya. Termasuk hak untuk aman dalam kendaraan umum. Karena sulit jika harus keluar masuk dari kerumunan di tengah-tengah bus, maka untuk memenuhi hak yang sama dengan penumpang lainnya diberikan fasilitas agar dapat duduk di dekat pintu bus.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *