PELANGI DAN CINTA

Tanggal 9 Desember 1988. Di Kabupaten Sleman Yogyakarta, ratusan tunanetra  berkumpul di Gedung Gelanggang Pemuda (Youth Center Yogyakarta). Tampak kesibukan di pagi itu sudah semakin ramai. Beberapa mitra bakti (relawan dan relawati) berkumpul di depan gedung pertemuan. Di samping mereka tampak tumpukan snek dan minuman siap dibagikan.

“Dengan demikian, sidang ini saya nyatakan ditutup!” kata Andri  lantang di tengah-tengah sidang organisasi yang ramai itu.

“Alhamdulillah….” Gumam seluruh peserta sidang bersyukur atas selesainya sidang yang melelahkan itu.

sebuah persidangan telah selesai dari semua persidangan Musyawarah Dewan Pleno Nasional organisasi tunanetra tersebut. Ya, sebuah organisasi yang mungkin tidak begitu terkenal di kalangan masyarakat umum. Organisasi yang memiliki anggota para tunanetra . Mungkin terkesan aneh dan agak asing di telinga masyarakat umum. Apakah tunanetra  juga bisa berorganisasi? Apakah bisa seorang tunanetra  juga bisa menyelenggarakan sebuah acara? Mungkin terselip pertanyaan-pertanyaan tersebut di hati masyarakat awam. Namun, itulah yang terjadi…. Ternyata mereka para tunanetra juga bisa berorganisasi, mereka juga bisa menyelenggarakan sebuah acara yang dinamakan Musyawarah Dewan Pleno Nasional. Sebuah acara yang membahas banyak hal. Di antara pembahasan yang diadakan di Musyawarah Dewan Pleno Nasional tersebut adalah masalah kemurtadan yang terjadi di kalangan Umat Islam khususnya di kalangan para tunanetra, masalah pemberdayaan ekonomi yang masih lemah di kalangan Rakyat Indonesia, masalah pemberdayaan para tunanetra di tengah-tengah masyarakatt awam dan masalah-masalah lain yang sedang menghangat di kalangan masyarakat luas. Mereka menyelenggarakan kegiatan itu direncanakan selama tiga hari tiga malam yang bertempat di Gedung Gelanggang Pemuda Youth Center Sleman Jogjakarta.

 

Setelah membubarkan persidangan, Andri salah seorang pengurus dari organisasi tunanetra tersebut tampak bergegas keluar dari ruang sidang. Di luar ruangan tersebut tampak berjajar para Mitra bakti yang membantu pelaksanaan acara tersebut sibuk membagi-bagikan snek dan minuman. Para relawan dan relawati ini adalah para pendamping tunanetra yang dibutuhkan setiap saat untuk membantu hal-hal yang tidak dapat dikerjakan oleh para tunanetra secara mandiri seperti membaca dokumen dalam bentuk visual, membagi-bagikan makanan kepada semua peserta musyawarah dan hal-hal lain yang tidak mungkin dilakukan oleh tunanetra.

 

“Mau kemana bang? Ini snek dan minumannya.” Tegur seorang mitra bakti kepada Andri yang baru keluar dari ruangan.

Ya, Andri tahu betul siapa pemilik suara itu. Dia adalah Dini Sarwani Hasibuan, salah seorang mitra bakti yang berasal dari Sumatra Utara yang berkenan membantu acara Musyawarah Dewan Pleno Nasional tersebut. Perkenalannya dengan Dini adalah ketika organisasinya membuka stand di salah satu perguruan tinggi di Jogjakarta untuk merekruit para relawan untuk menjadi mitra bakti atau pendamping para tunanetra dalam organisasi tunanetra tersebut. Organisasi tunanetra itu membutuhkan banyak relawan karena organisasi akan menyelenggarakan kegiatan Musyawarah Dewan Pleno Nasional untuk para tunanetra.

 

Akan tetapi, sebelum para relawan itu diterjunkan dalam kegiatan musyawarah, mereka wajib menerima trainning yang dilaksanakan oleh organisasi. Dan sebagai instruktur bagi para relawan dan relawati adalah mereka para pengurus tunanetra yang langsung membimbing mereka. Para instruktur tunanetra itu akan memberi tahu  bagaimana cara mendampingi dan memperlakukan para tunanetra dalam kehidupan sehari-hari.

“Untuk kegiatan sekarang adalah kegiatan empati game. Pada saat inilah para relawan akan mensedekahkan matanya bagi teman-teman tunanetra.”

“Bah, bagaimana pula itu bang? Masa kami harus mensedekahkan mata kami untuk tunanetra? Takutlah bang kalau harus mata kami dicopot dan disedekahkan kepada tunanetra.” Teriak salah seorang gadis dengan logat Batak yang kental memotong penjelasan Mas Yudi ketua dari training relawan itu.

“Hahaha….”

seketika tawa buncah dari semua peserta trainning yang hadir. Sebagian tertawa karena mendengar gadis itu berbicara dengan logat Batak yang menurut mereka lucu, sebagaian lagi tertawa karena mengetahui gadis itu salah paham dengan penjelasan Mas Yudi.

“Bukan begitu maksud saya mbak. Maksudnya mensedekahkan mata adalah kalian para relawan harus menjelaskan segala benda dan apa saja yang kalian lihat kepada teman-teman tunanetra.  Dengan begitu kalian dapat berbagi kepada tunanetra apa saja yang kalian lihat kepada tunanetra.” Jelas Mas Yudi sambil masih tersenyum geli.

“Oh, aku kira mata kami harus dicopot dan disedekahkan untuk tunanetra.” Jawab gadis itu malu.

“Enggaklah mbak, mereka para tunanetra tidak perlu diberi donor mata kok. Mereka masih punya mata yang normal kok. Betulkan An?” tanya Mas Yudi kepada Andri.

“Betuuul. Mata yang normal itu ya mata kaki maksud Mas Yudi iya kan mas?” jawab Andri sambil tertawa karena tahu kemana maksud pembicaraan Mas Yudi.

“hahaha….” Kembali para peserta trainning tertawa mendengar kelakar Mas Yudi dan jawaban Andri.

Akhirnya oleh Mas Yudi para relawan disuruh mendampingi para tunanetra dan berkeliling di sekitar Gelanggang Pemuda  Youth Center  tersebut. Mereka disuruh mendeskripsikan semua yang mereka lihat kepada tunanetra.

“Bang, ayo kita jalan. Kata Mas Yudi aku bagian mendampingi abang.” Kata  gadis yang tadi ditertawakan oleh peserta kepada Andri.

“Oh, rupanya mbak yang kebagian dampingi saya. Oklah, ayo kita jalan.” Kata Andri sambil berdiri dari duduknya.

Andri sendiri tidak begitu mengira bahwa yang akan mendampinginya dalam trainning relawan ini adalah gadis yang tadi bertanya kepada Mas Yudi.

“Bentar ya bang, aku mau ambil foto dulu…,” demikian kata Dini gadis yang tadi bertanya dan sekarang mendampingi Andri itu.

Sebetulnya Andri sedikit kesal kepada Dini gadis dari Sumatara Utara itu. Dalam berkeliling Gelanggang Pemuda itu Dini jarang sekali mendeskripsikan keadaan di sekeliling mereka. Dia malah sibuk memfoto benda-benda disekitarnya dengan tustel barunya. Katanya pemandangannya indah untuk difoto. Akan tetapi Andri tidak tahu sama sekali benda-benda apa saja yang disebut indah itu karena Andri tidak dijelaskan sedikitpun.

“Din, kan kata Mas Yudi kamu disuruh menjelaskan apa yang kamu lihat kepada saya. Kok malah sibuk dengan foto-foto sih.” Sergah Andri mengingatkan.

“Gampang bang, nanti aku jelasin setelah aku foto. Tunggu ya.” Jawab Dini santai sambil terus menjepretkan tustelnya.

“Emang yang kamu foto apa sih? ?” tanya Andri agak kesal karena tidak dijelaskan sedikitpun.

“Aku lagi foto pelangi bang. Indah banget lho pelanginya.” Kata Dini polos.

“Walah, disuruh mendeskripsikan alam sekitar kok malah memfoto pelangi. Ini nih, kayaknya gadis ini perlu diberi pelajaran.” Gumam Andri dalam hati agak jengkel.

Bagaimana tidak jengkel, Andri yang dari tadi berjalan bersamanya jarang dideskripsikan pemandangan sekitar. Eh sekarang dia malah memfoto pelangi yang bagi Andri pelangi itu hanya sebuah ketiadaan karena dari dia lahir dahulu, dia tidak pernah mengetahui bentuk dan warna pelangi yang katanya indah itu.

“Din, pelangi itu seperti apa sih? Apa dia panjang seperti ular atau kasar seperti batu karang atau seperti apa?” tanya Andri kepada Dini dengan menganalogikan pelangi seperti benda-benda yang bisa diraba.

Yah, pertanyaan Andri ini pasti akan timbul pula di hati-hati para tunanetra yang mengalami ketunanetraan dari sejak lahir. Mereka tidak akan tahu putih itu bagaimana, hitam itu seperti apa, yang mereka tahu ya benda-benda yang dapat mereka raba.

“Bah, pelangi itu ya tidak kasar atau panjang seperti ular bang. Pelangi itu indah berwarna-warni. Ada yang hijau, ada yang kuning, ada yang merah ya pokoknya mejikuhibiniu seperti pelajaran kita di SD itulah.” Jawab Dini menjelaskan sebisanya.

Pikir Andri, gadis ini memang sepertinya belum bisa menjelaskan sesuatu hal yang dilihatnya secara detail kepada tunanetra. Dalam penjelasannya dia ingin padat jelas singkat. Demikian pikiran Andri.

“Tapi Din, warna hijau itu, merah, kuning itu seperti apa? Saya kan tunanetra sejak lahir. Jadi sebetulnya warna merah itu sepeti apa? Apakah warna merah itu kasar seperti karang di tepi pantai itu? Atau bagaimana?” pancing Andri agar Dini bisa menjelaskan kepada tunanetra.

Sejenak, suasana menjadi hening. Dini tampak terdiam sesaat. Dia merasa bingung bagaimana menjelaskan macam-macam warna yang dilihatnya itu. Dia tidak menyangka kalau ternyata tunanetra sejak lahir untuk tahu warna saja sampai tidak terbayang seperti itu. Dini memasukan kamera tustelnya ke dalam saku. Dia memandangi wajah Andri sejenak. Terbayang olehnya, betapa kasihannya tunanetra di hadapannya itu. Warna saja dia tidak tahu.

“Ma maaf bang, Dini tidak bisa menjelaskan warna itu seperti apa. Tapi yang jelas warna-warni yang terjadi pada pelangi itu indah sekali.” Jawab Dini perlahan karena takut menyinggung perasaan Andri.

“Bagi kami Din, pelangi itu seolah tidak ada. Kamu mau bercerita tentang indahnya pelangi itu seperti apa juga saya tetap tidak akan tahu hadirnya pelangi itu di langit sana. selamanya pelangi itu takan dapat saya raba. Maka selamanya pelangi itu bagi saya tidak ada.” Jelas Andri yang benar-benar mengungkapkan perasaannya karena sejak dulu dia selalu kecewa mendengar adiknya berbicara tentang pelangi yang tidak pernah ia rasakan keberadaannya.

Kembali keduanya terpekur dalam diam. Dini kembali tidak tahu bagaimana menjelaskan kepada Andri tentang keindahan pelangi.

“Oh betapa kasihannya tunanetra di depanku ini. Oh betapa beruntungnya aku yang masih diberi kenikmatan memandang pelangi yang indah itu. Oh ingin rasanya aku bercerita tentang indahnya pelangi itu kepadanya. Tapi bagaimana mungkin.” Begitulah gumam Dini dalam hati.

“Din, kalian dapat melihat berbagai macam kenikmatan Allah sebanyak-banyaknya. Tapi kami, kami hanya terbatas dalam indra-indra kami yang masih dikaruniakan kepada kami. Seharusnya kalian mensyukuri kenikmatan Allah yang dianugarahkan kepada kalian.” Kata Andri pelan namun menghunjam tajam ke dalam hati Dini.

“Iya bang, aku baru sadar ternyata betapa besar Allah menganugrahkan kenikmatan kepada kami. Saat ini aku belum tahu caranya menghadirkan pelangi ciptaan Allah itu di hatimu. Tapi aku punya tekad bang, suatu saat aku pasti bisa menjelaskan kepadamu tentang pelangi itu. Aku yakin suatu saat kamu akan betul-betul merasakan indahnya pelangi itu dalam hatimu.” Jelas Dini dengan tekad yang kuat.

Dari saat itulah Dini dan Andri mulai dekat. Empatinya mulai terbangun dari saat itu. Sejak saat itu pula kecuekan Dini mulai hilang. Setiap mendampingi para tunanetra, sebisa mungkin dia akan menjelaskan apa yang dilihatnya.

***
>

Last Updated on 4 tahun by Redaksi

Oleh Fidi Rukmana

seorang tunanetra yang ingin terus belajar

2 komentar

  1. terima kasih untuk kontribusinya. Cerpen yang menarik. Namun ada baiknya dapat dibuat lebih ringkas dengan satu konflik dan klimaks cerita. Tetap semangat dan terus produktif berkarya 🙂

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *