difabel/penyandang disabilitas bukanlah rakyat nomor dua di negeri ini. Dalam membangun bangsa untuk menuju bangsa yang besar sudah seharusnya pemerintah juga memperhatikan hak difabel. Selain hak untuk memperoleh pendidikan yang mutlak harus diterima oleh difabel, ada juga hak politik yang tidak boleh dikesampingkan. Hak untuk memilih atau memberikan suaranya untuk memilih para pemimpin negeri juga harus didapat oleh difabel dimana penyandang disabilitas/difabel dapat dengan mudah menuju ke tempat pemungutan suara (tps), dan dapat memanfaatkan fasilitas yang disediakan oleh pihak komisi pemilihan umum.
Berdasarkan laporan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilihan untuk Rakyat (JPPR), melaporkan bahwa belum semua tempat pemungutan suara yang disediakan oleh Komisi Pemilihan Umum menerapkan prinsip-prinsip aksesibelitas. Dijelaskan juga oleh M. Afifuddin dari JPPR bahwa tiap penyandang disabilitas mempunyai tantangan sendiri dalam melaksanakan proses Pemilu. Oleh sebab itu, TPS yang disediakan seharusnya dapat memnuhi syarat aksesibilitas.
Sementara data yang berhasil dihimpun oleh General Election Network for Disability Access (AGENDA), dari 470 TPS tahun lalu (2014) hanya 74 TPS (16%) yang memenuhi syarat aksesibilitas. Sisanya 84% atau 396 TPS belum memenuhi prinsip-prinsip akseseibilitas.
Dari perbandingan jumlah persentase yang masih sangat jauh dari kata cukup, hal itu sangat disayangi mengingat untuk memenuhi syarat aksesibilitas bukan hal yang sulit. Misalnya saja, penyandang disabel/difabel memperoleh pelayanan yang ramah dan mengerti disabilitas dari panitia Pemilihan Umum, kemudian tempat pemungutan suara yang cukup luas sehingga penyandang disabilitas bisa bergerak dengan mudah, dan tempat atau jalan menuju ke tempat pemungutan suara tidak licin. Kalau hal-hal seperti itu bisa diwujudkan oleh komisi Pemilihan Umum, bukan tidak mungkin penyandang disabilitas akan berperan aktif dalam Pemilihan Umum karena sudah memperoleh kenyamanan.
Dikutip dari viva news.com 6 Juni