Pengganti Hidup

Ia terus memandangi paras cantik perempuan itu. Seperti baru saja mendapatkan ilham, Pras seperti teringat sesuatu saat memandangi perempuan itu. Ia tanpa sadar membuka dompet kulitnya dan mengeluarkan lipatan kertas hasil print out foto seorang perempuan yang didapatnya sebulan lebih yang lalu. Ia terkesiap, ketika memandangi gambar dalam foto itu dan mencocokkan dengan perempuan yang ada di seberangnnya. “Memang persis sekali, sama cantik. Tapi sepertinya ada yang beda,” Pras masih memindah-mindah pandangannya dari foto itu dan sosok asli di seberangnya. “Dia yang sekarang tampak sedikit murung,, sedangkan yang di foto ini cerah ceria sekali. Walaupun begitu, tetap tidak mengurangi kadar kecantikan pada wajahnya. Ada apa ya?”. Beberapa menit dalam keterbiusan memandangi wajah Nadia, bis itu kembali berhenti mendadak dan lebih membuat Pras kaget kali ini. Tapi Ia tidak sempat mengumpat, karena Ia memperhatikan langkah-langkah Nadia yang beranjak menuruni bis di salah satu jalan pusat kota Yogyakarta. Pras tidak melakukan apa-apa. Ia masih belum yakin apakah Ia adalah Nadia yang Ia temui tempo hari, lagi pula Ia juga belum terlalu mengenal kota ini. Jadi kalau mau kemana-mana, ya fikir-fikir dulu.
*****

Hari itu masih dalam suasana pagi yang sejuk. Langit mendung seakan tahu apa yang sedang terjadi di salah satu belahan bumi ini. Atau mungkin sebagai tanda ikut bersedih akan perasaan hati Pras pada saat itu. Ia tiba di terminal, di sana mengatakan bahwa semua bis yang jurusan ke Yogya, di batalkan. Tidak ada bis yang bisa mencapai kota yang sudah hancur tersebut. Semua jalur transportasi hancur lebur dan hanya sebagian kecil yang masih dapat dilalui, dan itu tidak diperuntukan bagi umum. Sebelum ini Pras sudah menghubungi agen tiket untuk pesawat terbang, tapi ternyata Adi Sucipto dan Sumarmo ditutup. Sehingga tidak ada lagi airport terdekat ke daerah tersebut. Kemudian jalur terakhir yang cepat adalah kereta. Tapi jika kereta paling dekat jika turun di Solo. Tapi untuk ke daerah langsungnya tidak dapat dicapai. Karena hanya untuk jalur bantuan saja yang dapat.

Seperti ada yang menuntun langkahnya, Pras bergegas menuju ke PMI pusat. Ia di sana segera menemui koordinator untuk pemberangkatan relawan pada daerah bencana. Di sana Ia langsung diterima dan masuk pada pemberangkatan yang kedua karena Ia agak telat sedikit. Lalu pemberangkatan itu baru bisa dilakukan pada malam hari karena masalah birokrasi yang berbelit-belit.

Menunggu selama lima jam, Ia dan para relawan lainnya diangkut ke bandara halim Pradana kusuma untuk naik Hercules bersama bantuan logistik dan kesehatan yang lainnya. Di sini dia juga bersamaan dengan para tentara yang ikut serta membantu penanggulangan bencana. Jika tidak sedang keadaan yang seperti ini, Ia pasti akan bangga sekali karena menganggap dirinya akan ikut perang yang hal itu sangat keren. Tapi sekarang pandangannya menerawang jauh pada kaca jendela pesawat yang di sana hanya terlihat langit biru dan kabut-kabut putih yang menyelimuti fikirannya.
*****

Sebulan sudah Pras menjalani studinya di universitas yang baru dimasukinya. Pelajarannya di sini berjalan lancar kecuali ada satu hal yang mengganjal. Ia sering kali berpapasan atau menatap dari jauh perempuan cantik yang ada di dalam foto hasil chattingnya itu. Pras tak berani langsung bertemu atau bahkan mendekati perempuan itu. Ia masih belum yakin apakah dia kah yang diharap-harapkannya. Karena Nadia yang diamatinya sekarang ini kelihatan lebih murung dan tidak bergairah dalam hidup. Sering kali Ia bertanya kepada teman satu kelas yang mungkin mengenalnya. Sampai suatu kali Ia bertanya kepada teman wanita satu kelasnya. Temannya itu mengaku bahwa Ia teman satu SMA dengan nadia itu. Sehingga barulah Pras merasa yakin bahwa Perempuan itu benar-benar Nadia.*

21 September 2002, 04:12 PM Di suatu sudut kampus.

Pras selama ini menjadi detektif bagi dirinya sendiri. Ia sering mengamati Nadia duduk di satu sudut kampus pada akhir jam pelajaran dan di sana Ia merenung sendiri serta kadang-kadang diakhiri dengan sebuah tangisan. Pada saat ini, Pras memberanikan diri untuk menemui Nadia pada saat hal tersebut sedang terjadi. Memang bukan moment yang tepat, tapi hati kecilnya menyatakan lain.

Pras mulai melangkah mendekat ke arah nadia yang duduk di lantai membelakanginya. Dengan langkah-langkah kucing yang tak bersuara, Pras ikut duduk di samping Nadia. “hai Nadia, Aku boleh menemanimu?”. Tak ada jawaban dari mulut indah Nadia. Ia masih menatap kosong ke bawah. Setelah beberapa detik, Pras mencobanya lagi. “nadia, Nadia, boleh aku menemanimu?”, “Oh kamu, dari mana kamu tahu namaku?, kita kan belum pernah bertemu sebelumnya” tanya Nadia sedikit curiga, tapi tetap tidak jutek. Pras merasa sedikit senang karena Nadia sudah mau menanggapinya sekarang. “Awal yang tidak terlalu buruk!” kata pras dalam hati. Pras segera mengeluarkan secarik kertas hasil print out foto dari dompetnya dan menunjukannya kepada Nadia. “Kita sudah pernah ketemu, lebih tepatnya chatting lewat messanger sebelumnya”, “Oh jadi kamu Pras”, “Dari mana kamu tahu?”, “Tentu saja, aku hanya sekali chat dan itu pun hanya kebetulan. Jadi hanya kamu orang yang pernah chat lewat messanger denganku”. Seperti mendapat angin, Pras merasa pd sekali karena Nadia masih mengingat namanya sampai sekarang. Setelah itu, terdapat beberapa menit kekosongan di antara mereka. Pras tidak tahu lagi apa yang harus diobrolkan olehnya. Sebenarnya ada satu pertanyaan yang ingin sekali ditanyakannya. Tetapi ia takut jika hal itu akan menyinggung perasaan Nadia. “Nadia, ada sesuatu yang ingin ku tanyakan padamu. Kamu sepertinya yang sekarang dengan yang di foto itu agak berbeda?”, “Berbeda apanya?”, “Kamu yang sekarang lebih murung”, “Jadi kamu selama ini menyelidikiku ya!”, “Aku tidak bermaksud apa-apa, tapi aku hanya ingin menjadi temanmu. Kalau kau ingin kamu bisa membagi masalah itu denganku”.

Nadia kembali mengalihkan pandangannya kosong ke arah bawah. Ada kesunyian kira-kira lima menit antara mereka pada saat itu. Pras sudah mulai gusar. Jika Ia telah menyinggung perasaan Nadia. Saat ia sudah mulai mempertimbangkan untuk meninggalkan Nadia, Ia mendengar seperti ada suara isak tangis di sebelahnya. Ternyata benar, itu tangis Nadia. Pras sekarang lebih merasa iba kepada perempuan cantik itu. Ia sangat tidak tega sekali jika melihat seorang perempuan menangis. “Ayahku meninggal dua bulan yang lalu,” kata Nadia yang lirih sekali sampai-sampai Pras tidak dapat mendengarnya. Nadia menceritakan segalanya kepada Pras. Ia menceritakan dari sejak ayahnya meninggal dunia, Ia merasa sangat kehilangan sekali akan sosok ayahnya itu. Pras terus terdiam mendengarkan kata demi kata Nadia dengan seksama. Ia berusaha dapat berempati dengan apa yang telah dialami oleh Nadia. Ia memang tidak kehilangan orang tua, tapi Ia seperti tidak memiliki kehangatan orang tua dengan ketidak harmonisan hubungan anak dan orang tua antara mereka. Pras mengerti betapa Nadia sekarang membutuhkan sosok lelaki yang dapat menjadi seorang pelindung baginya. Rasa untuk memiliki Nadia hanya sebagai cewe yang untuk dimain-mainin saja sekarang sudah hilang. Hanya rasa cinta untuk melindungi Nadia yang ada sekarang.

Awan mendung mulai berarak menaungi di mana mereka berada. Hujan mulai turun. Dari gerimis, menjadi semakin deras, dan deras. Tangis Nadia semakin meluap-luap seiring derasnya hujan. Pras memandang tetesan air hujan yang ada di hadapannya jatuh ke bumi dan mengalir dalam parit-parit yang akan membawanya ke suatu daerah yang jauh. “Luapkan perasaanmu Nadia, buang semua keluh kesah yang membelenggumu. Buanglah itu dalam air matamu yang akan membawanya menjauh dari dirimu,”. Terdengar petir yang menyambar agak jauh dari pendengaran. Nadia masih terus menangis dan Ia memeluk Pras kemudian menyandarkan kepalanya di dada Pras. “Menangislah Nadia, Jika itu dapat membuatmu lebih baik. Mulai sekarang Aku ingin menjadi teman mu. Menjadi pelindung yang akan selalu menjagamu”. Kata-kata itu sepertinya mengalir saja dari mulut Pras. Sepertinya mereka merasa sudah sangat dekat. Seperti sudah merupakan teman sejak kecil. Pras dengan lembut membelai punggung Nadia yang sekarang tangisannya sudah mulai mereda.

Last Updated on 13 tahun by Dimas Prasetyo Muharam

Oleh Dimas Prasetyo Muharam

Pemimpin redaksi Kartunet.com. Pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang lalu ini hobi menulis dan betah berlama-lama di depan komputer. Lulus dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia 2012, dan pernah merasakan kuliah singkat 3 bulan di Flinders University, Australia pada musim semi 2013. Mengalami disabilitas penglihatan sejak usia 12 tahun, tapi tak merasa jadi tunanetra selama masih ada free wifi dan promo ojek online. Saat ini juga berstatus PNS Peneliti di Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Kunjungi blog pribadinya di www.dimasmuharam.com.

4 komentar

  1. hahahhaha, ini beneran ga si ceritanya??? ngakak ketawa. emang bgitu ya laki2 bocah tengil, suka pamer ke temen2nya 😀

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *