Pengganti Hidup

Pras mengantar Nadia pulang ketika hari sudah mulai malam. Sesampainya di sana, Ia diperkenalkan kepada satu-satunya orang yang tinggal di rumah itu selain Nadia. Ia adalah Ibu dari Nadia. Wanita yang sudah setengah baya itu memiliki sikap yang sangat ramah, hangat, dan bersahabat. Pras seperti merasa dekat sekali dengan sosok seorang Ibu yang selama ini Ia dambakan. Hal yang tidak Ia temui pada orang tuanya. Nadia menghidangkan the hangat dan makanan kecil kepada kami yang sedang mengobrol. Sekarang ekspresi wajah Nadia sudah cerah ceria kembali dan kelihatan lebih manis lagi. “Nduk, kamu sudah tidak bersedih lagi nak?” tanya Ibu itu kepada Nadia yang sedang menata gelas. Nadia tidak menjawabnya. Ia hanya tersipu malu dan bergegas meninggalkan Pras dan Ibunya. Raut wajah Ibu itu bahagia sekali ketika Ia menatap Pras. “Terima kasih ya nak, ini semua pasti berkat nak sehingga Nadia bisa ceria lagi!”, “Ah tidak bu, kami baru saja ketemu hari ini”, “Sekali lagi, terima kasih ya nak!”. Tidak terasa Pras sudah bercakap-cakap dengan Ibu itu cukup lama. Kira-kira pukul sembilan malam Pras minta diri untuk pulang. Sebenarnya Ia sangat berat sekali meninggalkan keluarga itu. Keluarga yang baru dikenalnya tetapi sudah seperti keluarga sendiri. “andaikan itu benar-benar terjadi,” do’a Pras dalam hati.
*****

Pesawat terbang raksasa itu sekarang mendarat di kota Semarang. Pras turun dari situ dan segera diarahkan bersama relawan-relawan yang lain untuk naik mobil-mobil tentara untuk sekarang melewati jalan darat menuju langsung tempat bencana. Pras memandangi kota itu, kota yang masih terlihat sama dari semenjak satu dua tahun yang lalu. Kenangan manis bersama Nadia terulang lagi di benaknya.

*****
Setahun sudah Pras berkuliah di universitas itu. Studinya lancar dengan nilai-nilai yang baik. Selama liburan antar semester atau akhir tahun, Ia tidak pernah pulang ke Jakarta untuk menemui orang tuanya. Ia hanya menghabiskan waktunya dengan pergi menginap di rumah Kakek Neneknya atau berjalan-jalan dengan Nadia. Ia juga sering mengajak Nadia untuk berkunjung ke tempat kakek neneknya itu. Kakek dan Neneknya menyambut hangat Nadia. Mereka mengatakan bahwa Nadia itu adalah perempuan yang baik dan calon istri yang ideal. Pras hanya bisa tersenyum-senyum kecil dan diam-diam mengamini harapan tersebut dalam hati.

Pernah pada suatu malam liburan tahun ketiganya di universitas, Pras mengajak Nadia untuk melancong ke kota Semarang. Pras beranggapan bahwa mereka sudah bosan dengan hanya berkutat sekitar Yogyakarta, solo, dan paling banter ke pantai Parang Tritis. Sekarang Ia ingin mengajaknya menikmati suasana di pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Setelah sampai sore menikmati berdua suasana pelabuhan di Tanjung Emas, mereka makan dulu di kota itu. Di sana mereka banyak ngobrol tentang berbagai masalah kecil. Pras menikmati tawa dari Nadia yang tidak pernah dilihatnya ketika Ia baru pertama kali mengamati Nadia. Mereka tidak pernah membicarakan tentang cinta atau hubungan mereka sama sekali. Pras juga tidak pernah menyatakan cintanya kepada Nadia secara langsung. Hubungan seperti inilah yang lebih dari sekedar pacaran. Ia bahkan menganggap Nadia sudah seperti adiknya sendiri. Perasaan yang membuatnya dapat lebih dekat bagai saudara ini, walaupun jika ke mana-mana berdua orang pasti akan melihat mereka sebagai sepasang kekasih. Tak pernah ada maksud untuk menyakiti, atau bahkan berbuat macam-macam yang kelewat batas. Hanya ada rasa untuk melindungi Nadia seutuhnya. Dialah mutiara yang paling cerah kemilaunya dalam samudera yang di dalamnya terdapat jutaan mutiara lainnya.

Sebelum jam sembilan malam mereka sudah tiba di depan rumah Nadia. Ketika Pras sudah mau berpamitan dengan Nadia, handphonenya berdering. “Ya Hallo, ada apa kak?. Apa!!” Pras terkejut ketika mendengar berita apa yang sedang diutarakan kakaknya dari ujung sana. Rasa keterkejutan itu hanya beberapa detik terlihat di wajahnya. Setelah itu Ia terus mendengarkan penjelasan Kakaknya dengan ekspresi yang sudah normal lagi. “Ada apa Pras, ada yang serius?” tanya Nadia ketika Pras mematikan hubungan telephone itu. “Iya, orang tuaku meninggal dunia satu jam yang lalu,” ujar pras dengan nada biasa. “Oh, Aku turut berduka cita. Sekarang apa yang mau kamu lakukan?”, “Terima kasih, Sekarang Aku harus ke Jakarta”, “Bolehkah Aku ikut untuk memberikan penghormatan terakhir?”, “Ah tidak usah, terima kasih atas simpati darimu. Aku tidak ingin Ibumu mengkhawatirkanmu. Aku lebih mencintai keluarga kalian dari pada apapun!”, “Mengapa kamu bilang begitu?”, “Karena mereka bukan orang tuaku sebenarnya. Kakakku baru menceritakannya tadi. Oleh karena itu mengapa Aku tidak pernah merasa dekat dengan mereka”. Terlihat ada ekspresi ketidak percayaan Nadia di wajahnya. “Aku pamit dulu ya, Assalamualaikum!” ucap pras menutup percakapan itu agar tidak mendapat berbagai pertanyaan lagi dari Nadia.

Pras segera menjemput Kakek Neneknya yang ada di Solo untuk bersama-sama terbang ke Jakarta. Di sana Pras ikut melakukan prosesi pemakaman kedua orang tuanya yang meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Sesampainya di rumah, Pras kembali di jelaskan mengenai hal ikhwalnya bahwa ia adalah seorang anak pungut. Walaupun begitu, Pras tetap menghargai dan menghormati kedua orang tuanya itu yang telah membesarkan dan mendidiknya selama ini. Ia mendapatkan warisan dari orang tuanya hanya berupa rumah yang ditinggali oleh dirinya dan orang tuanya itu. Rumah itu untuk sementara Ia biarkan kosong, dan hanya dirawat oleh pembantu yang selama ini bersama keluarga itu. Rencananya nanti rumah itu akan dijadikan rumah untuk merawat anak Yatim Piatu yang akan dia kelola dan mungkin juga dengan Nadia.
*

Setelah kembali lagi di Yogyakarta, Ia jadi lebih sering untuk menginap di rumah Kakek dan Neneknya yang sebenarnya bukan. Tapi mereka menganggap Pras seperti cucu-cucunya yang lain, bahkan lebih. Sehingga Pras sangat menyayangi mereka. Selain itu Pras juga jadi lebih sering berkunjung ke rumah Nadia walaupun hanya mengobrol di teras dengan Ibunya. Di sana Pras seperti mendapatkan kehangatan sebuah keluarga yang sebenarnya. Ibunya Nadia sudah Ia anggap seperti Ibunya sendiri yang nantinya akan menjadi resmi jika Ia menikah dengan Nadia.
*****

Hari sudah mulai pagi lagi. Mentari redup yang masih tertutup kabut membias menerangi bumi yang sudah semakin tua ini. Pras terbangun ketika mobil terguncang melewati jalan-jalan Yogya yang sebagian besar sudah retak-retak. Semuanya berbeda 180º. Kiri kanan jalan yang biasanya berderet-deret kios-kios, sekarang hanya reruntuhan puing-puing yang tidak bernilai. Tak ada lagi orang-orang yang lalu lalang ramai dengan cerianya di pinggir jalan, sekarang hanya terlihat manusia-manusia yang terkulai tak berdaya terluka atau mati karena reruntuhan bangunan. Mobil yang Pras tumpangi berhenti di pinggir sebuah lapangan yang di sana terdapat tenda-tenda darurat. Saat Pras menginjakan lagi kakinya di tanah Yogya, Hatinya sakit. Kesedihan yang luar biasa menerpanya. Bukan hanya karena pemandangan yang baru saja dilihatnya, tapi karena penyesalannya yang dibuat terhadap Nadia.

*****
Hampir genap empat tahun sudah Pras studi di Yogya. Sekarang ia sudah lulus dan diwisuda dengan titel sarjana sastra. Wisudanya juga berbarengan dengan Nadia yang berhasil pula menjadi seorang sarjana. Kakek neneknya dan Ibu dari Nadia datang untuk menyaksikan acara tersebut. “Bagaimana rencanamu setelah ini?” tanya Nadia setelah acara wisuda itu berlangsung. “Mungkin Aku akan tinggal di sini kira-kira satu bulan untuk cari pekerjaan, atau..”, “Atau apa?” cemas Nadia. “Atau, Aku akan kembali ke Jakarta untuk cari pekerjaan di sana”. “Aku akan membantumu mencari pekerjaan di sini Pras. Supaya Aku bisa selalu dekat denganmu!”, “Terima kasih Dia!” Ujar Pras sambil menggenggam tangan Nadia.

Selama waktu satu bulan itu Pras terus mondar-mandir mencari pekerjaan. Ia mencoba melamar pekerjaan sebagai translater di berbagai perusahaan asing, tetapi semua pekerjaan itu sudah penuh. Dalam keadaan yang sulit itu dan keuangan yang semakin menipis, Pras mulai merasa frustasi. Ia jadi jarang berkomunikasi dengan Nadia apa lagi main ke rumahnya. Akhirnya Ia membuat suatu keputusan untuk berangkat ke Jakarta dan mencari pekerjaan di sana. Dibelinya tiket pesawat untuk tiga orang dengan maksud mengajak Nadia dan Ibunya ke Jakarta pula.

Setelah membereskan semua barang-barangnya, Ia berangkat ke rumah Nadia dengan perasaan yang sudah agak baikan dari sebelumnya. Ia tiba di jalan depan rumah Nadia. Di sana Ia melihat sebuah mobil yang parkir di situ. Tak lama kemudian, Seorang pemuda yang usianya kira-kira lebih tua sedikit darinya keluar diikuti dengan seorang perempuan cantik yang sudah dikenalnya. “Ada apa Nadia dengan orang itu?” curiga Pras sambil mengikuti dari belakang. Mereka berjalan berdua beriringan menuju rumah Nadia. Di tempat agak licin yang sudah mendekati pintu rumah, tiba-tiba Nadia tergelincir. Tubuh indah itu segera ditangkap dan dipeluk oleh pemuda yang berjalan dengannya barusan. Melihat adegan itu, Pras dengan fikiran yang sedang tidak karuan langsung terbakar hatinya. “Nadia!!!” teriaknya tidak terkendali. Nadia menoleh dan terlihat ekspresi sangat terkejut di situ. Tanpa berkata apa-apa lagi, Pras segera membalikan badan dan berjalan menjauh dari rumah Nadia.*

Di bandara Maguo, Pras duduk pada ruang tunggu pemberangkatan. Di sana Ia menatapi handphonenya yang sedari tadi berdering dan menampakan nama serta wajah Nadia yang cantik sedang tersenyum padanya. Pras tidak memperdulikannya. Ia menggenggam dua tiket pesawat yang sekarang tidak terpakai dan merobek lalu membuangnya dalam tong sampah. Saat pengumuman bahwa pesawat akan segera berangkat, Pras mengnon aktifkan handphonenya dan bergegas menuju pesawat terbang.

Ia melirik jam tangannya setelah mengenakan seat belt. 11:30 PM, 26 Mei 2006. Hari ini hari jum’at tepat empat tahun lebih sedikit yang mengawali pertemuan antara mereka. Hari yang mengawali dan mengakhiri semua. “Nadia, kau tetap mutiaraku, Kau tetap yang terindah.” Sesal Pras dalam hati. Pras menyandarkan kepalanya ke kursi pesawat yang empuk. Dicobanya untuk mengistirahatkan fikirannya dari segala kepenatan yang merusak segala keindahan selama empat tahun terakhir ini. Ia tidak mengetahui hal besar apa yang akan terjadi beberapa jam setelah pendaratannya di Jakarta. Hal sangat besar yang merenggut semua kenangannya.
*****

Last Updated on 13 tahun by Dimas Prasetyo Muharam

Oleh Dimas Prasetyo Muharam

Pemimpin redaksi Kartunet.com. Pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang lalu ini hobi menulis dan betah berlama-lama di depan komputer. Lulus dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia 2012, dan pernah merasakan kuliah singkat 3 bulan di Flinders University, Australia pada musim semi 2013. Mengalami disabilitas penglihatan sejak usia 12 tahun, tapi tak merasa jadi tunanetra selama masih ada free wifi dan promo ojek online. Saat ini juga berstatus PNS Peneliti di Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Kunjungi blog pribadinya di www.dimasmuharam.com.

4 komentar

  1. hahahhaha, ini beneran ga si ceritanya??? ngakak ketawa. emang bgitu ya laki2 bocah tengil, suka pamer ke temen2nya 😀

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *