Pengganti Hidup

Pras melaksanakan tugasnya sebagai seorang relawan di daerah bencana. Ia membantu mengevakuasi korban baik yang luka-luka atau yang sudah meninggal. Setelah Ia merasa sudah cukup melakukan tugasnya, Ia menyelinap dari pekerjaan itu untuk melakukan maksud utamanya datang kembali ke kota ini. Langkah-langkahnya cepat menyusuri jalan-jalan yang sudah rusak di bawah teriknya terpaan sinar mentari. Ia sangat hafal sekali jalan-jalan itu semenjak empat tahun yang lalu.

Ia tiba di depan halaman sebuah rumah yang keadaannya tidak terlampau parah. Tetapi ada kerusakan yang cukup berarti di bagian samping kanan rumah itu. Bagian itu yang baru disadarinya adalah tempat kamar Nadia. Dalam hati ia berdo’a agar tidak terjadi apa yang sedari tadi dikhawatirkannya. Terlintas lagi kenangan-kenangan manis bersama Nadia ketika mulai ditapakinya halaman rumah yang kelihatannya sepi. Dibayangkannya rumah itu masih utuh dan terngiang suara-suara ceria dari Nadia di telinganya. Lamunannya terpecah ketika Ia rasakan ada orang yang memeluknya erat. “nak Pras, Ibu senang masih bisa bertemu dengan nak Pras!” terdengar isak tangis histeris dari seorang Ibu yang dikenalnya sebagai Ibu dari nadia. “Alhamdulillah Ibu tidak apa-apa. Di mana Nadia bu?” tanya Pras terburu-buru tak bisa menyembunyikan keriangannya. “nadia, Nadia nak Pras. Ia sudah….” Tak sanggup mengeluarkan kata-kata lagi, Ibu itu memberikan sebuah lipatan kertas dari saku dasternya. Pras menerima kertas itu dan bergerak membelakangi Ibu Nadia. Kertas itu sebenarnya masih baru dipakai, tetapi keadaannya lusuh karena kotoran debu batu bata. Mulai dibukanya lipatannya. Tertuliskan huruf-huruf rapi tulisan tangan Nadia. Di bagian akhir dari surat itu, huruf-hurufnya agak berantakan sepertinya ditulis dengan terburu-buru, dan terdapat juga beberapa bercak darah di situ.

Dear Pras,

Maafkan aku jika telah menyakiti hatimu. Aku belum sempat mengatakan yang sebenarnya padamu, dan aku harap semuanya belum terlambat.
Saat kau melihatku yang terakhir kalinya itu, laki-laki itu adalah sepupuku yang mengepalai sebuah biro perjalanan. Aku bermaksud untuk mengenalkannya denganmu agar Ia mau memberikan pekerjaan. Aku tahu kamu sedang kesulitan dalam mencari pekerjaan, jadi aku putuskan karena kamu ahli dalam beberapa bahasa asing dan punya pengetahuan yang cukup luas, jadi menjadi seorang guide adalah pekerjaan yang cocok menurutku.

Aku akan ke Jak…
Pras, aku harap kita akan dapat bertemu lagi, yang aku juga tidak yakin dengan hal itu. Walaupun aku harus pergi untuk selamanya, hanya satu pintaku. Maafkan aku dan kenanglah aku untuk selamanya. Aku yakin kamu akan membaca surat ini, walaupun aku tak di sisimu, tapi cintaku akan tetap abadi.

Na di a.

Kata-kata yang terakhir itu sudah sangat tidak terlihat jelas. Banyak sekali bercak darah yang menutupinya. Sekarang tulisan-tulisan itu makin kabur setelah air mata Pras jatuh satu per satu membasahinya. Air mata yang sudah ditahannya sedari tadi yang Ia sendiri tak ingin melakukannya. Penyesalannya sekarang sangat menyiksanya. Ia telah menyakiti hati Nadia yang sangat baik itu. Nadia tahu semua yang Ia butuhkan. Menjadi seorang pemandu wisata adalah satu-satunya pekerjaan yang tidak terlintas di fikirannya sebelumnya. Ia menguasai 4 bahasa yaitu perancis, spanyol, jerman, dan Jepang. Tentunya bahasa Indonesia dan Inggris tidak masuk dalam hitungan bahasa yang sulit baginya. Ia juga hobi jalan-jalan ke tempat-tempat yang unik. Dirinya sendiri tidak menyadari, tapi malah Nadialah yang lebih mengerti. 27 Mei 2006, puncak cinta Pras terhadap Nadia yang tidak dapat dipisahkan oleh maut sekalipun. Ia akan tetap mengenang mutiara itu, mutiara terindah dalam samudera yang luas.

*****
Pengganti Hidup

Pras harus kembali ke Jakarta setelah menjadi relawan salama 2 minggu. Telah diajaknya Ibu dari Nadia untuk pergi bersamanya ke Jakarta. Tapi Ia menolak. Masih cukup banyak sanak saudaranya yang ada di sini, katanya. Tapi Ibu itu berjanji suatu saat nanti akan ke Jakarta menemuinya. Pras tidak bisa memaksa Ibu yang telah dianggap seperti Ibu kandungnya itu. Dengan naik bis malam Ia kembali ke jakarta. Sebelumnya Ia menyerahkan hampir seluruh uang yang dibawanya sebagai bentuk perhatian untuk meringankan beban atas semua kerusakan yang telah terjadi. Di saat hari mendekati siang Pras menaiki bis malam yang akan segera berangkat. Penumpang di dalamnya sudah hampir penuh dengan orang yang mau balik ke Jakarta. Mungkin mereka datang ke sini untuk mengkonfirmasi bagaimana keadaan keluarga di sini. Diambilnya deretan kursi posisi agak belakang yang ternyata salah satu kursinya telah terisi oleh seorang perempuan. Setelah menyesalkan tas bawaannya di bawah jok kursi, Ia mulai merebahkan dirinya di situ. Sedikit mencuri-curi pandang, Ia mengamati perempuan yang duduk di sebelahnya. Ia kelihatannya sangat pemalu sekali. Sedari tadi wajahnya dipalingkannya ke arah kaca jendela bis yang mulai berjalan. Dari pantulan kaca, Pras dapat melihat samar-samar wajah dari perempuan itu. Sepertinya Ia mengenalnya. Karena penasaran, Pras mulai membuka percakapan. “Maaf mbak, mau ke Jakarta juga?” tanya Pras sekedar basa-basi. “Sudah tahu ini bis jurusan Jakarta, jadi mau kemana lagi!” jawab perempuan itu dengan memandang wajah Pras sebentar yang kemudian kembali menatap keluar melalui jendela. Pras terkesiap ketika melihat sekilas wajah itu. Benar-benar mirip dengan Nadia. Tidak satu milimeter pun yang berbeda. Sesaat Ia berfikir bahwa Nadia masih hidup dan berada di hadapannya sekarang. Tapi Ia segera dapat mengontrol kegembiraannya itu dan sadar bahwa Nadia memang sudah tiada. Ia melihat sendiri makam Nadia walaupun tidak ingin lama-lama di sana karena akan membuat rasa penyesalannya semakin menyakitkan. Pras nekad untuk dapat mengajak perempuan di sebelahnya berbicara dengannya. Usahanya cukup berhasil. Walau gaya bicaranya masih tetap jutek, tapi Ia sudah banyak beradu pandang dengan Pras. Pras memang masih belum berhasil mengetahui siapa nama perempuan itu, tapi Ia merasa seperti sudah menemukan pengganti hidupnya yang sekarang ada di sebelahnya, tetapi dengan sifat yang 180º berbeda.

S E L E S A I

Last Updated on 13 tahun by Dimas Prasetyo Muharam

Oleh Dimas Prasetyo Muharam

Pemimpin redaksi Kartunet.com. Pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang lalu ini hobi menulis dan betah berlama-lama di depan komputer. Lulus dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia 2012, dan pernah merasakan kuliah singkat 3 bulan di Flinders University, Australia pada musim semi 2013. Mengalami disabilitas penglihatan sejak usia 12 tahun, tapi tak merasa jadi tunanetra selama masih ada free wifi dan promo ojek online. Saat ini juga berstatus PNS Peneliti di Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Kunjungi blog pribadinya di www.dimasmuharam.com.

4 komentar

  1. hahahhaha, ini beneran ga si ceritanya??? ngakak ketawa. emang bgitu ya laki2 bocah tengil, suka pamer ke temen2nya 😀

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *