PENJUAL KAREDOK

Sebut saja namanya Teh Cucun. Orang Jakarta dapat memanggilnya dengan sebutan Tante Cucun. Beliau adalah pedagang makanan kecil di salah satu sudut jalan utama Kampung Babakan Karet. Karedok termasuk menu jualan Teh Cucun. Banyak pelanggan yang mengatakan karedok di warung Teh Cucun sangat lezat karena bumbu racikannya terbuat dari bahan-bahan alami.

Pernah di suatu siang yang terik aku mampir ke warung Teh Cucun. Seperti biasa aku memesan karedok. Namun Teh Cucun hari itu bertingkah aneh. Aku sendiri tak percaya dengan tingkah laku Teh Cucun yang aneh itu. Begini, seorang pelanggan bernama Kang Masna memesan karedok. Aku yang sedang asyik menyantap hidanganku mendengar langsung percakapan mereka yang memang berlangsung tak jauh dari mejaku.

“Duh…duh…duh! Kang Masna, mau pesan apa Kang?” Tanya Teh Cucun dengan nada ramah.

”Karedok dua porsi Teh!”

”Porsi besar atau porsi kecil, Kang?”

”Porsi besar satu, porsi kecil satu.”

”Pakai cabai?”

”Pakai.”

”Berapa cabainya?”

”Yang porsi besar 5, yang porsi kecil 3.”

Sudah 4 pertanyaan yang diajukan Teh Cucun dan jawaban pesananpun sudah disampaikan Kang Masna. Namun Teh Cucun belum bergerak melakukan pekerjaannya.

”Pakai kangkung?”

”Pakai.”

”Pakai labu?”

”Tentu.”

”Pakai Kol?”

”Pastinya.”

”Kolnya mau kol asli Jepang atau Cina?” aku tersedak mendengar pertanyaan Teh Cucun.

“Memang ada kol Jepang dan Cina?” Gerutuku dalam hati.

 Ku perhatikan Kang Masna sudah merah mukanya.

”Ah…!!! suka-suka Teteh lah!”

”Pakai kacang?”

”Pakai…!!! Nyebelin…!!!”

”Kacangnya mau di ulek atau di blender?”

”Goreng yang halus, Teh Cucun !!!”

”Pakai bawang?”

”Pakai, Teh!” Kang Masna hampir senewen menanggapi pertanyaan-pertanyaan beruntun dari Teh Cucun.

”Bawangnya, mau bombay, goreng, bawang merah, bawang putih, atau daun bawang?”

”Gimana loe deh, Teh!” Kini bukan aku saja yang memperhatikan percakapan aneh itu, tapi hampir semua pelanggan terkesima dengan pertanyaan si tukang warung yang beruntun tentang pesanan pelanggannya.

”Goreng kacangnya pakai minyak, Kang?”

”Pakai, Teh!”

”Mau margarain atau minyak kelapa?”

Kali ini kekesalan Kang Masna sudah tak bisa di tolelir lagi. Ia merasa Teh Cucun telah mempermainkannya. Dengan muka merah padam ia berteriak. ”Jalantah aja loe kasih ke gua!”

Dengan gaya seorang pramugari yang elegan, Teh Cucun menghampiri Kang Masna lalu memperlihatkan kertas yang sudah tertulis pesanan Kang Masna. ”Terimakasih Kang Masna, pesanan telah diterima. Tapi mohon maaf, sampai saat ini belum bisa terpenuhi.”

”Tehteh mau mainin saya? Jangan macam-macam, Teh! Saya preman Babakan Karet!”

”Mohon maaf sekali lagi, Kang.” Teh Cucun tersenyum jail.

”Sudah di tanya sana-sini! Ini-itu! Kenapa belum dibikin juga?”

”Itu dia masalahnya Kang. Jelantahnya habis!” Semua pengunjung, termasuk aku, terbahak mendengar ucapan terakhir Teh Cucun.

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Oleh Senna Rusli

Guru ngaji pesantren Raudlatul Makfufin (Taman Tunanetra)

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *