Penyandang Disabilitas Juga Butuh Pendidikan Prof


Setiap individu dimuka bumi ini memiliki kedudukan, hak, kewajiban dan kesempatan serta peran yang sama dalam segala aspek kehidupan maupun penghidupan seperti individu yang lain. Posisi yang setara menjadi keinginan secara sosiologis dan menjadi dambaan setiap individu.

Di Indonesia sendiri, landasan bermasyarakat mendapat tempat khusus pada filosofi ketatanegaraan Republik Indonesia sebagaimana terkandung dalam Sila Ke-5, “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Nilai-nilai yang terkandung pada sila ini menjamin kehidupan dan penghidupan bagi seluruh warga negara akan prinsip keadilan. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 dikatakan bahwa setiap individu wajib menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia tanpa ada pengecualian.

Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat):” Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Di negara hukum itu sendiri, negara menjamin persamaan di hadapan hukum serta mengakui dan melindungi hak asasi manusia, sehingga semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law). Persamaan di hadapan hukum harus disertai dengan persamaan perlakuan (equal treatment). Salah satu bentuk persamaan perlakuan tersebut adalah penyelenggaraan pendidikan disemua tingkat kepada semua lapisan masyarakat sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945 tanpa terkecuali kepada penyandang disabilitas.

Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 diatur bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Berdasarkan ketentuan tersebut, negara mengakui hak dasar dibidang pendidikan semua warga negara tanpa pengecualian sedikit pun. Penetapan pasal tersebut mengimplikasikan bahwa penyelengaran persamaan pendidikan bagi penyandang disabilitas merupakan tugas dan wewenang negara baik pada sektor teoritik regulasi maupun implementasi regulasi dalam tatanan berbangsa dan bernegara tanpa diskriminatif.

Penyandang disabilitas merupakan bagian yang tidak dapat diisolasikan karena terintegrasi di masyarakat Indonesia yang juga memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban, dan peran yang sama. Pada kompetensi inilah penyandang disabilitas memerlukan perhatian khusus dikarenakan kewajiban pemerintah dalam menjamin dan melindungi keberlangsungan kesejahteraan hidup warga negaranya. Dalam dunia ketenagakerjaan, persaingan kedudukan dan hak secara adil baru diperoleh dengan kesetaraan tingkat pendidikan yang ditempuh.

Praktik penegakan hukum dibidang pendidikan di Indonesia masih mencerminkan ketidakadilan antara manusia biasa dengan manusia luar biasa (penyandang disabilitas). Penyandang disabilitas masih mendapatkan perlakuan yang tidak adil di dunia pendidikan seperti masih banyaknya penolakan terhadap penyandang disabilitas untuk berkuliah di universitas, disabilitas hanya berhak menempuh pendidikan di universitas khusus (yang sampai saat ini belum ada universitas yang dimaksud dan semoga saja tidak ada), sulitnya diterima keberadaannya ditengah masyarakat ilmiah, dan berbagai spekulasi lain yang mendiskreditkan keberadaan penyandang disabilitas.

Sebagai salah satu kampus terkemuka khususnya di kawasan Indonesia timur, Universitas Negeri Makassar menjadi salah satu kampus idaman bagi orang kebanyakan, begitu pula penyandang disabilitas. Setiap tahun, pada saat penerimaan mahasiswa baru, selalu saja ada penyandang disabilitas yang mendaftar di UNM. Namun, harus dicatat, universitas negeri Makassar juga merupakan salah satu kampus negeri yang terkadang melakukan perlakuan diskriminatif terhadap penyandang disabilitas.

Dalam tulisan ini, penulis akan mengungkap berbagai perlakuan diskriminatif yang pernah dilakukan oleh pihak universitas terhadap penyandang disabilitas yang ingin melanjutkan pendidikannya di unm. Tentu saja, tulisan ini tidak bermaksud untuk mendiskreditkan universitas negeri Makassar. Apalagi universitas negeri Makassar merupakan kampus yang paling banyak melahirkan sarjana penyandang disabilitas jika dibandingkan dengan kampus lain di Sulawesi selatan.

Penulis hanya ingin menambah wawasan para pembaca sekaitan dengan bagaimana seharusnya penyandang disabilitas diperlakukan di universitas, sehingga tak ada lagi perlakuan diskriminatif yang penyandang disabilitas alami ketika akan dan sedang mengikuti proses pendidikan di unm.

Syukur-syukur jika tulisan ini bisa mengadvokasi dan memberikan sumbangsi sebagai bahan pertimbangan bagi Rector baru unm dalam mengambil sebuah kebijakan agar dimasa kepemimpinan yang akan datang, Rektor baru UNM bisa lebih memperhatikan mahasiswa penyandang disabilitas.

Penyandang disabilitas mulai mendapat kesempatan untuk berkuliah di UNM di masa kepemimpinan Prof. Dr. Syahruddin Kaseng (Rektor UNM 1990-1999). Adalah Lukas Palinggi, seorang penyandang disabilitas netra yang pada tahun 1994 diberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan s1-nya pada jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB). Tak ada perlakuan diskriminatif yang diterima oleh Lukas Palinggi pada saat itu, mengingat jurusan PLB dianggap sebagai jurusan yang paling cocok bagi penyandang disabilitas.

Sejak saat itu, UNM mulai rutin menerima mahasiswa penyandang disabilitas. Sayangnya, UNM hanya membolehkan penyandang disabilitas untuk berkuliah di jurusan PLB. Inilah salah satu contoh tindakan diskriminatif yang sering kali terjadi di UNM. Tahun 1995 hingga 1998, semua penyandang disabilitas yang ingin melanjutkan pendidikannya di UNM, hanya boleh memasukki jurusan PLB. Bagi penyandang disabilitas yang ingin memasuki jurusan lain, maka dapat dipastikan penyandang disabilitas tersebut akan ditolak.

Tahun 1999, seorang penyandang disabilitas netra bernama Iin Syafitri, mencoba menerobos kebijakan universitas yang tak membolehkan penyandang disabilitas untuk berkuliah pada jurusan selain PLB. Berkat kegigihannya, wanita penyandang disabilitas netra ini berhasil meyakinkan pihak universitas untuk memberinya kesempatan berkuliah di jurusan Sastra Ingris. Universitas Negeri Makassar harus bangga memiliki alumni penyandang disabilitas yang pantang menyerah seperti Iin. Usai menyelesaikan pendidikannya di UNM, Iin sukses menjadi seorang PNS. Tak hanya itu, pada tahun 2011, Iin mendapatkan beasiswa dari pemerintah Australia untuk melanjutkan pendidikannya di negeri Kanguru. Iin mendapatkan beasiswa Australia Awards Scholarship dan menyelesaikan program s2-nya di Adelaide University.

Keberhasilan Iin Syafitri ternyata tak cukup meyakinkan para penentu kebijakan di UNM untuk meminimalisir tindakan diskriminatif yang dialami penyandang disabilitas pada saat ingin melanjutkan pendidikan di UNM. Tindakan diskriminatif yang paling sering adalah masih pada proses penerimaan mahasiswa baru. Penyandang disabilitas masih dihalang-halangi untuk memasuki jurusan lain selain PLB.

Untuk menangani permasalahan tersebut, beberapa pemerhati pendidikan bekerjasama dengan organisasi penyandang disabilitas mencoba melakukan advokasi pada pihak universitas. Kebijakan tak tertulis Universitas Negeri Makassar yang membatasi penyandang disabilitas tersebut dianggap keliru. Namun, advokasi yang dilakukan di era kepemimpinan Prof. Dr. M. Idris Arief. MS tersebut tak memberi dampak maksimal.

Jika sebelumnya penyandang disabilitas hanya bisa memasuki jurusan PLB, usai advokasi tersebut, penyandang disabilitas mulai dibolehkan untuk memasuki jurusan Sastra Ingris. Jadi sejak 2002, UNM mulai menerima penyandang disabilitas di dua jurusan yakni PLB dan Sastra Ingris. Ini tentu saja masih membatasi penyandang disabilitas. Padahal, di kampus lain, penyandang disabilitas mulai mendapatkan kesempatan untuk berkuliah pada jurusan lain seperti Psikologi, hukum, Ilmu Komunikasi, dan berbagai jurusan lainnya. Penyandang disabilitas masih harus berjuang guna meyakinkan para penentu kebijakan di UNM jika penyandang disabilitas juga bisa berkuliah di jurusan lain selain dua prodi tersebut.

Pada masa kepemimpinan Prof. Dr. Arismunandar. M.Pd, keberadaan penyandang disabilitas semakin mendapatkan perhatian. Aksesibilitas lingkungan bagi penyandang disabilitas mulai diusahakan. Hal tersebut bisa kita lihat dalam pembangunan gedung phinisi. Meskipun belum maksimal, setidaknya dalam pembangunan gedung yang katanya menghabiskan dana 250 m ini, telah mengupayakan agar gedung ini dapat digunakan oleh semua kalangan tak terkecuali penyandang disabilitas.

Gedung phinisi sedikit aksesibel bagi penyandang disabilitas netra dan penyandang disabilitas daksa. Bagi pengguna kursi roda, telah disediakan area khusus untuk memasuki gedung. sedangkan bagi penyandang disabilitas netra, telah disediakan huruf Braille pada tombol lif. Sekali lagi, meskipun ini belum dapat dikatakan sepenuhnya aksesibel bagi penyandang disabilitas, tetapi para penyandang disabilitas yang saat ini sedang kuliah di UNM sangat mengapresiasi pihak universitas negeri Makassar yang secara perlahan mulai memperhatikan aksesibilitas fisik lingkungan kampus bagi penyandang disabilitas.

Hingga 2010, peraturan tak tertulis yang hanya membolehkan seorang penyanndang disabilitas untuk berkuliah dijurusan PLB dan Sastra Ingris masih tetap diberlakukan. Kasmir Padallingan, seorang penyandang disabilitas netra asal Palopo yang pada saat itu mengikuti proses penerimaan mahasiswa baru dan mengambil jurusan PPKN dan Pendidikan Bahasa Indonesia, harus mengubur impiannya untuk dapat kuliah di UNM lantaran petugas PMB pada saat itu hanya membolehkannya mengambil jurusan PLB dan Sastra Ingris. Karena tidak tertarik dengan kedua Prodi tersebut, Kasmir pun memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di universitas lain.

Belajar dari apa yang dialami Kasmir Padallingan, pada tahun berikutnya, kembali seorang penyandang disabilitas netra yang bernama Muhammad Fadli Ismail, mencoba mendaftar di UNM dengan melakukan tekhnik yang berbeda. Jika sebelumnya seorang penyandang disabilitas harus melapor dulu ke panitia PMB sebelum melakukan pendaftaran, kali ini fadli memilih untuk tidak melapor dan langsung mendaftar dan mengikuti tes tertulis. Ternyata langka yang ditempuh fadli tersebut membuahkan hasil. Ia pun dinyatakan lulus pada program studi Bimbingan dan Konseling. Saat ini Fadli sudah memasuki semester akhir dan sedang dalam penulisan skripsi.

Apa yang dilakukan Fadli cukup menginspirasi penyandang disabilitas lain untuk melakukan hal yang sama pada tahun berikutnya. Penyulis, yang juga seorang penyandang disabilitas netra, pun menempuh jalan yang sama pada tahun 2012. Ajaibnya, penulis berhasil dan lulus pada prodi yang dua tahun sebelumnya tak berhasil ditembus oleh Kasmir Padallingan, yakni PPKN.

Petaka muncul ketika penulis harus mengikuti tes kesehatan. Disinilah hambatan terbesar itu muncul. Saat itulah, petugas mengetahui kalau penulis adalah seorang penyandang disabilitas dan penulis juga lulus pada prodi yang katanya tidak diperuntukkan bagi penyandang disabilitas. Petugas itu pun menahan semua berkas yang telah penulis lengkapi guna menuju ketahap selanjutnya. Petugas itu baru akan mengembalikan berkas-berkas tersebut jika penulis ingin pindah ke prodi PLB. Tentu saja, penulis tak mau dan menolak kehendak mereka.

Ternyata, bukan hanya penulis yang diperlakukan demikian. Setidaknya ada 11 penyandang disabilitas lain yang kasusnya sama dengan penulis. Kami pun dikumpulkan disebuah ruangan. Disinilah diskusi a lot itu terjadi. Penulis berusaha mempropokasi penyandang disabilitas lain agar menolak tindakan diskriminatif yang kembali dilakukan oleh pihak Kampus. Posisi kami sama dengan mahasiswa lainya. Kami juga telah melalui semua tahapan yang harus dilalui untuk bisa sampai ke tes kesehatan tersebut. Kami pun sebenarnya telah dinyatakan lulus pada tes kesehatan tersebut. Hanya karena factor kedisabilitasan yang kami sandang sehingga kami dihambat untuk dapat menggapai cita-cita yang telah jauh hari kami impikan.

Pada akhirnya, kami berhasil meyakinkan para petugas tersebut untuk memberikan kesempatan kepada kami untuk memasuki prodi yang telah dilulusi. Kami pun boleh melanjutkan langkah dengan catatan , jika dalam semester pertama kami gagal mengikuti perkuliahan, maka kami akan dikeluarkan. Kami pun menerima persyaratan tersebut karena tentu saja, kami bisa melaluinya. Saat ini kami telah memasuki semester akhir. Saat tulisan ini dibuat, penulis sedang dalam proses penelitian guna penyelesaian tugas akhir untuk meraih gelar sarjana.

Sebagai rector universitas negeri Makassar periode 2016-2020, mewakili seluruh penyandang disabilitas yang akan dan sedang melanjutkan pendidikannya di UNM, kami sangat memohon agar kelak, dimasa kepemimpinan Prof. Dr. Husain Syam M.Tp, kami, para penyandang disabilitas bisa lebih diperhatikan. Ada beberapa hal yang butuh perhatian dari bapak.

Pertama, soal aksesibilitas fisik lingkungan kampus. Seperti yang telah penulis ungkapkan sebelumnya, satu-satunya bangunan di UNM yang bisa dikatakan sedikit aksesibel adalah menara phinisi.

Selain bangunan tersebut, tak ada satupun bangunan lain yang bisa dikatakan aksesibel. Mungkin banyak kalangan yang mengatakan jika prodi PLB itu aksesibel bagi penyandang disabilitas, namun pada kenyataannya area kampus PLB masih jauh dari kata aksesibel. Tak percaya? Tanyakanlah pada Andi Selvi Fandisyah (mahasiswa PLB 2015). Mahasiswi penyandang disabilitas daksa ini cukup mendapatkan hambatan jika perkuliahan yang ia ikuti dilakukan di lantai 3 gedung.

Semoga, dalam pembangunan gedung berikutnya di UNM bisa didesain agar bangunan tersebut aksesibel bagi difabel.

Kedua, semoga perlakuan diskriminatif yang sering terjadi pada saat penerimaan mahasiswa baru bisa dihilangkan. Penyandang disabilitas memmiliki hak yang sama dengan mahasiswa lainnya untuk berkuliah pada prodi yang ia inginkan. Penyandang disabilitas itu telah memiliki keterbatasan. Mereka jangan dibatasi lagi untuk dapat meraih impianya.

Yang terakhir soal pelebelan. Perlu diketahui, setiap orang telah memiliki nama panggilan masing-masing. Begitu pula penyandang disabilitas.

Sering terjadi di UNM, penyandang disabilitas dipanggil bukan dengan namanya. Melainkan mereka dipanggil dengan nama disabilitas. Yang memalukan adalah yang melakukan itu adalah dosen. Sunggu tak etis rasanya jika seseorang yang berasal dari kalangan intelektual melakukan tindakan yang seperti itu. Menjadi seorang penyandang disabilitas bukanlah menjadi kehendak mereka. Menjadi seorang penyandang disabilitas merupakan tugas yang diberikan tuhan pada mereka karena mereka dianggap mampu untuk menjalani kehidupan meskipun dalam keterbatasan. Semoga kedepannya hal yang memalukan seperti ini sudah tidak terjadi lagi.

Besar harapan kami, (para penyandang disabilitas) agar masa kepemimpinan yang akan datang, dapat berjalan baik. Semoga segala keputusan yang diambil oleh para penentu kebijakan di Universitas Negeri Makassar dapat mengakomodir semua kalangan. Hingga akhirnya universitas negeri Makassar dapat menjadi salah satu kampus yang inklusif bagi semua pihak khususnya bagi penyandang disabilitas.

________________________________________
Tulisan ini menjadi Esai terbaik dan mendapat Juara 2 pada lomba menulis Esai dengan tema “Untuk (Rektor Baru) UNM” sebagai rangkaian Hari Lahir Lembaga Pers Mahasiswa Profesi UNM yang ke-40 tahun.
*Penulis: Nur Syarif Ramadhan, Mahasiswa Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Makassar.

Last Updated on 7 tahun by Redaksi

Oleh Nur Syarif Ramadhan

Nur Syarif Ramadhan. lahir di Bonto Langkasa, 13 maret 1993. suka nulis sejak kecil dan saat ini tergabung di forum lingkar pena (flp) sulawesi selatan

1 komentar

  1. kepada adinda Nur Syarif, atau pun admin website ini, mohon maaf sebelumnya, nama Iin Syafitri itu salah eja. tepatnya Iin Saputri. jika memungkinkan tolong direvisi ya… terima kasih

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *