Perjalanan Panjang

Suara ayam jantan sudah terdengar lamat-lamat di telinga. Membangunkan tidurku, menyadarkan akan kenyataan hidup dan keluar dari alam mimpi. Duduk, termenung sebentar sembari menunggu kesadaran pulih sepenuhnya. Memaksa bangkit untuk segera bersiap melakukan perjalanan bersama seorang kawan yang jauh dari kota di seberang pulau tempat tinggalku. Namanya Uli, seorang perempuan yang aktif di dalam sebuah Gerakan Mahasiswa, dan kini tengah berusaha menyelesaikan studinya di Universitas ternama di kota-nya.

Semua saling mengerti, semua saling bersiap. Kuambil sebuah tas dari dalam kamar, dan menggendongnya di punggung. Demikian pula Uli, yang membawa satu tas ransel mengikuti dari belakang turut keluar rumah.

Tanpa basa basi, kami langsung meluncur menuju stasiun mengenakan sepeda motor yang hanya berjarak sekitar 2 km dari rumah. Dalam waktu lima menit, kami sudah sampai di stasiun.

Memasuki stasiun, mengamati kereta, dan di rel nomor dua keretaku bersiap menanti datangnya para penumpang. Aku dan Uli bergegas naik dan mencari nomor kursi sesuai dengan tiket yang aku bawa. Di dekat kamar mandi, sepasang bangku yang saling berhadapan telah menunggu untuk segera diduduki.

Aku mengamati dengan cermat tempat untuk menyimpan tas di atas bangku yang ternyata sudah penuh dengan tas-tas penumpang lain. Dalam hati berpikir, seharusnya di atas bangku ini tasku kutaruh tapi kenapa bisa penuh? Persetan dengan itu, namanya juga kereta kelas ekonomi, pastilah fasilitasnya juga sangat sederhana. Dengan sedikit basa-basi dan permisi, kutaruh tas di atas bangku di belakangku.

Ternyata tidak semulus dugaanku, ada seorang penumpang lelaki kira-kira usianya 40 tahun tergopoh-gopoh memasuki gerbong kereta dengan membawa barang bawaan banyak sekali. Dengan santainya menaruh tas di atas bangkunya, bahkan menggusur beberapa tas milik penumpang lain.

Sempat terjadi kericuhan sedikit, karena tas penumpang di belakangku diturunkannya untuk menaruh barang-barangnya. Hal ini membuatku sedikit naik pitam karena tas Uli sempat mau diturunkan dari tempatnya. Namun, dengan sabar aku hanya memandangnya denga muka sedikit marah. Akhirnya, tas itu dikembalikan pada tempatnya semula.

Satu persatu penumpang mengisi bangku di depanku dengan kapasitas dua orang, sedangkan bangku tempatku berkapasitas 3 orang. Sekedar basa-basi, aku pun menyapa satu orang di depanku, namanya Budi, yang disebelahnya bernama Sugeng. Lalu aku melanjutkan perbincanganku dengan Uli yang sejak tadi sibuk dengan telepon genggamnya.

Di tengah keasyikannya, aku selalu mengganggunya dengan guyonan-guyonan kecil, dan tawa pun pecah dari bibirnya hingga menarik perhatian kedua penumpang di depanku. Dari situlah, mereka turut menyela dan bergabung dalam obrolan.

Seorang yang bernama Budi malah suka bicara, bahkan dia hanyut dalam cerita-cerita akan masa lalunya sebagai seorang musisi. Uniknya, dia dengan percaya diri memperlihatkan foto-foto masa mudanya melalui layar kaca telepon genggamnya kepadaku. Dengan sedikit kaget dan heran, aku pun tersenyum dan mengiyakan semua omonganya.

Aku sempat terdiam beberapa saat. Betapa heran melihat perubahan yang begitu luar biasa dari sosok Budi sekarang. Saat ini, wajahnya, tepatnya di kening terdapat dua titik hitam yang menandakan ia rajin sholat. Tapi di masa mudanya dia seorang kurus, gondrong, pemabuk, dan suka main perempuan. Setidaknya itu yang ia ceritakan padaku tentang masa lalunya.

Di tengah asyiknya obrolan itu, suasanana di dalam masih hiruk pikuk. Ada yang turun, ada pula yang naik. Yang mengasyikan adalah ketika datang seorang pedagang yang tanpa basa basi menaruh daganganya di pangkuan kami, dan meninggalkan begitu saja sembari berkata “Seribu saja, seribu saja”. Sebungkus permen dengan isi bermacam-macam di dalamnya.

Setelah pedagang itu meninggalkan bangku, aku melanjutkan ngobrol dengan mas Budi. Tapi ia malah berbalik mengambil sebatang rokok dan kemudian pergi ke sambungan kereta dan merokok. Malah seorang di hadapanku, Mas Sugeng menyahut dan turut bercerita. Obrolan berkisah tentang sepasang kekasih yang tidak mendapat restu dari orangtua, akhirnya harus mengakhiri hidup dengan melakukan aksi bakar diri.

Terdengar suara lamat-lamat, nyanyian merdu serta iringan musik Gitar dan Djembe. Aku menengok, ternyata rombongan pengamen. Aku memperhatikan lirik demi lirik lagu yang dibawakan, ternyata terdengar ada lirik yang mengatakan “Pancasila….” aku tidak mendengarnya dengan jelas karena terganggu bunyi lokomotif yang bersiap meninggalkan stasiun. Pengamen ini justru tidak pernah melupakan Pancasila, tidak seperti pemerintah yang selalu melupakanya. Langsung saja, kupersiapkan beberapa uang receh yang sudah aku persiapkan sejak di rumah. Begitu pengamen itu menghampiri, dengan sedikit senyum kuberikan uang receh itu padanya. Pengamen itu pun membalas senyum padaku, kemudian buru-buru pergi karena harus turun dari kereta yang sudah bersiap untuk meluncur.

Aku merasakan goncangan perlahan serta suara kencang dari lokomotif yang menandakan kereta secara perlahan telah meninggalkan stasiun menuju stasiun-stasiun berikutnya. Sedikit mataku menengok keluar melalui jendela kereta, seolah ingin berpamitan pada stasiun, pada para pedagang, kepada pengamen, dan kepada siapa pun yang ada di kota ini.

Terbayang suasana di kota tujuanku kelak. Walaupun masih lebih dari sehari perjalanan akan aku tempuh. Melewati stasiun demi stasiun, kota demi kota, tentu mengasyikkan.

Keretaku pun smakin mempercepat laju, meneriakan bunyi-bunyian, dan menggoncang-goncang badan kereta. Aku pun menyiapkan posisi duduk yang paling nyaman serta mencoba menyapa kembali Uli dan bercerita bersama membayangkan berada di kota tujuan.

Begitu asyiknya kami mengobrol. Aku cermati cara Uli bicara, gerak bibirnya penuh sensasi yang membangkitkan suasana menjadi lebih nyaman. Rambutnya terkibas-kibas dihembus angin dari jendela kereta membuatnya semakin terlihat cantik. Semakin lama aku memperhatikan wajahnya, semakin lama pula aku memasuki masa silam yang begitu jauh.

***

Di pagi buta, seusai azan shubuh, telepon genggamku berbunyi puluhan kali di saat aku baru saja mematikan komputer dan akan memejamkan mata untuk tidur. Dengan penuh rasa malas dan rasa kantuk yang sangat, aku pun mengangkat telepon itu. terdengar seorang perempuan lirih dan merintih sakit mengatakan padaku bahwa air ketubannya sudah pecah. Aku terhentak. Bak tersambar petir, hati dan pikiranku kalut, dan rasa kantuk pun hilang seketika.

Tanpa sempat mandi, aku langsung menyalakan kendaraaan dan bergegas menuju rumah kontrakannya yang tak jauh dari rumah, hanya sekitar lima belas menit perjalanan. Aku pun sampai di depan pintu rumahnya. Bergegas aku masuk dan melihatnya. Perempuan itu telentang dengan rintih kesakitan. Pikiranku kalut. Sedikit pun aku tak bergerak. Kemudian ia memanggilku dan meminta untuk membawanya ke rumah sakit bersalin.

Perlahan kupapah dia, aku tak tahan mendengar rintihnya. Tapi aku mengerahkan seluruh jiwa dan raga untuk mengumpulkan keberanian. Ia malah tersenyum melihat keringat dingin bercucuran dari dahi dan membasahi sedikit bajuku. Aku memintanya naik ke motor sembari aku menyalakannya dan segera meluncur perlahan menuju rumah sakit bersalin terdekat.

Sepanjang perjalanan aku terbayang, bahwa sebentar lagi menjadi ayah. Sebentar lagi harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupku, peremupan itu dan anakku. Satu lagi, tentu saja aku harus segera mempersiapkan kepergianku bersamanya ke luar kota untuk menghindari cemooh dari masyarakat karena anak itu akan lahir di luar nikah.

Tak terasa, perempuan itu menyadarkanku dari lamunan ketika kami telah memasuki halaman rumah sakit. Kemudian perempuan itu dibaringkan di ruang UGD. Aku sudah lega, dan perempuan itu pun turut lega.

Perempuan itu tidur. Aku menemani di samping ranjang. Sesekali kucium keningnya dan kupegang tangannya. Ia menggenggam erat tanganku, mungkin karena takut aku akan meninggalkannya. Kami dengan sabar menunggu dokter yang akan membantu perempuan itu melahirkan. Tapi penantian lama berlangsung, tak seorang dokter pun memasuki ruangan itu, hingga aku terpaksa mencari dokter dan menanyakan kondisinya. Tentu saja jawaban si dokter membuatku kalut. Katanya, ia harus sesar untuk bisa mengeluarkan bayinya. Sebenarnya bagiku tak masalah, yang menjadi masalah adalah biaya yang ditawarkan sebanyak tujuh juta rupiah. Aku tak habis pikir bisa mendapat uang sebanyak itu.

Dengan berat hati, aku membangunkannya. Tak terasa air mata ini menetes. Benar-benar tak tega dan tak habis pikir, biaya melahirkan bisa sebanyak itu. Perlahan aku memberikan pengertian terhadapnya, dan harus pindah ke rumah sakit lain yang lebih murah. Tak menyangka, ia malah tersenyum dan mengusap air mataku dan segera bangkit bersiap untuk melanjutkan perjalanan menuju rumah sakit yang lain.

Tak jauh dari rumah sakit itu, aku menemukan rumah bersalin kecil. Tanpa pikir panjang, aku berhenti dan meminta dokter segera memeriksanya. Badanku sudah lemas, tak  berdaya. Lagi-lagi jawaban dokter itu membuatku semakin layu. Tak jauh berbeda dengan rumah sakit sebelumnya, bahwa harus sesar.

Perempuan itu malah mendekatiku dan memberi semangat. Ia memintaku untuk tidak bersedih, ini sudah takdir. Benar-benar seorang perempuan tangguh. Aku sudah tak berdaya. Tapi melihat semangatnya, aku kembali mengumpulkan keberanianku untuk segera membawanya ke rumah sakit daerah milik negara.

Kuhirup nafas panjang dan membawanya ke rumah sakit daerah. Dengan peristiwa yang tak jauh beda. Perempuan itu dibawa ke UGD dan dirawat beberapa dokter, kemudian aku mengurus administrasi. Kali ini aku benar-benar terkejut ketika dokter mengatakan bahwa anak ini bisa dilahirkan normal tanpa sesar. Aku benar-benar bahagia. Seolah surga telah datang lebih cepat dari perkiraanku.

Dokter mengijinkan aku menemani perempuan itu melahirkan. Tapi dengan senyum dan berkata lirih, perempuan itu meminta agar aku menunggu di luar saja. Ia tak mau aku melihatnya dalam keadaan kesakitan. Aku pun tak mau mengecewakannya dan keluar ruangan. Aku benar-benar tahu, bahwa ia seorang perempuan tangguh yang mampu menghadapi ini sendirian dan tak melibatkan orang lain. Terutama, ia tak mau dilihat oleh orang lain dalam keadaan kesakitan.

Di luar, aku hanya sedikit mendengar rintih dan nafas yang terengah-engah. Membuat pikiranku masuk ke dalam peristiwa di mana perempuan itu mulai berbadan dua.

Pada awalnya, hubungan kami baik-baik saja. Hingga kemudian, satu minggu setelah aku lulus kuliah dan menjadi sarjana, aku pergi ke kotanya dengan maksud menyampaikan niatku untuk melamarnya. Tapi aku kaget ketika orangtuanya menolak dan mengusirku dari rumahnya, setelah mendapati bahwa kakekku adalah seorang tahanan politik yang dibuang di pulau seberang karena dianggap ikut dalam organisasi terlarang. Aku sama sekali tidak mengerti mengapa mereka membuang kakekku, dan selalu melihatku dengan sebelah mata. Padahal, aku pun tak mengenal kakekku, karena kata ibuku, tak berapa lama setelah kakek dipulangkan ke rumah, ia meninggal dunia sehari setelah aku lahir ke dunia ini. Setidaknya, kakek pasti senang karena sempat menimang cucu setelah mengalami masa pembuangan selama 11 tahun. Hanya satu peninggalan kakek yang masih tersimpan dan selamanya kubawa, yaitu namaku. Nama ini adalah pemberian kakek. Sehingga sedikit pun aku tak mau mengubahnya, meski hanya pendek dan tanpa nama belakang. Purnama. Ya, itu saja. Namaku adalah Purnama. Aku pun tak tahu jelas maksud kakek memberiku nama Purnama.

Aku pun pulang dari kota itu dengan perasaan kacau, jengkel, marah, dan dendam. Apa salahku? Apa salah kakekku? Kenapa semua orang menghukumku seperti ini? Apa kesalahan kakek hingga semua orang mencibirnya? Aku ingin segera sampai rumah dan menanyakan semuanya pada ibuku.

Pergi ke stasiun dan segera naik kereta untuk pulang. Tak terasa enam jam perjalanan telah kulewati, aku bergegas pulang ke rumah. Mencari ibu untuk menanyakan semuanya. Ibu memintaku untuk istirahat tapi aku memaksa untuk segera bicara dengan ibu.

Tak secuil cerita pun terlewat atas penolakan dari keluarga perempuan itu. Dan aku menanyakan semua tentang kakek. Dengan sedikit paksaan, ibu pun menyerah dan cerita semuanya padaku. Aku baru mengerti bahwa kakek adalah seorang tentara pelajar yang waktu itu turut dalam wajib militer dan perang mengusir penjajah hingga negriku merdeka.

Setelah merdeka, tentara pelajar seperti kakekku sudah tidak dibutuhkan. Kemudian kakek buka usaha menjadi seorang tukang cukur rambut. Bertahun-tahun kakek hidup sederhana dengan mengandalkan uang dari hasil mencukur rambut. Hingga peristiwa itu mengusik keluarga kakek.

Malam yang mencekam telah datang. Desas desus mulai datang. Tak jelas apa yang sebenarnya terjadi. Hanya saja, dibilang telah terjadi kudeta. Namanya juga orang kecil, tak tahu menahu.

Di kampung-kampung datang truk-truk untuk mengangkut orang yang katanya harus “diselamatkan”. Banyak warga kampung yang dimasukkan ke truk. Hingga suatu hari, kakek didatangi oleh ketua RT setempat dan diminta untuk pergi ke kantor kecamatan untuk diberi “hadiah” karena jasanya sebagai tentara pelajar di masa silam. Dengan sepeda bututnya, kakek bergegas menuju kantor kecamatan. Di sana ia ditunggu truk dan segera dimasukkan ke dalamnya. Sejak saat itu, kakek tak pernah kembali.

Tiba-tiba terdengar suara tangisan bayi memekakkan telingaku hingga menyadarkan lamunanku tentang kakek. Bergegas aku masuk ke dalam kamar bersalin dan mendapati sesosok bayi mungil penuh darah dalam pelukan perempuan yang tersenyum bahagia.

Dokter pun segera memberi selamat atas kelahiran anakku. Aku semakin bahagia ketika mengetahui bahwa anak itu adalah seorang perempuan. Ya. Perempuan yang imut nan cantik.

Tak lama kemudian, dokter membersihkan seluruh badan anakku dan memberikan tempat kecil untuk bayi. Aku pun selalu berada di sampingnya. Merawatnya beberapa hari hingga diperbolehkan untuk meninggalkan rumah sakit.

Tak terasa, sudah hari keenam kami di rumah sakit. Aku pun segera berbelanja membeli semua peralatan bayi; mulai dari popok, selendang, botol susu, serta mainan kecil. Sekaligus mencari pinjaman uang untuk membayar biaya rumah sakit. Perasaanku begitu bahagia, karena esok adalah hari di mana aku bisa membawa anak dan perempuan itu keluar dari rumah sakit. Aku sudah membersihkan rumah kontrakan kecil yang besok kami akan tinggal di sana dan membangun keluarga kecil yang bahagia.

Hari yang dinanti pun tiba, bergegas pagi-pagi sekali aku menuju rumah sakit dengan membawa berbagai perlengkapan serta kendaraan yang siap untuk membawa anakku dan perempuan itu. Dengan perasaan senang dan percaya diri, aku memasuki kamar tempat bayiku dilahirkan. Namun aku mendapati bahwa kamar telah kosong, dan aku hanya melihat seorang perawat yang tengah membereskan kamar karena akan diisi oleh pasien yang lain sembari mengatakan padaku, “tadi pasien yang di sini telah dijemput keluarganya dan dibawa pulang mas”.

Badanku lemas. Sedikit pun aku tak punya kekuatan untuk berdiri. Kakiku  tak mampu menahan badanku hingga aku terjatuh dan pingsan.

***

Uli menggoyang-goyangkan badanku sembari memanggil-manggil namaku. Aku tersadar dan segera menatapnya. Perlahan menginsyafi keadaan. Uli menggerutu ketika ia bercerita, aku telah meninggalkannya dalam keadaan setengah sadar karena lamunanku akan sebuah peristiwa di masa silam. Namun, dengan sigap aku menenangkan perasaannya. Dan tak berapa lama, Uli pun kembali ceria dan tersenyum.

Aku sedikit kaget ketika Uli menanyakan apa yang aku lamunkan tadi hingga sedikit pun tak menghiraukan ceritanya. Dengan cepat aku mengelak. Aku bertanya balik padanya tentang asal usulnya. Ia pun segera menceritakan sekilas tentang keluarganya.

Menceritakan dengan senang hati mulai dari masa kecil hingga memasuki sekolah dan beranjak menjadi mahasiswa. Di sinilah aku dengan seksama memerhatikan ceritanya, karena aku begitu tertarik. Sesekali aku menyela ceritanya, aku menanyakan kenapa Uli masuk dalam sebuah organisasi gerakan mahasiswa? Kenapa ia tertarik menjadi seorang aktivis? Lantas, ia pun menjawab pertanyaanku. Namun aku heran, ketika ia malah menceritakan mengenai ibunya. Tidak nyambung, pikirku. Biar saja, yang penting dia senang. Tiba-tiba, ia menceritakan bahwa ibunya seorang single parent. Seorang yang tidak mempunyai suami. Aku pun kaget. Dan segera menutupi rasa kagetku dengan menyalakan sebatang rokok. Bukanya malu, Uli justru bangga memiliki seorang ibu yang tangguh dan gigih membesarkannya sendirian. Uli juga senang apapun yang diajarkan oleh ibunya.

Kemudian aku menanyakan pada Uli, siapa nama ibunya dan siapa sebenarnya ibunya itu? Uli dengan cekatan menjawab pertanyaanku. Uli bercerita bahwa dulu, Ibunya adalah seorang aktivis perempuan yang hampir setiap kota di pulau ini pernah dikunjunginya demi memperjuangkan nasib bangsa ini. Bahkan kuliahnya pun tak kunjung selesai karena aktivitasnya begitu padat. Hingga kini, gelar sarjana pun tak pernah disandangnya demi mengurusku hingga menjadi orang seperti sekarang ini.

Dalam hatiku, aku ingin menanyakan di mana ayahnya. Apa telah meninggal atau ada hal lain? Akhirnya aku memberanikan diri untuk menayankannya.

Sedikit pun Uli tak marah, bahkan malah tersenyum dan menceritakannya. Katanya, ayah Uli adalah seorang aktivis hingga sekarang. Selalu berkelana dari kota ke kota, dari desa ke desa, hingga hampir seluruh negeri pernah didatanginya. Semua itu dilakukan karena ayahnya merasa bahwa kejayaan negerinya di masa silam harus kembali. Sebuah negeri yang di zaman ketika “Barat” belum mempunyai peradaban, negeri ini sudah menjadi imperium raksasa.

Cerita Uli membangkitkan gairah hidup dan membuatku merasa kembali menjadi muda. Pasti Uli sangat bangga memiliki ayah seperti itu, tapi sayangnya Uli belum pernah bertemu dengannya.

***

Kereta melambat. Tanda akan berhenti pada stasiun, tetapi aku tidak tahu sudah sampai di stasiun mana karena sejak tadi asyik mengobrol dengan Uli. Aku berjalan ke sambungan gerbong dan mengintip keluar. Begitu senangnya, saat aku mendapati bahwa aku sudah sampai pada stasiun tujuanku. Bergegas membalik arah dan mengajak Uli bersiap mengambil tas karena perjalanan telah sampai.

Kereta semakin melambat dan hampir berhenti sepenuhnya. Aku dan Uli bersiap di depan pintu agar tidak perlu berdesakan saat turun. Begitu kereta sepenuhnya berhenti, aku segera turun dan mengulurkan tanganku untuk memapah Uli.

Hari sudah gelap. Langit hitam bertaburan kerlipan bintang dan bulan yang hampir penuh. Kulihat jam tanganku, waktu menunjukkan tengah malam. Artinya, kereta terlambat tiga jam. Seharusnya tidak selarut ini kami sudah sampai. Aku pun mengajak Uli untuk segera bergegas menuju pelabuhan yang jaraknya tak jauh dari stasiun. Kami masih harus menyebrang selat untuk sampai ke kota tujuan.

Tak lama seusai membeli tiket, kapal pun segera merapat dan kami naik. Tak lama kemudian kapal mulai meninggalkan pelabuhan dan menuju laut lepas yang indah. Menatap langit serta menikmati deburan ombak membuat suasana seperti di dalam film Titanik. Begitu romantis, di ujung kapal aku hanya bersama Uli. Tiba-tiba Uli mengajakku masuk ke ruang makan, karena angin terasa kencang dan membuat badan kedinginan. Aku pun mengikutinya dari belakang.

Begitu sampai di ruang makan, kami duduk di pojok. Aku menuju tempat pemesanan, dan Uli menunggu di tempat duduk. Seusai memesan dua gelas kopi hitam, aku menghampiri Uli. Begitu kagetnya, aku mendapati sepotong kue dengan hiasan lilin yang menyala  berbentuk angka 43 berada di meja. Aku terdiam dan tak dapat bicara.

Uli berdiri membawa kue, menjulurkannya di depanku dan memintaku untuk meiup lilinnya sembari mengucap “selamat ulang tahun, ayah”.

Jantan Putra Bangsa

Prosais yang tinggal di Yogyakarta

 

Penulis: Jantan Putra Bangsa

Penulis lahir 25 tahun yang lalu di kota Yogyakarta dan menetap di kota kelahirannya.

 

Redaktur: Putri Istiqomah Priyatna

Last Updated on 11 tahun by Redaksi

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *