Puisi Matahari

Seberkas garis menembus jendela berterali.
Merambatkan gelonbang-gelombang tranversal pagi di pipi lembut seorang putri.
Dikala ia membuka matanya, segenap alam berseri menari.
Angin bernyanyi, tetes embun meniti.

Akulah sang bintang di kala itu.
Bersinar atas kuasa tanpa meragu.
Kubakar tubuh ini tuk sekedar menghangatkanmu.
Walau terkadang kau tiada tahu.

Ingatlah hangatku dikala senyum merona.
Layaknya musim semi hai bunga sakura.
Namun tiada lupakanku ketika hati meradang rana.
Karena aku kan selalu ada, walau engkau di sebrang dunia.

Ini cinta yg tak ada sesal.
Mengisi detik dengan ketulusan kekal.

Depok, 5 Maret 2009
(ketika semua mati dan hidup kembali)

Last Updated on 13 tahun by Dimas Prasetyo Muharam

Diterbitkan
Dikategorikan dalam KARFIKSI Ditandai

Oleh Dimas Prasetyo Muharam

Pemimpin redaksi Kartunet.com. Pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang lalu ini hobi menulis dan betah berlama-lama di depan komputer. Lulus dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia 2012, dan pernah merasakan kuliah singkat 3 bulan di Flinders University, Australia pada musim semi 2013. Mengalami disabilitas penglihatan sejak usia 12 tahun, tapi tak merasa jadi tunanetra selama masih ada free wifi dan promo ojek online. Saat ini juga berstatus PNS Peneliti di Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Kunjungi blog pribadinya di www.dimasmuharam.com.

8 komentar

  1. Ini tentang cinta atau pemaparan diri ya dim? Gue kurang ngerti soal puisi soalnya. 😀

    Tapi, sejujurnya gue menikmai diksi yang ringan ini. Cuman, kata ‘transversal’ masih terlalu baru untuk gue. Izin dicatet, ya…

    Bagus puisinya.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *