Pulang..

Suasana di kediaman pak Syarif nampak tegang. Pak Syarif nampak gusar memandang anak sulungnya di meja makan.

“Sudah bapak katakan berkali-kali, kubur saja keinginanmu untuk kuliah. Apalagi di Belanda, negara penjajah. Kamu bapak sekolahkan sampai SMA saja sudah syukur. Keluarga kita memang sudah ditakdirkan untuk menjadi petani!” Ujar pak Syarif geram.

“Tapi pak, Bayu ingin sekolah tinggi, Bayu ingin meningkatkan derajat keluarga kita. Pokonya, tanpa izin dari bapak pun Bayu akan tetap kuliah ke Belanda.” Ujar Bayu tak kalah emosinya.

Pak Syarif pun langsung melayangkan tamparan keras di pipi anaknya itu. Rasa sakit akibat tamparan itu tidak seberapa dibanding rasa sakit di hati Bayu. Sang ibu hanya bisa menangis menyaksikan semua pertengkaran yang terjadi di depan matanya.

 

Den Haag, 1973

 

Setelah pertengkaran yang terjadi pada waktu itu, Bayu langsung memutuskan untuk pergi. Ada rasa bersalah di hati Pak Syarif setelah menampar Bayu, akan tetapi amarah lebih menguasainya. Kini, Bayu sudah menginjakan kaki di negeri kincir angin itu. Ia sangat terkagum-kagum dengan keindahan di Den Haag. Ia berjanji tidak akan menyia-nyiakan beasiswa yang sudah ia dapatkan dan akan membuat keluarganya bangga.

 

Berbulan-bulan sudah berlalu. Kegiatan Bayu di kampusnya semakin padat. Ia juga sudah mendapatkan dua sahabat baru, Serra dan Ansal. Serra berasal dari Italia, sedangkan Ansal dari Jerman. Mereka dipertemukan di organisasi yang sama. Ketika ada waktu luang, Bayu selalu menyempatkan untuk mengirim surat kepada ibunya. Tak lupa, ia selalu menanyakan kabar sang bapak, walaupun sang bapak masih enggan untuk berkomunikasi dengannya. Serra dan Ansel sudah mengetahui semua cerita hidup Bayu. Mereka selalu memberikan dukungan dan selalu setia menjadi pendengar yang baik untuk Bayu. Bayu sangat amat bersyukur bisa dipertemukan dengan mereka. Baginya, Serra dan Ansel adalah anugerah yang diberikan dari Tuhan.

 

4 tahun kemudian

 

Waktu terasa sangatb cepat berjalan. Esok adalah hari wisuda. Hari ini, Serra dan Ansel mendatangi tempat tinggal Bayu. Mereka akan makan malam bersama.

“Hoe gaat het met je ouders? (Apa kabar kedua orang tuamu?)” tanya Serra.

Bayu langsung tersentak mendengar pertanyaan itu. Bayu dan ibunya sudah lama tak berkirim surat dikarenakan kesibukan Bayu menyelesaikan skripsinya. Surat terakhir yang dikirimkan oleh ibunya berisi tentang kerinduan dan permintaan agar Bayu bisa segera pulang. Ibunya juga mengabarkan kondisi kesehatan sang bapak terus menurun beberapa bulan terakhir, dan surat terakhir itu dikirimkan sekitar tiga bulan yang lalu.

“Mijn vader is ziek. (Bapakku sedang sakit)” jawab Bayu sedih.

“Bid voor je vader. Na je afstuderen moet je direct terug naar Indonesië. Ze moeten je erg missen. (Berdoalah untuk ayahmu. Setelah wisuda, kamu harus segera pulang ke Indonesia. Mereka pasti sangat merindukanmu)” ujar Ansal menenangkan.

 

Hari wisuda pun tiba. Bayu memakai jas hitam dan kemeja putih. Iya nampak terlihat gagah dan tampan. Ada rasa sesak yang menggerogoti hati Bayu ketika ia melihat teman-temannya datang bersama orang tua mereka. Serra dan Ansal selalu setia menemani Bayu selama acara wisuda berlangsung. Bayu menjadi lulusan terbaik di universitas nya. “ andai bapak dan ibu ada di sini sekarang.” Batin Bayu sedih.

 

Indonesia, 1977

 

Bayu menghela nafas lega. Ia sekarang sudah sampai di tanah kelahirannya, Indonesia. Tak sabar untuk segera bertemu dengan kedua orang tuanya, ia segera menaiki taksi. Ia merasa, sesuatu yang buruk telah terjadi. Langsung ditepisnya semua perasaan buruk itu. Iya meyakinkan diri bahwa semuanya pasti baik-baik saja.

 

Sesampainya di rumah … “Assalamualaikum, pak, bu, Bayu pulang.” Tak ada sautan. “Diulangnya sekali lagi. “ Assalamulaikum bapak, ibu, anakmu pulang.” Hening. Tetap tidak ada jawaban. Ibu Sri, tetangga Bayu, datang menghampiri. “Nak Bayu nyari bapak sama ibu ya?”. “Iya bu, bapak sama ibu ke mana ya?” Tanya Bayu. Bu Sri memberikan sepucuk surat. “Bacalah, nanti kamu akan tahu kemana bapak dan ibu.” Dengan raut wajjah bingung Bayu langsung membaca surat itu.

 

Teruntuk anakku Bayu,

Apa kabar kamu nak?. Semoga kamu selalu dalam keadaan sehat ya. Ibu di sini sangat kesepian nak. Bapamu seminggu yang lalu menghembuskan nafas terakhirnya.  Bapamu sangat amat menyesal dengan apa yang dilakukannya saat dulu bapak menamparmu. Percayalah, bapa tidak bermaksud demikian. Bapak sangat amat menyayangimu dan merindukanmu. Ibu tidak tahan dengan rasa kesepian yang semakin hari semakin terasa membunuh ibu. Ibu merasa hampa nak tidak ada kalian. Jika saat kamu pulang nanti ibu tidak ada lagi di dunia ini, berjanjilah nak untuk selalu menjadi orang yang tegar dan kuat. Capailah semua impianmu.

Ibu mencintaimu.

 

“Bapak meninggal dua bulan yang lalu  Dan disusul dengan ibu sebulan setelahnya.” Jelas Bu Sri seraya mengusap pundak Bayu. Bayu terisak memeluk surat terakhir dari sang ibu. Menyesal, itu yang kini ia rasakan. Menyesal mengapa ia tak ada di detik-detik terakhir kedua orang tuanya. Menyesal, karena ia belum meminta maaf kepada Sang bapak. Penyesalan hanyalah tinggal Penyesalan. Waktu tidak dapat kembali diputar.

Last Updated on 4 tahun by Redaksi

14 komentar

  1. Cerita yang menyentuh Kak, pesan tersampaikan.
    Akan tetapi plot terlalu cepat bergeser, hingga terasa melompat ceritanya.
    Terus semangat dan punya banyak karya indah Kak Luna. Good Job.

  2. Alhamdulillah. Bravo ananda Luna. Tulisanmu bagus. Nyampe di hati. Terus berkarya ya Nak
    Semoga kelak menjadi penulis besar.
    Salam bangga,
    Dedi Djanut

  3. terima kasih untuk kontribusinya. Silakan dibagikan ke sebanyak mungkin teman untuk dapat suka dan komentar ya. Tetap semangat dan terus produktif berkarya!

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *