Punya Pasangan Tunanetra, Kenapa Tidak?

Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, pada umumnya kaum tunanetra dianggap sebagai kaum kelas bawah yang biasanya hanya menyusahkan orang banyak. Anggapan tentang profesi kaum tunanetra pun tidak jauh-jauh dari pengamen, pengemis, atau paling tinggi sebagai tukang pijat. Padahal, jika kita membuka mata, di luar sana banyak tunanetra yang menjadi orang sukses. Kita bisa lihat Stevie Wonder, salah satu legendaris musik pop dunia. Kita juga bisa lihat Ludwig Van Beethoven, salah satu musisi musik klasik yang sangat terkenal dan karya-karyanya masih dimainkan orang hingga saat ini.

 

Satu hal yang menjadi bahan pikiran yang cukup rumit bagi kaum tunanetra, yaitu tentang memilih pasangan hidup (read: pacar atau suami/istri). Salah satu kontributor Kartunet, Ekka Pratiwi Taufanty, pernah menulis tentang bagaimana menyikapi cinta diantara sesama tunanetra (silahkan baca di sini). Kali ini, penulis ingin membahas lebih lanjut tentang masalah percintaan bagi kaum tunanetra. Dalam tulisan ini penulis ingin mengangkat tentang tunanetra yang ingin memiliki pasangan non-tunanetra. Apakah bisa?

 

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kisah cinta tunanetra biasanya memiliki jalan cerita yang biasanya agak lebih rumit, apalagi jika tunanetra tersebut menginginkan pasangan yang non tunanetra. Faktor pertama biasanya muncul dari dalam diri tunanetra itu sendiri. Biasanya tunanetra merasa minder dengan keadaannya sebagai tunanetra. “Yaa, siapalah gue ini? Cuma tunanetra doang kok, mana ada cowok/cewek yang mau sama gue?” Begitu kira-kira perkataan yang biasanya terlontar dari beberapa tunanetra yang pernah bercerita kepada penulis. Bahkan penulis tidak menutupi bahwa penulis pun pernah merasakan hal seperti itu.

 

Lalu bagaimana cara menyikapinya? Simpel saja, yang penting kita jangan minder. Tuhan menciptakan manusia dengan bentuk sesempurna mungkin, oleh karena itu di balik kekurangan yang dimiliki pasti tersimpan sejuta kelebihan. Rasa minder itulah yang menjadi halangan terbesar untuk berkecimpung di dunia percintaan.

 

Faktor kedua (yang biasanya menjadi masalah yang lebih berat) adalah tantangan dari pasangan atau orang tua pasangan. Beberapa orang akan menentukan pilihan pasangan hidupnya -atau calon menantunya- dari bebet, bibit, dan bobot (penulis sendiri kurang mengerti apa makna tiga kata tersebut). Yang pasti, pasangan yang diinginkan orang biasanya adalah pasangan yang tampan, kaya, dan tidak kurang suatu apa pun. Dari poin ini tentu saja tunanetra sudah “terpental” dari kriteria pasangan idaman jika dilihat dari kacamata awam.

 

Bagaimana menyikapinya? Jika tantangan tersebut datang dari pasangan, tidak terlalu sulit untuk mengatasinya. Tunjukkan bahwa kaum tunanetra bukanlah kaum yang menyusahkan seperti stigma yang terbentuk di masyarakat luas. Kita harus menunjukkan bahwa tunanetra pun dapat hidup normal seperti masyarakat pada umumnya. Tetapi jika tantangan datang dari orang tua pasangan, itu yang agak berat. Sebetulnya bisa saja memakai cara yang sama dengan yang kita lakukan terhadap pasangan; menunjukkan bahwa tunanetra pun bisa hidup normal. Tetapi biasanya orang tua memiliki pemikiran yang agak susah ditebak dan sulit untuk disanggah meskipun pemikirannya salah. Orang tua –yang biasanya tidak tanggap terhadap perkembangan zaman- biasanya akan tetap pada pendiriannya bahwa tunanetra adalah kaum yang tidak bisa apa-apa. Langkah selanjutnya, coba minta pasangan untuk menjelaskan kepada orang tuanya apa dan siapa sebenarnya tunanetra itu, karena pasangan tentunya sudah lebih dahulu mengerti dibanding orang tuanya, dan biasanya perkataan seorang anak akan lebih didengar oleh orang tuanya ketimbang perkataan orang lain. Jika masih gagal juga, maka tidak ada jalan lain. Lebih baik cari orang lain yang lebih terbuka pemikirannya. Seperti kata pepatah, “gugur satu tumbuh seribu”.

 

Sedikit cerita, penulis pernah menjalin hubungan dengan seseorang. Sayangnya hubungan tersebut hanya berjalan dalam waktu yang bisa dibilang sangat singkat (bahkan salah seorang teman penulis pernah bilang, “Jagung aja belum tumbuh Ry.”). Selama menjalin hubungan, penulis sama sekali belum pernah bertemu dengan orang itu (meskipun sebenarnya penulis sudah mengenal orang itu dari sosial media selama kurang lebih 3 tahun). Singkat cerita, setelah penulis tidak menjalin hubungan spesial dengan orang tersebut, barulah penulis mempunyai waktu untuk bertemu dengan dia. Saat pertemuan itu, secara kebetulan penulis juga bertemu dengan orang tuanya. Setelah pertemuan itu, terjadilah SMS kurang lebih seperti berikut:

(P=Penulis, X=seseorang)

X: “Tadi mama aku nanyain kamu tuh.”

P: “Nanya apa?”

X: “Iya, nanyain kemaren P pulangnya gimana? Aku bilang P bisa kok pulang sendiri.”

P: “Oh gitu.”

X: “Terus mama aku nanya, kamu ada hubungan spesial gak sama P? Aku bilang, gak ada. Terus mamaku bilang, kamu lebih baik temenan aja sama dia.”

 

Tersirat, tapi mengena. Itulah yang dapat penulis tangkap dari beberapa SMS tersebut. Barangkali pembaca bisa memahami apa maksud dari kalimat-kalimat di atas? Yaps, penulis pun sudah memperhitungkan risiko tersebut. Sempat terlintas perasaan tidak enak ketika membaca SMS tersebut. Tetapi penulis berpikir, jika responnya sudah sedemikian rupa, artinya orang tersebut cukup sulit untuk diperjuangkan. Bukan sulit dari orangnya, tapi sulit dari orang tuanya. Poin pentingnya, jika seorang tunanetra mencintai seseorang non tunanetra, maka berjuanglah semaksimal mungkin. Jika perjuangan tersebut tidak membuahkan hasil, maka carilah orang yang lebih open-minded.

 

Dan satu poin penting yang ingin penulis tekankan untuk pembaca non tunanetra, jangan melihat seseorang hanya dari status “tunanetra”nya saja. Seperti yang telah penulis singgung di atas, banyak tunanetra yang menjadi orang sukses, tak terkecuali di Indonesia. Tunanentra bukan makhluk aneh, bukan pula alien. Jadi jadi jangan takut menjalin hubungan dengan seorang tunanetra, termasuk untuk dijadikan pasangan hidup.

Last Updated on 7 tahun by Redaksi

Oleh Fakhry Muhammad Rosa

Fakhry Muhammad Rosa, seorang tunanetra kelahiran Pontianak, 31 Mei 1994. Alumni jurusan Sastra Jerman, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Aktif menjadi pengurus di ITCFB (IT Center For The Blind) sebagai penulis artikel teknologi (silahkan baca di http://www.itcfb.org). Aktif bermusik sebagai drummer di Mitra Netra Band dan bassist di Remikustik.

38 komentar

  1. min..saya mau curhat dikit, jadi saya seorang perempuan yg sedang menjalani kuliah di jurusan PLB di semester 5, jadi saya sudah biasa dengan orang2 difabel, suatu ketika saya kenal dengan junior saya sendiri yang dia seorang tunnet di waktu libur semester, kami akhirnya merasa nyaman satu sama lain dan saya tetap jadi diri sendiri,dan akhirnya sudah lebih 2 bulan kami dekat, biasanya kami q-time di luar kampus, dia juga orangnya gamau go public,orang tua dia sudah tau saya, begitupun ortu saya juga sudah tau dia..tapi disini ortu saya melarang saya untuk terlalu dekat dengan dia..apalagi sampe baperan, padahal kami juga dalam hubungan berteman gak lebih
    orang tua saya gamau nanti hubungan kami terlalu jauh sampe terlalu dalem..berkaca juga dari nasib keluarga saya sendiri, keluarga saya bukanlah orang berada, kasarnya orangtua saya bilang “ayahmu saja yg orang normal cuman bisa kerja supir,apalagi dia??”
    belom lagi kalo misalnya nanti sampai beneran serius, bagaimana nanti menjalani kehidupan rumah tangga, menghadapi omongan orang2 awam, karena yg kita hadapi ini lingkungan awam bukan lingkungan plb
    ntah lah..kalo urusan jodoh kami sih pasrah..tapi untuk perasaan saya sama dia..jujur emang udah dibikin nyaman, bahkan saling ketergantungan baik saya maupun dia, tapi untuk jangka panjang, saya kadang sedih sendiri mikirin hal kek gitu

    1. Halo Mbak. Kalau menurut saya, di sinilah kalian berdua harus mencoba terus berjuang. Buktikan kalau ketunanetraan itu tidak menghalangi untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Yang penting adalah bukti. Nantinya jika memang sudah ada bukti, Insya Allah orang tua Mbak juga akan mengerti bahwa disabilitas bukanlah halangan untuk mendapatkan pekerjaan yang baik

    2. menarik. boleh ikut berkomentar ya. Intinya hubungan adalah kalian yang menjalani. Hidup kalian juga yang akan menanggung semua konsekuensinya. Hal pertama yang harus dilakukan adalah berteman dulu, saling mengenal, dan yakinkan diri masing-masing. Jangan langsung bawa2 orang tua dulu. Karena ketika sudah dijalani atau menikah nanti, semua tanggung jawab ada di kalian, bukan lagi urusan orang tua. Jadi kuatkan dulu perasaan kalian, yakinkan diri apakah memang benar ini yang terbaik buat saya, lalu pahami dan bersiap dengan segala konsekuensinya. Sebab jika kalian tidak kuat dulu dari dalam, maka nanti ada cobaan eksternal seperti orang tua akan mudah menyerah.

  2. manusia hanya bisa berencana, berharap & memohon. Tapi, tuhan penentu segalanya. Termasuk jodoh. Walau kita tunet, tak menutup kemungkinan mendapatkan pasangan non tunet. Walaupun, rintangan datang dari orang tua non tunet. Kalau sudah jodoh? Seperti suatu pepatah berbunyi:
    Asam di gunung, garam di laut.
    Dalam belanga bertemu jua.

    yang terpenting, semangat & optimis dalam meniti kehidupan; termasuk mencari jodoh.

  3. Tunanetra adalah orang2 yang luar biasa. Jadi jodohnya pun pasti orang2 yang nggak kalah luar biasanya. Dan orang2 luar biasa itu lahir dari orangtua yang luar biasa juga. Kalo misal temen2 tunanetra naksir sama orang awas yang dirinya atau orangtuanya nggak menganggap ketunanetraan temen2 sebagai suatu anugerah atau sebaliknya melihat ketunanetraan sebagai halangan untuk segala sesuatu, maka pasti ada orang lain yang lebih pas untuk diperjuangkan.
    Semangat berjuang kawans seperjuangan! hihihi.. 😀

    1. hahaha. masih jauh nih. gimana dong? gw mau tahajudin 40 hari tanpa putus masih kalah2 terus. 🙁

  4. sy pernah baca status seorang dokter yg mengatakan bahwa disabel sebaiknya menikah dgn yg tidak disabel. karena pada disabel, sudah ada gen yg (secara peluang) nantinya akan menurunkan generasi disabel jg. secara kacamata sebagai ortu dgn anak disabel, saya sependapat. karenanya saya berjuang & berusaha sebaik mungkin meng-indah-kan anak saya supaya menjadi pribadi hebat yg tidak dapat “ditolak” hahay..

    1. saya tidak sependapat dengan pendapat dokter itu. tidak semua disabilitas degeneratif. bagaimana denganyang karena kecelakaan atau bukan dari lahir? sedarilahir pun belum tentu diturunkan. Bisa jadi dari orang tua yang sehat lahir anak disabilitas. Jadi semua itu hanya masalah dapat “jackpot” aja atau tidak dari Tuhan. Soal jodoh, sudah ada Allahyang atur. manusia hanya dapat berusaha saja. nanti akhirnya berjodoh dengan siapa, itu namanya takdir

  5. jd inget ucapan seorang ibu dari seorang teman dis netra. “Mama sih pingin dia dapet suami yang awas Nens! soalnya kl dpt suami yang sama kayak gini nanti mama jadi nambah urusannya. Ngurus satu dia aja udah bingung udah ribet, apa lg nanti ditambah dengan menantu. *** Menghilangkan perasaan berapi-api jadi ditahan dengan gigit jari saja sambil manggut-manggut. 😛

    1. nasihat orang tua memang biasanya benar. tapi nasihat dari pemahaman yang keliru bisa jadi salah juga.

    1. nah, salah satu pelaku sejarahnya akhirnya angkat bicara nih. Coba kasih wejangan2 dong mbak. :))

  6. ada tunanetra yang pergaulannya dengan orang awas sekedarnya aja. Tidak terlalu supel. Tapi karena pilihan hatinya dan juga ditakdirkan jodohnya orang awas, dia akhirnya bisa menikah dengan orang awas. Dan ada juga tunanetra yang sangat supel bergaul dengan orang awas, bahkan ada perempuan awas yang suka sama dia, tapi pilihan hatinya dan juga ditakdirkan jodohnya adalah orang tunanetra, dia akhirnya menikah dengan tunanetra. Kalau saya pribadi pinginnya sih punya pasangan orang non tunanetra, tentunya yang solihah. Alasannya karena saya dan kakak saya adalah tunanetra. Kasihan sama orang tua kalau menantunya juga tunanetra. Kakak saya juga belum menikah. Tapi saya serahkan semuanya pada ALLAH. Kalau ALLAH memang berkehendak lain, kami semua harus terima dengan lapang dada.

  7. Buat para orangtua: Semua orangtua tentunya pingin anak-anaknya mendapat jodoh yang baik. Silahkan melihat bibit, bebet, dan bobot. Rasulullah sendiri bersabda: nikahilah perempuan/laki-laki karena keturunannya, hartanya,rupanya, dan agamanya. Tapi yang paling ditekankan adalah agamanya. Jadi teman-teman tunanetra yang saat ini sedangberjuang untuk mendapatkan restu dari orang tua kekasihnya yang non tunanetra, tunjukkanlah kesolehan kita. Tunjukkanlah bahwa kita bisa jadi imam yang baik untuk anaknya.

  8. Pada dasarnya semua orang, khususnya tunanetra pingin punya pasangan yang lebih baik dari dia. Jadi berjuanglah untuk mendapatkannya, sambil terus berdoa pada Tuhan.

    1. kalo saya sih yang penting agamanya cukup kuat, setia, perhatian, jujur, dan bisa masak *soalnya saya doyanh makan wkwkwkwkwk* *bukan promosi kok, hahaha*

    2. Saya menyukai lelaki tunet…dan dengan izin Allah. Saya memiliki rasa sayang dan ingin menjadi sahabat nya dalam beribadah kepada Allah. Beliau adl slh satu qori Nasional. Namun bkn krna klbhan nya tsb sy menyukai nya. Tpi krna agama nya. Dan insyaAllah.
      Beliau adlh lebih muda dari saya 6 tahun.
      Jodoh sy serahkan kpda Allah. Dlm hati dan berdoa..semoga Allah membuka kam hati nya agar segera meminta sy untuk menjadi sahabat nya menjadi makmum nya.

  9. Memilih pasangan sesama tunanetra,atau pasangan non tunanetra adalah pilihan dan jodoh. Kita bebas untuk memilih siapapun untuk menjadi pasangan hidup kita. Buat para pembaca non tunanetra ada satu hal yang perlu kita sadari, bahwa hidup tidak selalu berjalan mulus. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi dalam hidup kita. Kalau hari ini pasanganmu masih bisa bonceng kamu. Masih adakah jaminan besok dia masih bisa bonceng kamu? Boleh jadi besok si dia yang tampan itu kecelakaan atau sakit sampai dia jadi tunanetra. Kalau udah begitu apakah kamu akan ninggalin dia atau setia sama dia?

    1. ya, hal2 kayak gini memang perlu ada yang berani angkat ke permukaan. Biar ada diskusi antara pihak korban, pelaku, dan calon korban atau pelaku. haha

  10. cie cie cie jeng ari tulisannya soal cinta heheeh…good jeng..pencerahan juga 🙂

  11. Oh iya, aku tiba-tiba ingat dan nulis ini buru-buru, dulu ada yang pernah bilang kalau disabilitas fisik itu dapat melihat dari hati yang jadi kelebihannya dan jadi hadiah dari Tuhan, cuma kaya gimananya saya kurang ngerti. Mungkin, hatinya mesti putih dulu.

  12. Alhamdulillah ane dapat, anyway cinta itu :buta”, kok, jadi ga mandang disabilitas atau ga 😛

  13. Seperti lagi nonton FTV ni bung baca tulisannya xixixixi :d tenang bung! jodoh serahkan dengan yang maha kuasa atas jodoh kita, ingat juga jangan pernah berprasangka buruk terhadap tuhan. Jika prasangka kita selalu baik, kita pinta jodoh yang terbaik mudah-mudahan jodoh yang aka diterima sesuai dengna pikiran kita. Lelaki yang bai untuk perempuan yang baik, dan perempuan yang baik juga demikian, jadi perbaikilah dulu diri kita.

  14. mantap dan berapi-api banget nih bung. hehe. semua tulisan ini sebetulnya dapat dirangkum dalam satu kalimat “tiap orang ada jodohnya masing2”. Meski berat dijalani, tapi tetap harus diyakini. Sebetulnya kita tidak bolehmengkotak-kotakan pasangan disabilitas atau non-disabilitas. Nanti salah2 kita sendiri yang terbawa dalam alam pemikiran itu. Kita juga perlu adil sejak dalam fikiran. Soal preverensi, itu masalah lain. tiap orang boleh punya seleranya sendiri. tapi jangan atas dasar disabilitas atau non-disabilitas. Sederhananya, kalo suka sama orang, cari tahu dulu orangnya, kalo sudah merasa cocok, sikat! 😀

    1. Setuju sama mas Dimas, Semangat ya untuk semua disabilitas baik fisik maupun mental (sama stigmanya). Kalau ada masalah ya berarti mungkin belum jodo, terus saja mencari.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *