Pusaka Indonesia

Pengemis itu datang lagi. Setiap hari Minggu biasanya kakek tua itu menyempatkan diri datang meski kondisinya sudah sangat memprihatinkan.

Siolah pengemis tua itu hafal betul nama hari baik  nasional maupun hari pasaran seperti pon, wage, kliwon, dan seterusnya. Seolah kakinyapun telah terlatih dengan trampil kemana ia harus melangkah bila hari tertentu.

 

Setiap hari Minggu kakek tua renta itu biasanya menuju komplek, karena ia tahu kalau kebanyakan penghuni komplek  tidak ada dirumah bila hari kerja.

 

 

 

Anehnya pengemis tua itu pandai berbahasa Belanda. Kadang sambil berjalan, ditengah perjalanannya yang  tak  jelas kemana ia sering bersenandung menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan Halo-halo Bandung.

 

Ia juga bisa berbahasa Jepang, kadang ia bersenandung,  yitni sangsi, katok goni, klambi rami. Seolah jiwanya damai bila  sambil berjalan  menyanyikan beberapa lagu perjuangan.

Pernah suatu hari ia ditanya oleh salah satu warga yang tinggal dikomplek,

”Kek, kenapa  minggu kemarin tidak datang? Anak bungsuku sudah menunggu, karena ia senang kalau mendengar kakek berbahsa Belanda”, tanya seorang nyonya.

” Hari Minggu kemarin saya tidak mau minta-minta, karena itu hari istimewa buat saya mungkin juga buat ribuan orang seperti saya”.

”Memangnya ada apa kek”..

”Apa nyonya lupa, kalau hari Minggu kemarin bertepatan dengan hari Kemerdekaan Indonesia”?.

”Kakek tahu kalau hari Minggu kemarin hari ulang tahun RI”?.

”Ya begitulah kira-kira”.

Sibungsu yang masih cadel semakin tertarik melihat kakek datang dengan penuh semangat meski ia tidak bisa berjalan tanpa bantuan tongkat.

”Kek, memang ulang tahun Indonesia itu tanggal berapa? Kalau ulang tahun Intan tanggal 8 Februari”,  Tanya bocah cilik dengan polosnya.

”Tanggal 17 Agustus”.

”Terus kalau kakek tidak minta-minta dapat uang dari mana? Kakekkan sudah tua”? Tanya Intan tidak puas.

” Kalau hanya sehari libur tidak apa, masih cukup buat sekedar makan. Saya pergi kealun-alun, melihat anak cucu kakek yang sedang memperingati hari Kemerdekaan Indonesia. Kakek merasa bahagia biarpun tidak bisa mengikuti upacara bendera. Pasti kakek langsung nangis bila teks Pancasila sedang dibacakan”.

”Memang kakek bisa menghafal dari isi Pancasila itu”? Tanya Intan kembali semakin  penasaran.

“Masih ingat banget, meski usia kakek sudah 87 tahun”.

”coba  gimana bunyinya? Intan pengin dengar, karena tiap hari aku disuruh papa baca Pancasila sebelum tidur”.

Dengan nafas ngos-ngosan kakek tua itu menyebutkan isi dari kelima sila yang berada dalam Pancasila.

”Hore!kakek bisa! Intan juga bisa, tapi kadang masih ada yang lupa”

”Coba diulang lagi pasti nanti adik kecil akan semakin pintar”. Kakek tua memberikan semangat.

Pagi itu terjadi dialog yang asyk antara pengemis dan Intan. Mereka lupa kalau sebenarnya diantara mereka tidak saling kenal.

Tak lama pengemis itu mohon ijin untuk meneruskan perjalanannya. Anehnya tuan rumah memesan agar minggu depan ia mau datang lagi, karena anaknya senang bila diajari menghafal Pancasila oleh kakek tua itu. Apalagi kalau ia mau menyanikan lagu halo-halo Bandung.

Sekitar jam 9.00 biasanya kakek itu telah datang dirumah  sang jendral . Tidak seperti biasa, sang jendral yang tidak pernah peduli dengan semua pengemis yang datang kerumahnya, begitu  istrinya menceritakan kalau rumahnya sering kedatangan pengemis tua yang cerdas, maka ia menjadi penasaran ingin ketemu.

Semula ia hanya menanyakan dimana ia tinggal dengan siappa,pertanyaan yang sangat biasa.Lama kelamaan sang jendral ingin mengetahui lebih lanjut siapa sebenarnya pengemis itu.

Dalam hati kecil pengemis itu bergumam, kenapa lembaran lima ribu belum diberikan juga ya sementara perutku sudah kroncongan.

Sambil mengawasi drivernya yang mencuci mobil, tanpa diduga sang jendral memanggil mbok yem abdi dalemnya yang sejak kecil mengabdi padanya. Sang jendralmemerintahkan agar mbok Yem menyiapkan sarapan pagi dan secangkir teh hangat, agar ia lebih leluasa bisa ngobrol dengan pengemis itu.

Dalam hatti kecil sang jendral bergumam, banyak sekali pengemis  yang datang kerumahnya, tapi  kenapa dengan bapak yang satu ini aku punya perasaan lain?.

Setelah berbasa-basi, lama kelamaan ia dipancing-pancing  agar ia mau bercerita tentang perjalanan hidupnya.

Dengan terbata-bata pengemis itu menceritakan kalau jaman penjajahan Belanda dulu ia pernah menjadi tentara Belanda. Sebenarnya pekerjaan menjadi tentara Belanda hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan agar anak isterinya tidak kelaparan, Namun sesungguhnya ia seorang pejuang.

”pertama kali saya mendengar lagu Indonesia Raya dinyanyikan dirumah kakak RA. Kartini waktu saya masih tugas di Bandung, lagu itu dinyanyikan oleh beberapa orang menjelang   bung Karno memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia”.

”Makanya saya ingat betul lagu itu. Begitu pula dengan lagu-lagu perjuangan seperti : maju tak gentar, satu nusa satu bangsa, jembatan merah, dan masih banyak lagi”.

”Tapi saya juga merasa lumpuh bila mendengar lagu- lagu itu dinyanyikan, apalagi kalau dalam suatu upacara, teks pancasila mulai dibaca”.

Dengan semangat sang jendral menyimak cerita kakek tua yang baru ia kenal. Meski usianya sudah sangat lanjut, namun pengemis yang satu ini badannya tetap bersih dan tidak patah semangat.

 

”tadi kakek bilang, kalau dengar lagu perjuangan kakek merasa bahagia, tapi mengapa sekarang bilang merasa lumpuh”? Tanya sang jendral agak heran.

”Karena disaat saya bertugas menjadi tentara Belanda, saya juga menjadi mata-matanya orang Indonesia, jadi tentara Indonesia tahu dari saya kapan tentara Belanda akan mengadakan aksi”.

 

Sambil menarik nafas panjang pengemis itu meneruskan ceritanya.

”ketika saya sedang bertugas di Bandung, tiba-tiba di Magelang tempat istri dan anak  saya tinggal terdengar suara ledakan, Dengan panik istri saya yang sedang mencuci dikali melarikan diri. Sambil menyelamatkan diri ia menangis karena sang anak yang satu-satunya sedang tidur dirumah, sementara ia tidak ada waktu untuk menyelamatkan anaknya”.

Keesokan harinya, setelah keadaan boleh dinyatakan aman,  istri saya kembali ke Magelang untuk menjemput anaknya, ternyata anak kami sudah hilang entah kemana.

 

”Sampai sekarang istri saya minta agar saya bisa menemukan anak kami,itulah kenapa setiap kami mendengar lagu-lagu perjuangan hati saya bagaikan hilang sebelah”. Disaat saya berjuang membela sang saka demi kehormatan bangsa Indonesia, kami kehilangan anak”.

”Jadi istri kakek juga masih ada”?

”Masih ada anakmas, tapi sudah sakit-sakitan. Saya ingin bisa mewujudkan keinginannya sebelum kami menghadap  Illahi.”

”Berapa usia istri kakek”?

” Bulan depan tujuh puluh lima tahun”.

Sang jendral semakin terheran-heran, biasanya orang seusia dia kalau ditanya umurnya berapa paling bilang sekitar tujuh puluh tahun dan seterusnya karena tidak pernah tahu kapan ia dilahirkan.

Sang jendralmenanyakan beberapa pertanyaan lagi sambil menemani sang kakek sarapan pagi.

”Ada tidak kek cita-cita kakek selama ini yang belum tercapai”?

”Ada 2 hal, dan dua-duanya sangat penting buat kami  berdua”.

”Boleh tahu apa itu”?

” Pertama saya ingin  semua rakyat Indonesia tetap bersatu, yang kedua saya ingin bisa menemukan anak kami yang hilang    45 tahun yang lalu, semoga ia dalam keadaan baik”.

” Kenapa ingin rakyat Indonesia tetap bersatu kek”?.

“Karena dengan bersatu, tidak ada gontok-gontokan, berarti negara dalam keadaan aman, sayapun masih bisa mencari nafkah meskipun dengan cara meminta-minta, karena kaki saya sudah tidak kuat lagi kalau disuruh kerja seperti waktu masih muda. Berarti cita-cita dari para pejuang seperti yang tercantum dalam sela ketiga Pancasila bisa terwujud”.

“Yang kedua kalau kami bisa menemukan anak kami kembali, berarti merupakan surga dunia bagi kami berdua “.

“Kalau boleh tahu siapa nama anak kakek yang hilang itu”?

”Budi Sudirman, saya sengaja memberi nama itu keanak kami karena saya ingin anak kami kelak menjadi orang yang berbudi luhur, dan menjadi jendral besar seperti jendral Soedirman”.

Mendengar namanya disebut oleh pengemis tua itu, sang jendral  matanya terbelalak,  dan semakin gelisah,  tak lama ia  mengulangi pertanyaannya kembali.

” Siapa kek nama anak kakek tadi”?.

”Budi Sudirman, ia lahir lima puluh  tahun yang lalu di Muntilan Magelang”. Karena saya jarang dirumah dan sering tugas jauh, maka sampai sekarang saya selalu membawa foto anak saya, tapi ya sudah agak kuning karena hitam putih dan sudah terlalu lama”.

“Terus siapa nama kakek sendiri, dan siapa nama istrinya”?

”Nama saya Teguh Prayitno, dan istri saya Rusmini. Dulu istri saya seorang penyanyi kroncong”.

”Bolehsaya lihat foto anak kakek yang hilang itu”?.

Perlahan-lahan sang kakek mengeluarkan foto anaknya yang dibungkus rapi dan dimasukkan kedalam plastik. Selain membawa foto anaknya yang hilang kemanapun ia pergi, pengemis itu juga membawa kain kecil seukuran sapu tangan dengan dua warna merah dan putih.

Melihat pengemis itu mengeluarkan foto anaknya sang jendral terkejut, karena yang ia lihat adalah fotonya sendiri waktu ia masih berumur lima tahun. Tentu saja ia ingat betul, karena ia mempunyai foto yang sama dalam album kenangan peninggalan orang tua asuhnya.

”Kenapa foto itu dibungkus dengan bendera merah putih ukuran kecilkek”? Tanya sang jendral penasaran.

” Karena disaat saya berjuang membela sang saka, saya juga kehilangan anak satu-satunya”.

 

Last Updated on 4 tahun by Redaksi

Oleh Walin Hartati

Menjadi tunanetra setelah dewasa memang berbeda dengan yang menjadi tunanetra sejak lahir. Depresi itu yang terjadi pada saya, tapi semenjak mengenal komputer bicara stap by stap semangat hidupku muncul kembali bahkan semangat untuk menolong orang lain yang mengalami disabilitas semakin tinggi

1 komentar

  1. terima kasih untuk kontribusinya. Cerpen yang menarik dan pas sekali di momentum Hari Kelahiran Pancasila 1 Juni.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *