Putri Mimpi

Aku menegakan kepalaku saat sayup-sayup kudengar bu Rini memanggilku. Kembali kegelisahan itu menyelimuti. Aku tau setiap guru memanggilku pasti menanyakan tugas-tugasku yang tak pernah aku kerjakan. Aku hanya bisa menunduk malu dan kembali menyandarkan keningku di atas kedua tanganku yang selalu melipat rapi di atas meja kelasku. Sekilas aku mendengar sayup-sayup bu Rini berbicara, tetapi pikiranku mulai memasuki ruang mimpiku.

Aku sedang duduk di atas sebuah gundukan batu. Di sampingku terdapat dua gelas anggur yang kelihatannya sangat nikmat. Aku tak tau yang satu milik siapa, tetapi yang satunya lagi pasti miliku. Sedang asyiknya melamun, aku dikagetkan oleh sepasang tangan yang memeluk tubuhku dari belakang. Aku sangat ingat aroma ini. Aroma ini pernah kucium kemarin.

Waktu itu aku sedang berada di sebuah istana yang sangat megah. Aku ditemani seorang putri yang sangat cantik jelita. Namanya Juita. Juita adalah anak seorang raja yang ditunangkan denganku. Aku bisa mendapatkannya karena aku telah menyelamatkan kerajaan dari serangan musuh.
Waktu itu kami sangat mesra. Kami melewatkan waktu dengan bercumbu, sampai tak terasa aku dibangunkan oleh bu Rini. Ya, bu Rini yang selalu mengganggu mimpi-mimpiku.

Lamunanku terbuyar saat dengan perlahan Juita menghadapkan tubuhnya di depanku. Aku tak tau apa yang ada di dalam hatiku. Yang jelas aku sangat senang saat ini bisa berjumpa lagi dengannya.
”Aku rindu kamu” Ada suara yang keluar dari bibirnya yang tipis dan manis.
”Aku pun begitu”
”Kenapa kita jarang sekali berjumpa?”
Aku tertegun sejenak, aku memutar otak untuk menjawab pertanyaannya yang polos itu.
”Mungkin karena dunia kita berbeda”
Dia menunduk, dan kulihat hembusan angin pegunungan menerpa rambutnya yang lurus dan pirang. Aku menikmati pemandangan itu, dan aku langsung memeluk dan mencium lembut keningnya.
Dia melepaskan pelukanku. Dan kulihat senyum yang hangat di wajahnya.
”Tapi sekarang kita sudah bertemu. Kamu bahagia?”
Aku mengangguk dan memeluknya lagi erat-erat.
Aku tidak sadar bahwa suasana di sekitarku sudah berubah. Kami sedang terbang di angkasa menggunakan permadani. Di sana-sini aku melihat gemerlap bintang, dan tampak jelas ku lihat di sudut kiri bawah ada seberkas sinar bulan yang makin lama makin redup.
Juita masih berada di dalam pelukanku. Aku membelai rambutnya yang pirang sampai suatu ketika, dia memalingkan tubuhnya dan menunjuk ke sebuah bintang yang sangat cantik. Bintang itu berwarna hijau jamrud, di sekitarnya dihiasi bintang-bintang kecil berwarna kuning keemasan. Aku memalingkan wajah ke arah juita dan kami saling bertatapan.
”Bintang itu adalah bintang kita.” Dia berkata manja.
”Ya, bintang itu bintang kita berdua. Sangat cantik ya?”
Juita mengangguk dan menyandarkan rambutnya di pelukanku.

OH Juita
Sungguh kau sang Juita
Kau hadir dalam mimpiku
Menyirnakan segala deritaku

Ku ingin selalu bersama
Menggapai bintang
Mendaki bulan
Terbang dalam hayalan

Oh Sang Juita
Ku tak ingin berpisa
Ku ingin bersamamu selamanya

Kadang aku merasa takut
Aku takut terbangun
Aku ingin tersesat
Ya, tersesat dalam mimpi

Mimpiku indah
Mimpiku nyata
Hanya aku yang punya
Dan Juita

Aku mengamati wajah cantik di hadapanku. Dia sangat jelita. Sampai di suatu ketika, angin berhembus kencang dan Juita terjatuh dari permadani. Aku sangat panik saat itu, dan aku berusaha melawan angin, tapi tetap saja tak bisa dan akupun terjatuh, melayang dan terombang-ambing dihembus angin yang sangat dasyat, hingga saat aku terjatuh aku mendengar suara tawa di sana-sini.
”Wah, wah, wah! Tidur di kelas sampai jatuh gitu sih!”
Aku sangat kenal suara itu. Ya, bu Rini.
”Makanya, kalau tidur bawa bantal, biar nggak jatoh! Ha Ha Ha!!!”
Ku dengar lagi suara dari belakangku.
Jujur aku sangat kesal. ”Bisa-bisanya mereka menertawakanku!” Geramku dalam hati.

Bel pulang telah berbunyi. Tanpa basa-basi aku langsung memungut tas sekolahku dan memutuskan pulang ke rumah. ”Aku tak ingin lama-lama di sekolah, sebab Juita menungguku!” Seruku dalam hati. Aku mengambil langkah seribu menuju parkiran motor dan kulihat motor besarku sudah menunggu dengan angkuh.

Sesampainya di rumah aku tak menghiraukan ocehan mamaku. Aku langsung masuk ke kamar dan merebahkan tubuhku di atas tempat tidur yang sudah tertata rapi.
Aku ingin memejamkan mata, tapi mata ini sulit sekali terpejam. Mungkin karena aku terlalu banyak tidur di kelas. ”Aku rindu pada Juita” Pikirku dalam hati. ”Aku ingin bertemu dalam mimpi.”

Aku terbangun saat kudengar azan magrib di mushalla dekat rumah. ”Hemh, mengapa aku tidak bermimpi sama sekali?.” Tanyaku dalam hati.
Bila aku di sekolah aku selalu memimpikan putri mimpiku, tetapi bila di rumah mengapa tidak? Aku menyesal pada diriku sendiri. ”Mengapa aku memutuskan pulang kerumah? Seharusnya aku tidur di kelas. Mungkin sekarang aku sudah bersama dengan Juita.” Pikirku dalam hati.
Aku mengeluarkan motorku dari tempat peraduannya. Aku mengokangnya dan terdengar suara gemuruh dari knalpotnya.
Ku tinggalkan rumah dengan motor besarku. Aku tidak tau mau kemana, yang jelas aku ingin menghilangkan kejenuhanku.

Oh Juita
Aku ingin bersama
Menikmati birunya cinta
Melintasi sang nirwana

Kan ku tuju angkasa
Kan kulewati sang pelangi
Kan kubawakan kau kejora
Tuk hiasi malam ini

Di tengah pikiranku yang tidak menentu, tanpa terasa aku telah memasuki halaman sekolah. Aku melihat pak satpam di pos dekat pintu gerbang. Aku ingin langsung menuju ke kelas, tapi aku mendengar pak satpam memanggilku.
”Hoi Jek, mau kemenong lo?”
”Sorry nih pak, aye mau ke kelas, ade buku nyang ketinggalan!” Aku berbicara sambil mengikuti logat betawi pak satpam yang kental.
”Oh, tapi untuk menjaga keamanan sekolah lo kagak boleh masuk ye!”
”Emang kenapa pak?”
”Ya pokoknya begitu deh! Daripada lo ke kelas, lebih baik lo temenin gue main catur! Mau nggak?”

Wah sialan nih, pak satpam tidak mengizinkan aku masuk ke kelas. Sebaiknya aku mengikuti kemauannya dulu, dan setelah itu aku akan memikirkan jalan keluarnya.

”Ayo kita pasang. Main catur, main catur!” Pak satpam berbicara sambil menyusun buah catur ke papan catur.
Lama kami main, tetapi aku tidak menikmati permainan catur ini. Dengan malas kuangkat dan kupindahkan buah catur dari satu kotak, ke kotak lain.
”Juita tunggu aku, sebentar lagi aku akan datang. Kita akan bersama menjelajah nirwana, menikmati angkasa.”
Sedang asyiknya melamun, tiba-tiba pak satpam mengagetkanku.
”Skak!!! Mau jalan kemana lagi lo! Heh? Ko’id, ko’id lo!!!”
Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkah pak satpam yang seperti anak kecil.
”Gue mau ke kamar mandi dulu ya, kebelet nih! Entar gue kencing di celana lagi! Tapi jangan dipindah-pindahin ya?!” Pak satpam berbicara sambil berjingkrak, kemudian berjalan keluar pos menuju ke kamar mandi.

Aku tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku langsung berlari menuju ke kelas. Aku menaiki tangga-tangga, kemudian masuk ke suatu ruanganyang gelap pekat, hanya dibiasi cahaya bulan yang pucat. Perlahan aku membuka pintu, saat aku melihat selintas bayang hitam di sudut lorong sekolah. Aku tak merasa takut! Dan aku langsung duduk di meja kedua dari meja guru. Aku mengamati di sekitarku. ”Hemjh, sangat gelap.” Aku merasa diawasi oaleh sepasang mata dari sudut ruangan kelasku. ”Ah, biarkan saja! Mungkin ini hanya perasaanku.”
Daraku berdesir saat sayup kudengar langkah kaki yang makin lama makin jelas ditelingaku. Aku tak tau apakah ini ilusi, atau nyata? Aku hanya bisa diam dalam kebisuan, sambil menundukan kepalaku agar aku bisa cepat bertemu dengan Juita.
Jantungku terasa berhenti saat aku merasakan tepukan halus di punggungku. Daraku berdesir hebat, syaraf-syarafku terasa lunglai dan aku hanya bisa bergetar sampai tangan itu memeluk tubuhku. Perlahan rasa gemetar itu hilang dan aku tersadar bahwa yang memeluku itu adalah sosok yang kurindukan. Aku tak habis pikir mengapa Juita bisa ada di sini? Tapi aku tak menghiraukannya! Aku berbalik dan memeluk tubuh itu.
”Aku rindu padamu!” Aku berkata sambil membelai halus rambut pirangnya.
”Aku juga, mengapa kita berpisah begitu cepat?”
Aku tidak bisa menjawab, aku hanya bisa memandangi dan mengagumi betapa cantiknya Juita malam ini. Dia memakai gaun merah jambu yang menjadi coklat karena terkena cahaya perak dari luar, rambutnya dibiarkan terurai, dan kalung berlian di lehernya sangat menambah pesonanya.
Juita menarik tanganku keluar kelas.
”Jangan! Nanti ketahuan pak satpam!” Aku berkata setengah berteriak.
”Tenang sayang, aku hanya ingin menikmati indahnya rembulan malam ini bersamamu.”
”Tapi?” Belum sempat aku berkata, aku telah diseret olehnya keluar kelas. Kami berdiri di pagar pembatas di depan kelas. ”Indah, indah sekali malam ini.” Kurangkul Juita kedalam pelukanku. ”I love you!” Aku mendengar suara itu dari bibirnya yang tipis dan manis. ”I love you too.” Aku membalas ucapannya.
Malam ini kami nikmati berdua. Tak ada yang mengganggu, hanya ribuan kunang-kunang yang berkerlap-kerlip menghiasi indahnya malam ini.
”Hi sang penghayal, mengapa engkau ada di sini? Seharusnya kamu belajar, karena sebentarlagi mau ulangan bukan? Mengapa kamu siakan waktumu untuk memimpikan sesuatu yang jelas tak nyata!” Aku mendengar suara itu dari dalam hati kecilku.
Aku bosan mendengar kata-kata itu. Ingin sekali aku membuang hati kecilku yang sering berdebat denganku. Aku tak mau diperintah olehnya. Aku hanya ingin melakukan yang aku mau. Seperti sekarang ini, aku ingin bercinta dengan orang yang kucintai.

Indahnya malam ini. Menyirnakan debu yang membalut hati. Purnama melirih tertunduk merajuk, jingga memerah menghiasi sang pelangi, Menghias malam indah bagi dua insan yang dilanda cinta nan bersemi.

Aku sangat bahagia malam ini. Malam ini kami lewati dengan hati yang berseri. Kami tak memikirkan apa-apa, selain cinta dan bahagianya kami sekarang ini.

”DOR!”
Aku terkejut dan sepontan terbangun dari tidurku.
”Hei anak nakal, masih pagi-pagi buta seperti ini, kamu sudah tidur pulas di kelas, mana tidak pakai baju seragam lagi! Jangan-jangan kamu menginap semalaman di sekolah! Betul tidak?” Aku hanya bisa diam saat kepala sekolah membentak dan memarahiku.
”Saya, sa, saya,”
”Kamu mau buat alasan apa lagi ha? Sekarang kamu berdiri di lapangan sampai pulang sekolah nanti. Cepat laksanakan!”
Aku sangat takut sekaligus kesal. Aku tidak menyangka bahwa kejadian yang kualami bersama Juita tadi malam hanyalah mimpi? Bukan kenyataan? Kakiku berjalan lemas menuruni tapak demi tapak tangga sekolah. Aku melihat dibelakangku pak kepala sekolah mengikutiku.
”Sekarang kamu berdiri satu kaki, dan jangan istirahat sebelum saya perintahkan. Mengerti?”
Aku tidak menanggapi apa yang dikatakan oleh pak kepala sekolah. Aku hanya berdiri dan menatap cemberut kepada kepala sekolah.
”Pak satpam! Jaga dia! Jangan sampai dia melarikan diri. Mengerti?” Pak kepala sekolah berteriak dan dari sudut lorong sekolah kulihat pak satpam berlari-lari kecil sambil mengencangkan ikat pinggangnya.
”Siap pak!” Serunya seraya memberi hormat kepada pak kepala sekolah.
Dengan kesal pak kepala sekolah berbalik dan menuju ke ruangannya dan kulihat pak satpam pergi ke pos, sambil menenteng sesuatu.
”Ayo jek, kita lanjutin yang semalem!” Serunya sambil menaroh papan catur di atas sebuah meja kecil.
Detik demi detik terlewati, menit demi menit terlalui, bel demi bel telah berbunyi, aku masih meladeni pak satpam main catur di lapangan sekolah. Aku tak tau apa yang harus kulakukan.
Saat pak satpam lengah, aku mengambil langkah seribu dan melajukan motorku secepat-cepatnya. Motorku mengamuk bagaikan setan jalanan. Ratusan jalan terlalui, ribuan gang kulewati, hingga motorku kubelokan ke arah rumah berpagar hijau. Di muka pintu, kulihat ibu sedang menunggu.
”Ma!” Sapaku rama.
Nampak kecemasan muncul dari raut wajah mama yang agak lesu.
”Dari mana saja kamu?”
”Dari rumah teman ma.”
”Kok nggak bilang-bilang sih? Semua orang kawatir tau!”
”Sorry deh ma, aku mau pinjem buku, tapi teman nggak ada yang nemenin di rumahnya, walhasil aku nginep nemenin dia deh.”
”Tapi lain kali izin ya!”
”O.k deh ma!”
Mama membimbingku masuk ke rumah.
”Kamu nggak sekolah? Senin kan ulangan umum, kamu sudah punya persiapan belum?”
Aku tidak menanggapi ucapan mama, aku meneruskan langkahku dan masuk ke tempatku yang damai.

Detik demi detik terlewati, jam demi jam telah berdentang, hari demi hari terlalui.
Hari-hariku kujalani seperti biasa, yaitu mengunjungi putri mimpiku. Aku tidak peduli akan ulangan umum dan apapun, yang kupedulikan hanyalah Juita, ya, hanya Juita. Setiap malam aku selalu menginap di sekolah, bahkan saat belajar aku selalu bertemu dengannya. Ya, hanya itu yang kulakukan, tapi aku bahagia! Aku tak peduli apa kata orang-orang tentangku.

***
Hari ini semua murid cemas, karena ini adalah hari pembagian raport. Seluruh penjuru sekolah diisi dengan bercakap-cakap, tapi aku terlunglai di bangku kelasku menunggu hembusan angin surgawi yang akan menghantarkan diriku ke dunia mimpiku.

Ku dengar ketukan halus di pintu kelasku. Di sana kulihat mama berdiri lemas dan menangis, sambil menggenggam buku raport di kedua tangannya. Perlahan dia datang ke arahku.
”Sayang, mengapa nilai raportmu bisa seburuk ini?”
Aku tak bisa menjawab, aku hanya mendongak ke arah mama yang sedang menuju ke arahku.
”Guru-guru bilang kerjamu hanya tidur saja. Apakah itu benar?”
Aku hanya bisa terdiam sambil menganggukan kepalaku.
”Mama kecewa dengan kamu sayang! Selama ini mama membangga-banggakan kamu, tapi mengapa kini kamu sangat berubah? Setan apa yang merasuki jiwamu sayang?”
Aku hanya bisa duduk diam dan dengan pandangan kosong, mataku mengikuti langkah kaki mama yang berlari ke luar kelas.

Aku bingung di antara sedih dan kecewa. Aku tidak pernah melihat mama semarah ini. Aku sangat menyesal! Benar kata mama, selama ini aku hanya dibayang-bayangi oleh bayang semu yang melenakanku dan membuat aku tenggelam.
Dalam hati aku bertekat untuk melupakan Juita putri mimpiku, Tapi sebelum aku berpisah dengannya aku ingin bertemu lagi dengannya. Hanya sekali! Ya, cukup sekali ini saja.

Aku menundukan kepalaku ke mejaku dan dengan sekejap jiwaku telah melayang ke alam mimpiku.
Aku berada di sebuah gunung batu yang sangat terjal. Di suatu sudut mataku menangkap sosok gadis berambut pirang yang sedang menundukan kepalanya. ”Itu pasti Juita!” Aku bergegas mendekatinya dan duduk disebelahnya.
”Kau menangis?” Aku berkata seraya memalingkan wajahnya ke arahku.
Ku usap rambutnya yang menutupi wajah dan kusekah air mata yang mengalir di sudut bibirnya.
”Kau ingin berpisah denganku?” Aku mendengar suara itu.
Sebenarnya aku sangat tak ingin berpisah dengannya. Aku sungguh tak tega melihatnya menangis. Tapi aku tak mau mengecewakan mama. Aku ingin membuat mama bahagia, dan aku sadar bahwa ini semua adalah kesalahan. Tapi bagaimanapun aku tak bisa meninggalkan Juita. Hanya dia yang mampu membuatku bahagia, hanya dia yang bisa menghilangkan segala duka, hanya dia yang mampu membuatku terlena. Ya, aku benar-benar tidak bisa meninggalkannya.
”Aku tak akan meninggalkanmu.”
”Sungguh?”
”Ya, aku sungguh-sungguh!”
Juita menatap ke arahku, dia memeluku dan tangisnya tertumpah di dadaku.
”Aku ingin selalu bersama denganmu!”
”Aku juga!” Aku menjawab dengan menahan tangisku.
”Kalau begitu kita pergi sekarang”
”Ke mana?”
”Ke duniaku!”
”Maksudmu?”
”Ya, kita akan selalu bersama di duniaku!”
Aku hanya bisa terdiam dan mengangguk.
Kami berdiri dan tangan Juita memegang tanganku dan dengan perlahan dan penuh kasih sayang dia menarik tanganku dan kami terbang menuruni gunung batu itu. Kami terombang ambing di permainkan oleh angin yang sangat kencang. Dan ketika kami menyentuh sesuatu aku terjaga dan masih kudapati Juita di sampingku.
”Ahirnya kita bersama selamanya.”
Aku tidak mengerti, aku merasa ini semua sama seperti sebelumnya.
Sayup-sayup ku dengar jerit di luar kelas. Aku menggandeng tangan Juita ke luar kelas.
” Ada anak yang bunuh diri!”
”Memangnya kenapa?”
”Dia tidak naik kelas, jadinya dia bunuh diri!”
Aku mendengar suara itu dari setiap ujung lorong. Aku penasaran, siapa yang bunuh diri!
Sambil menggandeng tangan Juita, kuturuni anak tangga yang terasa mengambang di kakiku. Aku berlari menerobos kerumunan orang. Di lapangan, aku melihat banyak orang yang bergerombol mengelilingi orang yang bunuh diri.
”Siapa yang bunuh diri!” Tanyaku dalam hati.
Tanganku terus saja mengandeng tangan Juita. Kulihat senyum di wajah Juita saat aku menatapnya.
Perlahan orang yang berkerumun merenggang. Tampak di mataku petugas kesehatan menggotong sosok yang di tutupi kain putih tersebut. Aku sangat penasaran, siapa yang bunuh diri?! Dengan rasa yang ingin tau, aku mendekati tandu itu dan kusingkap kain yang menutupi tubuh jenaza itu. Dan jantungku terasa berhenti berdetak saat kulihat sosok jenaza itu adalah aku dengan kepala yang berlumuran darah.

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Oleh Riqo ZHI

President of Kartunet Community 2013 - 2015, admin of Riqo.info, You can also contact me through:Twitter: @IMRiqoFacebook: Riqo ZHI.Email: Contact@riqo.info

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *