Ramayana (Seri 6)

Pada seri terdahulu telah diceritakan, Rama sudah mendekati busur yang besar itu dan siap untuk menggunakannya. Para penonton menahan napas dan mengamati. Ada yang diam-diam mendoakan dia. Ada yang berkomentar, “Kejam sekali! Guru yang tentunya begawan itu tidak malu menyuruh seorang pemuda lembut menjalani uji coba berat ini!” Raja memang jahat dan kejam, menguji pemuda yang setampan dewa itu… Jika memang serius, seharusnya ia serahkan saja Sita ke tangan pemuda itu dan tidak menuntut semua perbuatan akrobatik ini” “Raja ingin memiliki Sita selama-lamanya… ini satu cara untuk tidak berpisah dari putrinya!” “Jika pemuda ini gagal, kita semua akan melompat ke dalam api,” seru beberapa gadis remaja yang tergila-gila melihat Rama. “Jika dia gagal, sudah jelas Sita akan membakar diri dan kita semua akan mengikuti contohnya.”

 

Sementara mereka berspekulasi demikian, Rama sudah sampai ke dekat busur itu. Beberapa penonton, karena tidak tahan menyaksikan adegan menegangkan itu, memejamkan mata dan mendoakan keberhasilannya, berkata, “Jikalau dia gagal menarik kedua ujung busur ini, apa yang akan terjadi dengan sang putri?” Karena memejamkan mata, mereka justru tidak bisa melihat betapa cepat Rama mengangkat busur itu, menyentak talinya kuat-kuat dan menautkan kedua ujungnya. Mereka kaget waktu mendengar bunyi yang memekakkan telinga, ditimbulkan oleh gerit busur pada lengkungnya, yang tidak bisa menahan tekanan cengkeraman tangan Rama.

 

Tiba-tiba suasana menjadi rileks. Para dewa menghujani dengan bunga dan berkat, mega-mega berpencar dan mengguyurkan hujan, lautan melontarkan ke udara semua harta langka dari tempat mereka yang dalam. Begawan itu berseru, “Kesengsaraan dan cobaan Janaka berakhir sudah.” Musik memenuhi udara. Penduduk saling berpelukan memasang untaian bunga pada leher satu sama lain, dan saling mengolesi minyak wangi dan menaburkan bubuk kayu wangi ke udara. Mereka mengenakan baju mereka yang terbaik, berkumpul di gerbang-gerbang istana dan alun-alun, serta menari dan beryanyi tanpa henti; suling, trompet, dan tambur menciptakan suara ingar-bingar mengiringi lagu dan nyanyian keras dari banyak tenggorokan. Dewa-dewi yang mengamati adegan bahagia di bawah mereka lalu menjelma menjadi manusia, dan membaur di tengah orang banyak, ikut bergembira bersama mereka. “Ketampanan mempelai pria kerajaan kita tak akan pernah sepenuhnya ditangkap kecuali oleh dia yang punya seribu mata,” komentar para wanita. “Lihat saudaranya! Betapa amat tampannya! Terberkatilah orang tua yang melahirkan putra-putra seperti itu!”

 

Sita telah mengasingkan diri dan tidak menyadari perkembangan terakhir di istana. Ia pindah dari satu ke lain tempat tidur karena merasa kurang nyaman, dan berbaring di samping air mancur di atas sekeping batu putih—kasur paling sejuk yang bisa diperoleh dayang-dayang bagi junjungan mereka. Bahkan di sana Sita tidak menemukan kedamaian karena bunga-bunga teratai di dalam kolam air mancur itu menggoda pikirannya dengan mengingatkan Sita akan bentuk mata atau kulit wajah pemuda itu. Ia menggerutu, “Tidak ada kedamaian di mana-mana… Kedamaian telah meninggalkanku. Pikiran menyiksaku dengan kenangan. Apa gunanya kenangan itu jika aku bahkan tidak tahu ke mana mencarinya? Orang macam apa dia, bisa menimbulkan semua siksaan dan hanya sekedar lewat tanpa berbuat apa-apa untuk meringankannya? Penampilan luar biasa memesona, tetapi sebenarnya menyihir!”

 

Perenungannya yang menyiksa itu diganggu oleh kedatangan seorang dayang. Alih-alih membungkuk dan memberi hormat kepada junjungannya, seperti lazimnya, ia menari-nari mengelilingi Sita sambil melantunkan sepotong lagu cinta. Sita bangkit dan memerintah, “Diam! Kamu ini mabuk, ya?” Pelayan itu menjawab, “Seluruh negeri sedang mabuk. Bagaimana Anda bisa tahu, putriku jelita, jika putri hanya mengunci diri di dalam kamar, mengerang dan mengeluh!” Gadis itu terus mengoceh menjelaskan, “Raja Ayodya… putranya, berbahu bidang dan seorang dewa di atas bumi. Tak seorang pun melihat bagaimana ini bisa terjadi, dia begitu cepat dan gesit, tetapi dia menekan, kata orang dengan begitu kuat, satu ujung dengan kakinya, dan merenggut ujung lain dengan tangannya, lalu menarik talinya dan oh…!”

 

“Oh, kecantikan yang memabukkan, tadi kau bilang apa?” Setelah memahami apa yang terjadi, Sita berdiri, dadanya membusung. Ia berusaha berdiri tegak waktu mengatakan, “Tahukah kau apa ini orang yang sama dengan dia yang pandangannya menghancurkan hatiku sewaktu lewat di jalan itu? Jika dia orang lain, aku akan mengakhiri hidupku.”

 

Setelah kegembiraan awal itu mereda, Raja Janaka minta nasihat Wiswamitra. “Apa yang selanjutnya harus kulakukan? Tiba-tiba aku merasa berada dalam suatu situasi yang tak terduga. Apa Guru berkehendak aku memanggil para pendeta dan ahli perbintangan untuk menetapkan hari pernikahan yang paling dekat, atau mengirimkan pesan kepada Dasarata dan menunggu sampai beliau datang?”

 

Jawab Wiswamitra, “Segera kirim utusan untuk menyampaikan berita penting ini dan undang Dasarata secara resmi.” Janaka langsung masuk istana untuk menyusun sebuah undangan yang pantas kepada Dasarata, dengan bantuan para penyair dan pengarang istana, kemudian mengirimkannya.

 

Pada hari yang sudah diperhitungkan, para duta Janaka menyerahkan undangan itu di istana Dasarata. Dasarata memerintahkan juru baca menerima undangan itu untuk dibacakan keras-keras: Pesan itu membeberkan semua yang telah terjadi sejak Rama meninggalkan Ayodya sampai ditariknya busur Syiwa. Dasarata memberi banyak hadiah kepada utusan itu, dan dengan gembira berkata, “Kabarkan kepada mereka di Mantili bahwa kami sudah mendengar bunyi sebuah busur ditarik…” Lalu ia memberikan perintah: Buatlah pengumuman dengan bahasa yang baik dan sebar luaskan kepada rakyat bahwa Janaka telah mengundang setiap orang, lelaki dan perempuan, dan anak-anak di ibu kota kita, untuk menghadiri pernikahan Rama. Siapa saja yang kuat melakukan perjalanan ke Mantili supaya segera berangkat sebelum aku sendiri berangkat.” Para juruwarta, dengan mengendarai gajah dan diiringi tambur, menyampaikan pengumuman Raja itu ke seluruh penjuru ibu kota.

 

Jalan menuju Mantili penuh sesak dengan orang, lelaki, perempuan dan anak-anak. Ketika rombongan besar itu mulai berkumpul dan bergerak melewati jalanan, dunia mendadak terlihat seakan mengecil ukurannya. Gajah-gajah yang mengangkut panji-panji dan bendera, kening berhias tutup kepala dari lempengan emas, kuda-kuda mencongklang dan berlari-lari pelan, dan berbagai kereta dan gerobak lembu terus bergerak, di samping banyak sekali orang berjalan kaki. Sinar matahari ditangkap dan dipantulkan oleh ribuan payung satin putih dan hiasan berkilauan para serdadu. Wanita-wanita berdada besar mengenakan baju menyerupai sarang laba-laba duduk di atas gajah-gajah hitam, kalung mereka bergoyang-goyang menuruti langkah gajah-gajah itu, diapit oleh para kesatria penunggang kuda yang membawa pedang dan busur.

 

Dengan sangat ceria dan terperinci sang penyair menggambarkan suasana hati dan perilaku orang muda di tengah orang banyak yang bersukaria ini. Seorang pemuda berlari-lari di belakang sebuah kereta, matanya menatap sebuah jendela di mana beberapa saat sebelumnya ada seraut wajah cantik muncul, dengan harapan bisa melihat wajah itu lagi. Ada lagi seorang pemuda yang tidak bisa mengalihkan pandangannya dari dada seorang gadis yang hanya tertutup kain tipis dalam sebuah kereta kuda; ia berusaha untuk tetap di depan kereta itu sambil berulang kali menengok ke belakang, tanpa menyadari apa yang ada di depannya, dan menabrak rombongan barisan gajah. Waktu seorang gadis tidak sengaja jatuh dari punggung seekor kuda, ada seorang pemuda yang menangkapnya; tetapi setelah berhasil menyelamatkannya, alih-alih menolong gadis itu kembali menunggangi kudanya, pemuda itu justru melanjutkan perjalanan sambil menggendong gadis itu. Seorang pemuda lain berjalan di samping kekasihnya sambil berpikir dan merenung sementara menatap gadis itu. Pasangan-pasangan yang sewaktu menyiapkan perjalanan ini bertengkar tentang hal sepele, berjalan berdampingan tanpa saling menyapa, si wanita tak mau repot-repot mengenakan bunga di rambutnya, wajahnya cemberut, namun berjalan cukup dekat dengan pasangannya agar jangan sampai terpisah. Seorang pemuda yang tidak diajak bicara oleh siapa-siapa namun dibuat jengkel oleh pesan yang disampaikan mata jeli seorang dara mengatakan, “Kau tidak mau bicara? Tapi aku berani bertaruh, saat akan menyeberang sungai, kau akan membutuhkan lenganku yang kuat untuk menggendongmu, dan bagaimana aku bisa tahu jika kau tidak mau bicara padaku? Aku tahu kau cuma tidak menyukai bicaraku, tetapi bukan sentuhanku, tak pelak lagi kau akan memerlukan itu kalau sampai di tepi sungai nanti.”

 

Unta-unta berbeban berat terus bejalan dengan kerongkongan kering sampai mereka menemukan daun margosa yang pahit—karena mereka menghindari dedaunan empuk—dan merasa haus lagi setelah mengunyahnya, seperti laki-laki yang hanya mau minum anggur untuk menghilangkan rasa haus mereka, yang justru menyebabkan mereka merasa labih haus lagi. Kaum lelaki yang kekar memikul hadiah dan persediaan untuk perjalanan itu di atas bahu mereka.

 

Mengikuti di belakang mereka, para brahmana yang menjalani hidup amat disiplin. Mereka berjalan agak jauh dari orang banyak, takut berjalan di antara gajah-gajah, ngeri kalau terinjak, namun juga takut berjalan di antara kaum wanita, yang mungkin bisa mengganggu mata batin mereka. Ada yang berjalan berjinjit-jinjit, dengan tujuan jangan menginjak makhluk hidup apa saja di atas tanah; yang lainnya menutup lubang hidung mereka dengan jari, untuk mengendalikan napas sekaligus mencegah jari-jari itu menyentuh tubuh mereka bagian bawah sementara pikiran mereka tertuju kepada Tuhan.

 

Bunyi roda kereta-kereta kuda yang berputar, trompet dan genderang, dan hiruk pikuk pada umumnya membuat siapa saja tidak mungkin mendengar apa yang dikatakan orang lain. Tidak lama kemudian orang-orang itu berjalan terus dengan diam, hanya saling berkomunikasi dengan isyarat, kaki mereka menyebabkan debu berterbangan. Kerbau-kerbau yang menarik pedati penuh barang, karena gembira mendengar bunyi genderang, tiba-tiba menyentakkan gandar mereka dan berlarian tak tentu arah, menambah keributan dan membiarkan barang bawaan mereka berserakan di atas jalan. Gajah-gajah, setiap kali melihat telaga atau kolam, segera berlari untuk mencebur dan langsung berendam sampai setinggi gading mereka yang putih. Para musisi menunggang kuda sambil memainkan instrumen mereka dan bernyanyi.

 

Di belakang pasukan tentara ini, menyusul para wanita kesayangan raja di keputren. Dikelilingi oleh seribu dayang-dayang, Ratu Kekayi menyusul dalam tandunya. Di belakangnya adalah tandu Ratu Sumitra yang diiringi dua ribu dayang-dayang. Dikelilingi oleh musisinya sendiri menyusul Sukasalya, ibu Rama. Ratu Sukasalya juga ditemani beberapa orang kerdil, orang bengkok, dan orang-orang aneh lainnya. Tetapi pengiring utamanya adalah enam puluh ribu wanita amat cantik dan berhias lengkap yang mengikutinya dalam berbagai kendaraan. Begawan Wasista, penasihat utama istana, mengikuti dalam tandu putih bertatahkan mutiara, dikelilingi oleh dua ribu brahmana dan pendeta. Barata dan Satrugna, adik-adik Rama lainnya, mengikuti di belakangnya. Dasarata, setelah menyelesaikan tugas hariannya dan melakukan upacara keagamaan serta menyampaikan pemberian kepada brahmana, meninggalkan istananya pada saat kedekatan planet-planet sangat bagus; diiringi sejumlah pendeta, orang-orang yang membawa tempayan emas berisi air suci yang mereka cipratkan di atas jalan yang dilalui Dasarata, sementara beberapa wanita menyanyikan lagu-lagu.

 

Waktu Sang Raja keluar dari istananya, banyak penguasa dari negara-negara tetangga sudah menunggu untuk memberi penghormatan. Terdengar trompet dan sangkakala dibunyikan, suara orang banyak bertepuk dengan meriah serta lantunan pantun-pantun pujian ketika kereta Raja mulai bergerak.

 

Setelah melakukan perjalanan sejauh dua yojana, Raja bersama pasukan dan pengikutnya berkemah di balik baying-bayang Gunung Saila. Keesokan harinya kemah itu pindah ke sebuah hutan kecil di tepi sungai.

 

Sebagian rombongan yang sudah berangkat lebih dahulu, sesampainya di Mantili, diterima dan dipersilakan menginap di rumah-rumah, puri dan kemah di dalam ibu kota itu. Waktu rombongan lain terus berdatangan, mereka juga diterima dengan baik. Barisan tamu bergerak tak henti-hentinya dari Ayodya ke Mantili. Rombongan Raja Dasarata adalah yang terakhir datang. Ketika pandu-pandu yang mengamati kedatangan mereka memacu kuda mereka kembali ke istana untuk melaporkan bahwa rombongan Dasarata sudah tampak, Raja Janaka berangkat bersama para menteri, penggawa, dan pengawal kehormatan untuk menjemput Raja Dasarata. Kedua raja itu bertemu, saling menyapa, saling menegur secara resmi; lalu Janaka mengundang Dasarata untuk naik kereta pribadinya dan melanjutkan perjalanan ke ibu kota. Pada waktu akan memasuki pintu gerbang kota, Rama ditemani Laksmana, menemui mereka, memberi hormat kepada ayahnya dan menyambutnya. Dasarata bangga sekali melihat sang putra yang sosoknya tampak jauh lebih anggun sekarang.

 

Pada titik ini Kamban mulai menggambarkan persiapan untuk pernikahan Rama dan Sita. Ini adalah salah satu bagian peling memesona dari epik ini. Bangsal pernikahan digambarkan secara terperinci; dekorasi, kedatangan tamu dari negeri lainnya; bunga-bunga dan keceriaan, kegembiraan dan keikutsertaan rakyat; kesibukan dalam rumah pengantin putri dan kemudian di penginapan pengantin pria, dan persiapan kedua calon mempelai sendiri: baju pengantin dan perhiasan, suasana hati mereka—semua digambarkan oleh Kamban secara amat terperinci, sampai meliputi beberapa ribu baris puisi.

 

Pada saat planet-planet yang saling mendekat itu cocok dengan bintang yang menaungi Rama dan Sita, dalam upacara yang dipimpin oleh pendeta-pendeta utama dari Mantili dan Ayodya di istana Janaka, Rama dan Sita menjadi suami istri.

 

“Mereka yang belum lama berselang pernah bersatu, sekarang bersatu lagi, dan apa yang terjadi di antara mereka tidak perlu dikisahkan secara panjang lebar,” kata Kamban, menggambarkan pertemuan pertama pasangan itu setelah upacara perkawinan berakhir.

 

Berkat upaya Janaka, ketiga saudara Rama juga mendapatkan pengantin dan dinikahkan pada saat yang sama, di Mantili, setelah upacara selesai, Raja Dasarata berangkat pulang ke Ayodya, bersama putra-putranya yang membawa pulang istri mereka. Pada hari mereka berangkat, Wiswamitra berkata kepada Dasarata, “Sekarang kukembalikan Rama dan Laksmana kepadamu. Prestasi mereka luar biasa, tapi masih banyak lagi yang bisa dicapai kelak. Mereka orang-orang yang terberkati.” Lalu ia pamit kepada mereka dan langsung berangkat kea rah utara. Ia mengundurkan diri ke Pegunungan Himalaya, jauh dari semua kesibukan, untuk menghabiskan sisa hidupnya dengan bertapa di sana.

 

Nah, bagaimanakah kisah selanjutnya? Peristiwa apakah yang akan terjadi setelah pernikahan Rama dan Sita? Ikutilah Ramayana dalam episode berikutnya dengan judul “KEKAYI MENAGIH JANJI”

 

Sampai jumpa.

Last Updated on 10 tahun by Dody Iskandar

Oleh Dody Iskandar

Tidak ada yang spesial pada diri ini. Selalu memiliki keterbatasan dan kekurangan layaknya orang yang lain. Namun didalam kekurangan dan keterbatasan, Tuhan selalu memberikan jalan untuk mengatasinya.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *