Refleksi bacaan: Cinta di awal tiga puluh: Mira W

Berapa puluh, ratus, atau bahkan jutaan novel romansa telah ditulis di dunia ini?

Jutaan kisah yang dibangun dari cinta, rindu, kehilangan, dan penderitaan yang lahir dari relasi antara laki-laki dan perempuan.

Ada yang berakhir bahagia, ada pula yang tragis, seperti kisah legendaris Romeo dan Juliet.

Namun, Mira W. menghadirkan sesuatu yang lain. Cinta di Awal Tiga Puluh bukan sekadar kisah asmara. Ia adalah potret kehidupan yang lebih nyata—tentang seorang perempuan, seorang ibu, dan juga seorang manusia yang harus terus berjalan meski dunia tak selalu berpihak.

Baca:  Refleksi bacaan: After tunangan (Agnes Jessica)

Anggraini, tokoh utama dalam novel ini, adalah seorang single parent. Ia harus memperjuangkan hidup untuk dirinya dan anak-anaknya. Ia bukan hanya pusat dari keinginannya sendiri, melainkan pusat dari masa depan orang lain. Pilihannya bukan hanya soal cinta, tapi juga soal tanggung jawab.

Dalam masyarakat kita, status “janda” kerap berkonotasi negatif. Perempuan seperti Anggraini dianggap tak lagi punya harga diri, seakan bisa diperlakukan sesuka hati. Bahkan ada yang tanpa malu menawarinya menjadi istri kedua, seolah perasaannya tak lagi penting.

“’Bukankah kamu seorang janda?’”—sebuah kalimat yang terdengar ringan di bibir, namun menghujam tajam ke dalam hati.

Novel ini juga merekam bagaimana Anggraini mendidik anak-anaknya, di tengah segala keterbatasan. Ia harus bekerja untuk sesuap nasi, tapi kehilangan kesempatan untuk hadir penuh di sisi anak-anaknya. Kekacauan pun perlahan menumpuk, hingga akhirnya—seperti gunung yang tak lagi sanggup menahan tekanan—segalanya meledak.

Di sinilah kekuatan novel ini. Ia mengajak kita membuka mata, melihat lebih dalam sebelum menghakimi. Ada begitu banyak keluarga seperti keluarga Anggraini di sekitar kita. Tapi kita sering kali tak menyadarinya—karena terlalu abai, atau karena mereka terlalu pandai menahan luka dan kelelahan. Terlalu terbiasa menjadi terdakwa tanpa diberi ruang untuk membela diri.

Cinta di Awal Tiga Puluh bukan kisah romansa yang manis dengan buket bunga dan sebatang cokelat. Ini adalah kisah cinta yang lahir dari pemahaman, dari perenungan, dari pengorbanan. Sebuah cinta yang sadar bahwa ada anak-anak yang harus menjadi prioritas. Bukan cinta yang egois, yang membiarkan anak-anak terjatuh sendiri—tanpa pelukan, tanpa bimbingan, bahkan tanpa kepedulian apakah mereka hidup atau mati.

Bukankah hari ini begitu banyak anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya, secara fisik ataupun batin? Mereka lahir ke dunia tanpa diminta, tapi justru menjadi korban dari egoisme orang dewasa yang mengaku mencintai.

Baca:  NAGA SANG PREMAN JALANAN

Lewat novel ini, Mira W. sekali lagi menyuarakan realitas. Bahwa cinta bukan hanya milik remaja yang baru mengenal debar-debar pertama. Cinta juga milik mereka yang pernah patah, tapi tetap memilih untuk mencinta—dengan cara yang lebih tenang, lebih dewasa, lebih bermakna.

Bagikan artikel ini
Banyu Kanila
Banyu Kanila

Kerunutan berfikir adalah sebuah cita-cita dan pembelajaran seuur hidup. Menulis adalah cara menyampaikan cerita sebagai sejarah. Membaca adalah cara mengenali dunia jauh lebih dalam.

Articles: 16

Leave a Reply