Selamat pagi.
Aku tahu, saat membaca cerita ini, di tempat kalian mungkin sedang siang, sore, atau boleh jadi malah malam hari.
Di tempatku ketika memulai cerita ini, juga sebenarnya sedang senja, pukul 17.00.
Matahari tengah beranjak tenggelam di kaki cakrawala.
Sayangnya, tak tampak keindahannya karena terhalang gedung-gedung tinggi.
Hanya semburat kemerahan yang berpadu dengan cokelatnya langit kota, terlihat memantul dari kaca-kaca raksasa, lempengan logam, dan tiang-tiang beton pencakar langit.
Saat saya berhasil membaca buku ini, kepala saya terasa riuh, penuh dengan banyak pertanyaan-pertanyaan, asumsi-asumsi, dan berbagai diskusi dalam kepala yang tak berujung akal.
Cinta (C I N T A), sebuah kata yang selalu saya percaya sebagai kekuatan terdasyat di dunia ini, dikisahkan dengan cara yang begitu luar biasa.
Ada banyak kisah cinta di dunia ini dengan berbagai rupa.
Dan buku ini berhasil membuat sedu sedan saya sebagai pembaca pecah dan tak bisa lagi tertahan.
Seseorang, tiga tahun lalu, pernah berkali-kali merekomendasikan novel ini untuk saya baca.
Namun, dengan pernyataan bahwa novel ini berakhir dengan sad ending, saya sama sekali tidak tertarik untuk mengetahui tentang apa kisah dalam novel ini.
Akhirnya, hari ini saya berkesempatan membaca novel tersebut, dan saya belajar banyak dari kisah yang disajikan oleh penulis.
Bagi saya, saya memahami betul apa yang dirasakan oleh Tegar atau sudut pandang dari kisah ini.
Tentang bagaimana cinta itu tumbuh.
Tentang bagaimana melupakan.
Tentang bagaimana mengorbankan segala kesempatan hanya untuk mencintai, meski tanpa peduli apakah cinta itu akan berbalas atau tidak.
Pengorbanan yang tak lagi memiliki akar balasan, pengorbanan yang hanya dilandasi oleh hati yang tulus, murni, bersih, tanpa keinginan.
Hanya cinta yang dibutuhkan untuk menciptakan kebahagiaan dalam diri sendiri.
Saya betul-betul memahami rasa ditinggalkan, keinginan untuk berlari dan membuang semua perasaan yang masih tersisa dalam dada.
Namun sialnya, perasaan itu tak pernah benar-benar hilang.
Bodohnya, cinta itu tak pernah pudar meski proses melupakan sudah dilalui dengan berbagai cara.
Berdamai dengan diri sendiri pun tidak membuat cinta itu lenyap—ia hanya mengakar semakin dalam.
Hangat, tak lagi membara seperti di awal, namun tetap terlantun dalam doa-doa malam kala terlelap sedang dinanti.
Cinta yang akhirnya mampu mengubah banyak persepsi, opini, dan hati orang lain tanpa disadari.
Sering kali kita tidak siap memaafkan, tidak siap menerima kekalahan dari takdir yang bekerja, tidak mampu menghilangkan kebencian karena telah dilukai.
Kita membiarkan semuanya menumpuk menjadi dendam yang tak terselesaikan, lalu melukai diri sendiri.
Empat anak yang luar biasa, diajarkan sejak dini tentang penerimaan, tentang mengerti dan memahami puzzle kehidupan, Diajarkan bagaimana memaafkan meski sangat sulit untuk dilakukan.
Kisah hidup dalam buku ini penuh kejutan, penuh hal-hal yang tak pernah diduga atau direncanakan.
Ada banyak kesempatan yang tidak bisa diraih, bukan karena kesempatan itu tidak pernah ada, melainkan karena kesempatan itu tidak pernah diperjuangkan.
Banyak alasan yang tercipta dari ketidakmauan itu.
Mungkin yang paling sering adalah analisa subjektif, nilai moralitas, atau keputusan untuk mengorbankan diri sendiri demi kebahagiaan orang lain—atas nama keluarga, nama baik, atau hati seseorang yang sudah terjebak dalam perasaan cinta.
Menurut saya, tidak banyak orang yang mau mengorbankan hidupnya seperti Sekar dalam novel ini.
Pengorbanan untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari patah hati yang akan terus terjadi sepanjang hidup.
Akan sangat menyakitkan rasanya menjadi sosok yang menghalangi dua cinta yang seharusnya bisa bersatu, namun terhalang oleh cinta yang kita miliki sendiri, bukan?
Bagi saya, novel Sunset Bersama Rosie ini adalah sebuah kisah yang ingin saya baca kembali di lain waktu, dengan sudut pandang yang berbeda, dalam situasi yang berbeda.
Semoga saat itu saya mendapatkan pemahaman yang lebih dalam dibandingkan hari ini ketika saya membacanya.
Untuk kalian yang masih memendam perasaan cinta dalam hati:
Sampaikanlah.
Sampaikan meski itu berat.
Mungkin menyakitkan.
Mungkin menghancurkan sebuah hubungan.
Tapi mungkin juga menghilangkan penyesalan yang bisa menghantui bertahun-tahun kemudian.
Tak ada yang salah dari cinta—tak pernah ada.
Yang kadang keliru hanyalah tindakan yang tercipta, bukan karena cinta, melainkan karena naluri untuk memiliki apa yang diinginkan.
Satu hal terakhir:
Menurut saya, novel ini sama sekali tidak memiliki akhir yang menyedihkan.
Penulis hanya ingin menceritakan sepotong kisah kehidupan manusia yang terjadi di bumi ini.
Tentu saja, selalu ada kisah yang lebih menyedihkan, lebih mengenaskan, daripada apa yang kita baca.
Itulah misteri kehidupan.
Mungkin apa yang saya tuliskan di sini tidak sepenuhnya mampu menggambarkan betapa dalam kesan yang ditinggalkan novel ini di hati saya.
Namun melalui catatan kecil ini, saya berharap bisa berbagi sepotong rasa—tentang cinta, tentang pengorbanan, dan tentang menerima perjalanan hidup, apa adanya.
Setiap pembaca pasti akan menemukan makna yang berbeda saat menelusuri halaman-halamannya.
Dan mungkin, seperti saya, kalian juga akan membawa pulang sebagian kecil dari kisah ini, untuk disimpan diam-diam di sudut hati.
Terima kasih sudah membaca.
4/25/2025
Akhirnya, manusia yang satu ini baca buku itu jugaa. Wkwk
Nah, orang yang rekomendasiin malah muncul, gais. BTW, menurutku dia gak sad ending, yaaa. Tapi emang aku nangis sepanjang waktu kaya baca bidadari-bidadari surga.