Awalnya, saya mengira Sunyi Nirmala hanyalah satu dari sekian banyak novel romansa remaja. Dugaan itu muncul dari latar awal yang menggambarkan dinamika sekolah, konflik antara siswa dan guru, isu drop out, serta tokoh perempuan yang tampak tidak rela kehilangan. Namun, asumsi tersebut perlahan runtuh ketika saya mulai masuk lebih dalam ke dalam cerita.
Seiring berjalannya bab demi bab, novel ini ternyata menyimpan kedalaman yang tak saya duga sebelumnya. Sunyi Nirmala bukan hanya soal cinta remaja, melainkan sebuah karya yang sarat kritik sosial terhadap berbagai permasalahan yang telah lama mengakar dalam masyarakat kita. Meski ditulis pada masa lampau, banyak isu yang diangkat masih terasa relevan hingga hari ini.
Kritik yang dihadirkan Ashadi Siregar cukup tajam. Ia menyoroti pola pengasuhan orang tua yang terlalu ketat, dengan dalih kasih sayang, namun tanpa ruang bagi anak untuk menentukan pilihan hidupnya. Ia juga mengangkat persoalan kesenjangan ekonomi, di mana mereka yang memiliki uang seolah-olah memiliki kuasa untuk menentukan segalanya, termasuk nilai moral dan kebenaran. Lebih dari itu, novel ini mengkritik penyalahgunaan kekuasaan oleh para pejabat, serta sistem pendidikan yang permisif terhadap kesalahan tenaga pendidik hanya karena faktor senioritas atau lama pengabdian.
Yang cukup mengejutkan adalah latar waktu cerita yang terbilang lawas—telepon umum masih digunakan, komputer merupakan barang mewah, dan Jakarta masih digambarkan sebagai kota yang hijau dan teduh. Meskipun demikian, permasalahan sosial yang diangkat masih sangat akrab dengan kehidupan kita hari ini. Dengan kemunculan media sosial, misalnya, kesenjangan antara si kaya dan si miskin justru semakin tampak nyata. Kita bahkan pernah menyaksikan kasus tragis di mana seorang anak tega menghabisi nyawa ibunya demi memenuhi gaya hidup.
Novel ini juga memberikan refleksi mendalam bahwa kejahatan tidak selalu muncul dari niat buruk sejak awal. Sering kali, kondisi hidup yang menekan dan minimnya pilihan mendorong seseorang untuk mengambil jalan pintas, demi bertahan hidup. Hasrat untuk hidup layak, tanpa dibarengi solusi yang memadai, menjadi pemicu munculnya tindakan-tindakan yang melanggar etika dan hukum.
Selain isu-isu sosial, Sunyi Nirmala juga menampilkan sosok kakak perempuan yang luar biasa. Dalam usia yang masih sangat muda, ia harus mengambil peran sebagai ibu, memikul tanggung jawab besar untuk merawat adiknya, dan berusaha menepati janji untuk melindunginya selama ia masih hidup. Sosok ini mencerminkan nilai pengorbanan dan cinta tanpa syarat yang begitu menyentuh.
Unsur asmara dalam novel ini pun tak dilewatkan, namun disajikan secara realistis. Hubungan yang ditampilkan jauh dari kesan idealistik; ada dinamika panas dan bahkan kesan vulgar, namun tetap membumi. Tidak ada “pangeran berkuda putih”—hanya manusia biasa yang jatuh cinta dalam situasi yang serba terbatas.
Secara keseluruhan, Sunyi Nirmala bukan hanya sebuah karya sastra, tetapi juga potret sosial yang memaksa pembacanya untuk bercermin. Ia mengingatkan kita bahwa negeri ini—dengan segala ketimpangan, hiruk-pikuk, dan ketidakadilan—adalah rumah kita. Di sinilah kita hidup, bertumbuh, dan berjuang. Dan melalui kisah-kisah seperti ini, mungkin kita bisa mulai membuka mata dan mempertanyakan: ke arah mana sesungguhnya kita sedang berjalan?