refleksi bacaan: Tentang kamu: Tere liye

Novel Indonesia dengan genre misteri yang mengangkat tema pemecahan rahasia biasanya tak menggugah minat saya. Plotnya sering mudah ditebak atau terasa dibuat-buat. Namun, karya ini berbeda.

 

Seorang penulis yang dikenal lewat catatan kehidupan kembali membuat saya belajar banyak. Meski dibalut misteri, kisah ini justru menyentuh.

Dalam Novel Tentang Kamu karya Tere Liye, saya diingatkan bahwa kesabaran dan keteguhan hati tak pernah sia-sia. Selalu ada keindahan yang muncul, bahkan ketika luka tak lagi bisa diukur nalar.

Baca:  Refleksi bacaan: Cinta di awal tiga puluh: Mira W

 

Dalam bahasa Sunda, ada pribahasa yang tepat menggambarkan hal itu: kudu peurih meh perahan—harus pedih agar berbisa. Sebuah refleksi puitis tentang hidup yang dijalani dengan ketabahan menyeluruh.

Tokoh utama dalam cerita ini adalah seorang pengacara asal Indonesia yang menangani sengketa warisan bernilai luar biasa. Bagi saya, ini lebih dari fiksi—sebuah kritik halus terhadap kenyataan yang tak asing: keluarga yang retak hanya karena warisan.

 

Ia menjalani proses investigasi panjang dan berliku, mengurai satu demi satu simpul yang membelit perkara tersebut. Bukan sekadar pengungkapan kasus, namun juga pelajaran tentang nilai hidup—bagi tokoh maupun pembacanya.

 

Selesai membaca buku ini, saya makin yakin bahwa hidup tersusun atas episode demi episode, yang merangkai satu kisah besar dari lahir hingga akhir. Pertanyaannya: berapa banyak fase yang akan kita jalani? Setiap tahap memiliki awal dan akhir, suka dan duka. Sayangnya, tak semua orang mau berhenti untuk merenunginya.

 

Dari sekian fase, barangkali yang paling menentukan adalah saat kita mulai mengenal kehidupan: saat kita ditempa, diajari bertahan, dan diuji. Apakah kita sanggup, atau justru menyerah?

 

Sri Ningsih, tokoh perempuan dalam kisah ini, tumbuh dalam tempaan hidup. Setiap pukul empat pagi, ia bangun dan memulai rutinitas, tak peduli hujan atau badai. Baru dua puluh jam kemudian ia beristirahat. Terus berlangsung bertahun-tahun.

Kepedihan ia peluk bukan dengan keluhan atau kemarahan, tetapi dengan penerimaan. Ia menjelma sosok luar biasa—berhati bersih, tulus, pekerja keras, dan cerdas. Meski tak mengenyam pendidikan formal seperti kita, ia belajar, mengajar, dicintai, dan menjadi cahaya bagi banyak orang.

 

Dari kisah ini pula, saya merenungi kembali kehidupan. Betapa sering kita mencari sesuatu sejauh mungkin, padahal jawabannya ada di dekat, bahkan nyaris tak berjarak. Namun kerap kita tak melihatnya—hingga waktu mempertemukan.

Baca:  Forest Gump, Meraih Kebahagiaan Dengan Segala Keterbatasan

Tere Liye kembali mengajak saya menelusuri kisah yang layak direnungi. Saya berharap pengetahuan ini tak berhenti di kepala. Sebab semakin banyak kisahnya saya arungi, semakin saya percaya: tak ada yang benar-benar sia-sia dalam hidup. Hanya waktu, cinta, dan kesabaran yang dibutuhkan untuk menemukan.

 

Terimakasih: Tere liye

Bagikan artikel ini
Banyu Kanila
Banyu Kanila

Kerunutan berfikir adalah sebuah cita-cita dan pembelajaran seuur hidup. Menulis adalah cara menyampaikan cerita sebagai sejarah. Membaca adalah cara mengenali dunia jauh lebih dalam.

Articles: 16

Leave a Reply